Sebuah refleksi
Oleh : Rovita Septiana
Sejak kecil saya sudah memiliki cita-cita yang kata guru saya harus diwujudkan kelak ketika dewasa. Namun saya termasuk tipe orang yang memiliki cita-cita yang cenderung gonta-ganti. Saya ingat ketika ditanya di bangku kelas enam SD dulu, " Cita-citamu opo nduk?" (cita-citamu apa nak?). Saya spontan saja menjawab ingin menjadi seorang presiden, memimpin negara dan pemerintahan.Â
Mengatur segala yang berjalan di atas negeri ini, dan sederhananya semua akan ada di atas kendali saya. Guru saya yang bertanya menanggapinya dengan dukungan dan masukan-masukan yang membuat saya semakin menggebu.
Kemudian selang beberapa tahun setelahnya saya masuk SMP yang berada di naungan pesantren, saya kembali mendapat pertanyaan yang sama perihal cita-cita. Bedanya hanya yang bertanya ini adalah ibu guru yang sedikit menyeramkan. Jawaban yang saya lontarkan juga tak berbeda dengan jawaban saya beberapa tahun sebelumnya, Presiden! Tapi kali ini, tanggapan guru saya malah mencibir cita-cita saya. "Wanita tak dianjurkan menjadi pemimpin!" tuturnya.
Semenjak saat itu saya termasuk salah satu orang yang berpindah-pindah dari satu cita-cita ke cita-cita yang lain. Mulai dari profesi yang paling mudah sampai yang paling sulit pernah saya impikan.
Sore tadi, seperti hari-hari biasanya saya dan kawan-kawan sekelas saya pergi membeli nasi di depan kampus. Saya dan salah satu rekan saya dikejutkan dengan pemandangan yang tak seharusnya saya lihat di sore yang sangat melelahkan ini. Seorang wanita tua merengek menadahkan tangan kanannya pada setiap orang yang lewat di depannya, sedang tangan kirinya menyongsong tangan kananya. Mengemis! Wajahnya hitam pekat, kulitnya keriput tak karuan. Dan baju yang dikenakan, entah terakhir dicuci kapan.
Hatiku teriris membayangkan wajah Ibuku. Seorang wanita mengemis sesuap nasi di usia tenangnya (seharusnya). Sontak pertanyaan pertama yang muncul dalam benakku adalah kemana anaknya? Kemana saja para petinggi negeri ini? Keadaan ini sudah menjadi pemandangan yang lumrah di negeri ini. Negeri yang dikatakan keadaan ekonominya melambung naik sekitar 50,5% tahun lalu.Â
Tahun ini, 2018 pemerintah sibuk dengan pertarungan politiknya kembali. Dimana tahun ini Pilkada, Pileg, Pilpres satu-persatu mendekat. Siapa yang akan mempedulikan orang-orang seperti "ibu" ini, kecuali para caleg atau capres yang sedang kampanye dan itupun tak akan berlansung lama, setelah terpilih mereka pun lupa. Saya jadi ingat cita-cita saya beberapa tahun lalu, menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah. Apalagi bagi perempuan.
Siapa pemimpin yang benar-benar pantas duduk di atas tahta yang diperebutkan di Negeri ini? Mari kembali ke beberapa abad lalu. Disaat salah seorang murid dari Socrates, Plato membenci politik, karena kematian gurunya Socrates adalah bentuk ketidakadilan pada pelaksanaan hukum mati oleh pengadilan negara pada 399 SM. Sejak saat itulah Plato enggan berpolitik, padahal sebagai keturunan aristokrat bukanlah hal yang sulit untuk bergelut di dunia politik. Ia lebih memilih menjadi seorang filsuf seperti gurunya.
Plato pernah mengemukakan mengenai negara ideal. Menurutnya negara ideal menganut prinsip kebajikan (virtue). Pandangan Plato mengenai sebuah negara yang  baik adalah negara yang berpengetahuan dimana orang tersebut dipimpin oleh orang yang bijak ( The philoshoper king). Sedangkan negeri ini, masih belum menemukan pemimpin yang lebih baik dan bijak setelah Soekarno.Â
Lalu siapakah pemimpin yang ditunggu untuk mengangkat penyakit politik, ekonomi, dan sosial negeri ini? Apakah pemimpin yang dimaksut Plato, atau pemimpin yang lain? Saya, ibu pengemis, dan seluruh isi negeri ini masih bersiap menunggu.
Satu lagi pesan isyarat dari duduknya ibu ini di pinggir jalanan kampus tercinta, " Jangan lupa bersyukur!". Refleksi, 21/03/2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H