Mohon tunggu...
Vita Ve
Vita Ve Mohon Tunggu... Penulis - Aku menulis maka aku ada

Mahasiswa IAIN JEMBER

Selanjutnya

Tutup

Money

Rahasia menjadi Konsumen paling beruntung, Let be a Smart Consumer!

17 Februari 2019   12:10 Diperbarui: 17 Februari 2019   13:48 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelaskan hal-hal fundamental untuk melakukan kegiatan konsumsi sesuai dengan Ekonomi Islam-

Teori ekonomi Islam sebenarnya bukan kajian ilmu baru atau sesuatu yang diturunkan secara  mendasar dari teori ekonomi yang ada sekarang. Sejarah mengatakan bahwa para pemikir Islam merupakan penemu atau peletak dasar semua bidang ilmu.

Ekonomi Islam adalah subset dari agama. Ekonomi Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari agama islam. Sebagai derivasi dari agama islam, ekonomi Islam akan mengikuti ajarannya dalam segala aspeknya. Islam adalah sistem kehidupan (way of life), dimana islam telah menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi.

Islam memandang kegiatan ekonomi dengan positif, semakin banyak seseorang terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dan prosesnya sesuai dengan ajaran dan syariat Islam. Ketakwaan pada Tuhan tidak berimplikasi pada penurunan produktifitas, sebaliknya justru membawa seseorang menjadi lebih produktif. Bahkan dalam hal melakukan kegiatan konsumsi yang sesuai dengan syariat islam tidak akan merusak utilitas yang didapatkan dari kegiatan konsumsi tersebut.

Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek untuk mencapai falah (kemuliaan). Oleh karena itu, sebagaimana kegiatan yang lain kegiatan ekonomi juga perlu dikontrol dan diatur sedemikian rupa agar berjalan sesuai dengan ajaran islam secara keseluruhan.

Falah, kehidupan yang mulia dan sejahtera dunia akhirat, dapat terwujud apabila terpenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan manusia akan memberikan dampak yang disebut dengan mashlahah. 

Mashlahah adalah segala bentuk keadaan baik material maupun non-material, yang mampu meningkatan kedudukan manusia senagai makhluk yang paling mulia (P3EI UII Yogyakarta, 2008:5)

Selain itu, mashlahah juga diartikan sebagai segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi tiga unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan. (Ahmad Ifham Sholihin, 2010:498)

Dalam kegiatan terdapat tiga aspek fundamental yang menjadi inti dari kegiatan ekonomi itu sendiri, antara lain; konsumsi, produksi dan distribusi.

Konsumsi memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian, mengapa demikian? Karena tidak akan ada kehidupan tanpa konsumsi. Bahkan sejak lahirnya ekonomi itu sendiri menandakan lahirnya konsumsi pula.

Selain itu konsumsi juga merupakan tujuan penting dari pengeluaran. Oleh sebab itu kegiatan ekonomi mengarah kepada kegiatan pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan.

Dalam perspektif ekonomi konvensional, konsumsi dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan. Berdasarkan prinsip inilah maka beredar dalam perekonomian apa yang disebut dengan konsumen adalah raja.

Artinya, konsep ini mengatakan bahwa setiap keinginan konsumen adalah yang menjadi arah perekonomian. Bahkan konsep tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dari sejauh mana kemampuannya dalam hal melakukan kegiatan konsumsi untuk memenuhi apa yang mereka inginkan.

Sedangkan dalam menjelaskan konsumsi, Islam mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas Islami bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan mashlahah yang diperolehnya. Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat serta informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna dan akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi.

Mengartikan mashlahah dalam kegiatan konsumsi tidak terlepas dari dua unsur yakni manfaat dan berkah. Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasa mendapat suatu manfaat apabila ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau pun material.

Di sisi lain, berkah akan ia dapatkan apabila kegiatan konsumsi yang ia lakukan sesuai dengan syariat agama islam. Lalu berkah tersebut lah yang akan mengantarkannya pada perkara-perkara baik sehingga dapat mencapai falah.

Selain dua unsur tersebut mashlahah juga berarti tidak menghadirkan mudharat bagi makhluk lain serta lingkungannya. Itu artinya, seorang konsumen juga harus memperhatikan setiap hal yang ada disekitarnya. Sekiranya tidak ada yang dirugikan dari kegiatan konsumsi yang dilakukannya tersebut.

Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan konsumsi yang ber-mashlahah, maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi.

Untuk mencapai suatu mashlahah, Islam tidak semena-mena membiarkan tanpa mengatur pola tingkah laku manusia. Di bidang ekonomi, Islam mengajarkan etika-etika sebagai pola perilaku umat muslim untuk melakukan kegiatan perekonomian termasuk konsumsi.

Etika Islam mengajarkan bahwa dalam hal melakukan kegiatan konsumsi suatu barang seseorang harus menggunakan cara yang halal dan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an; "Wahai manusia, makanlah apa yang ada di bumi dengan cara yang sah dan baik"(QS Al-Baqarah,2:268).

Oleh karena itu seorang muslim mencari kenikmatan dengan mematuhi perintah-Nya serta memenuhi kebutuhannya dan mencari kepuasan dengan apa yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT. Konsumsi tidak dikutuk dalam Islam selama tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik dan merusak. Allah berfirman dalam Al-Qur'an.

"Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan)?" (QS. Al-Maidah,7:32).

Seiring berkembangnya jaman, dunia mengalami revolusi besar-besaran dari waktu ke waktu. Teknologi berkembang pesat. Masyarakat berlomba-lomba mengejar ketertinggalan. Ekonomi Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam mempertahankan nilai-nilainya.

Seperti contoh saja generasi muda dalam penggunaan atau dalam mengkonsumsi sosial media baik itu Youtube, Facebook, dsb. Haruslah difilter dengan sedemikian rupa  agar unsur mashlahah masih terkandung di dalam kegiatan konsumsi tersebut.

Konsumsi berlebih-lebihan yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan dikenal dengan istilah ishraf  (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir artinya mempergunakan  harta dengan cara yang salah , yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.

Ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap ishraf dan tidak disenangi Islam.

Salah satu ciri  dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir.

Oleh karena itu, etika Islam akan mampu membentuk pribadi muslim-mukmin yang tidak hanya menghasilkan kepuasan komsumtif melainkan mampu menciptakan kepuasan kreatif untuk menghasilkan kepuasan produktif.

Seorang Peneliti mengamati pola konsumsi dari dua sumber yang berbeda yakni orang Muslim dan Non-muslim dengan mengambil sampel kajian dua negara yang berlain agama, yaitu Arab Saudi dan Italia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat persamaan perilaku konsumsi antara Muslim dan non-Muslim. Fungsi konsumsi pada Arab Saudi dan Italia memiliki nilai yang signifikan.

Namun pada perhitungan MPC, MPC Italia lebih tinggi dibanding dengan MPC Arab Saudi. Artinya konsumen non-Muslim lebih banyak membelanjakan pendapatan mereka untuk konsumsi dibanding konsumen Muslim.

Demikian Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi konsumen yang cerdas dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Konsumen yang cerdas tidak hanya memikirkan utilitas individual, akan tetapi juga mashlahah secara umum.

Selain itu, konsumsi sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tahun 2017 lalu pun masih di dominasi oleh konsumsi. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi juga harus dibarengi dengan peningkatan investasi dari dalam maupun dari luar. Maka, apa yang telah diajarkan oleh syariat mengenai etika dalam konsumsi menjadi penunjang dari cepatnya laju pertumbuhan ekonomi.

Sudah menjadi hal yang patut kita perhatikan dalam melakukan kegiatan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari agar melaksanakan prinsip-prinsip yang sudah diajarkan oleh Islam untuk mencapai falah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun