Mohon tunggu...
Vita Puji Lestari
Vita Puji Lestari Mohon Tunggu... -

just an ordinary young girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Piala buat Bapak (Cinta yang Tak Sempat Terucapkan)

31 Agustus 2012   03:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berpegangan erat pada bapak, melingkarkan tanganku di pinggangnya yang kecil. Bapak mengayuh sepedanya keras sekali, karena aku bangun kesiangan tadi, kasihan bapak, setiap hari mengantarku sekolah sejak pagi buta. Angin pantai tak bagus untuk tubuhnya yang renta. Tapi bapak tetap bersemangat, walaupun angin laut menghempaskan tubuhnya, walau pasir pantai menghalangi pandangannya yg sudah mulai rabun karena usia.Tetapi hal tersebut tak pernah jadi masalah, karena dia adalah bapakku. Akhirnya, sekolahku terlihat juga, SDN Kulon Mulyo I. Sepertinya aku belum terlambat, leganya….huft.“Udah sampe, ndok! Cepet sono masuk, ntar dijemur lho sama gurunya kalo telat, belajar yang rajin yah! Bapak pulang dulu.Assalamu’alaikum!” kata bapak sambil tersenyum, ia kembali mengayuh sepeda tuanya, ketika ia membalikkan badannya, aku melihat kausnya penuh dengan keringat. Aku terus memandangi bapak, sampai bapak hilang dari pandanganku.Yang terpikirkan di kepalaku hanyalah. Kasihan bapak. Hari pertamaku masuk sekolah. Aku melaksanakan upacara bendera tadi pagi. Aku nggak tau tadi nyanyi apa pokoknya ada Indonesia - Indonesianya gitu. Hari pertamaku di sekolah, kami memperkenalkan diri.Aku malu sekali maju ke depan, tapi aku harus berani, akhirnya aku pun maju karena Ibu guru memanggilku. “Nama saya Lastri Wulandari, nama bapak saya Paijul” anak - anak langsung tertawa. Kemudian  seorang anak bertubuh gemuk dengan rambut hampir botak dan ingus dihidungnya bergumam,” paijul , kan buat mencangkul di sawah to, haha. Kata – ktanya itu membuat anak – anak tertawa,tetapi aku ingin menangis, sangat ingin menangis. Akhirnya Ibu guru pun menyuruh anak – anak diam, aku pun di suruh duduk kembali. “TENG!!!TENG!!TENG!!”Bel pulang sekolang berdentang. Tadi di sekolah aku belajar membaca, aku juga belajar menulis. Aku ingin pintar membaca , dan menghitung, supaya bapak tidak dibohongi orang karena bapak tidak bisa membaca. Sepanjang perjalanan pulang aku mengingat pelajaran di sekolah, untuk mengalihkan pikiranku dari rasa lapar yang memang sudah aku rasakan sejak pagi. Kami tak punya cukup uang untuk sarapan, apalagi minum susu. “ Assalamu’alaikum, bapak, pak! Lastri udah pulang, Pak” aku masuk sambil menaruh tasku di meja, sepertinya bapak tidak ada di rumah. Mungkin  bapak sedang merapikan jala di pantai. Aku membuka tudung saji, ternyata bapak belum masak. Aku mencoba tidur, tapi ternyata rasa lapar ini membuat mataku tak bisa dipejamkan. Ah, lebih baik aku keluar saja mencari udara segar. Tapi tubuhku terlalu lemas, akhirnya aku jongkok.  Aku menggambar di pasir,  dengan sebatang kayu yang kutemukan tak jauh dari tempat aku duduk, aku  asik sekali mengambar, sampai aku tidak tahu ada orang yang dating. “ Oalah ndok, lagi ngapain jongkok di sini, udah kecil , nggak keliatan, nanti keinjek orang lagi..hhaha”gumam bapak sambil berjongkok di sampingku. “ Gambar opo to, gambar orang kok kaya orang - orangan sawah, kalo ngambar tuh harus sesuai, moso tangan ma kaki sama gedenya, ndok!ndok! udah ayo, makan dulu, bapak udah beli makanan, ayo..!” kata bapak sambil menggendongku pulang, mungkin bapak tahu aku sudah sangat lemas karena belum makan seharian. Sambil bapak menggendongku, aku tetap memandang gambar yang ku buat di pasir, gambar aku dan bapak. Tetapi mungkin karena gambarku yang jelek, bapak tidak menyadarinya. Dan kulihat gambar itu hilang tersapu ombak. “ Ayo, makan yang banyak, dihabisin nasinya, tadi belajar apa, ndok?” tanya bapak sambil melahap makanannya.” Tadi aku belajar baca , ma menghitung, pak. Tadi aku dapet seratus lho!” kataku sambil tersenyum manja kearah bapak. “ O.. ya iya dong, anak bapak kan harus pinter,. Bapak juga dulu pinter lho, cuma ga di sekolahin sama mbah mu, Cuma sampe SD saja,  kamu tau nddak, dulu bapak kalo sekolah berangkatnya jam setengah lima, masih guelap buanget kok, itu jam segitu kamu masih molor, masih ngiler bapak udah jalan, mana sekolahnya jauh, ga dikasih duit, sarapannya cuma sama singkong, biar cepet bapak mah lewat hutan aja, kadang sambil jalan, bapak suka berdoa sama Gusti Allah, mudah – mudahan Bapak nemu duit, tapi anehnya bapak suka nemu aja duit di jalan, ia bener deh!” kepala bapak mengangguk – angguk sambil mengunyah makanannya. “Gara - gara sarapan sama singkong, nyampe sekolah bapak cuma sakit perut, boro boro masuk plajarannya..hahahahaha” kata bapak sambil mengingat masa lalunya. Aku tertawa mendengar cerita bapak, tapi sedih sekali mendengarnya.                 “ Makannya, kamu belajar yang bener ya, ndok, biar jadi orang  kalo nanti udah gede, biar ga kaya bapak, susah hidupnya.” Kata bapak sambil mengusap kepalaku.Aku hanya menganggukkan kepalaku. Setiap hari bapak rajin mengantarku ke sekolah, sudah tiga bulan sejak pertama kali aku masuk sekolah. Hari ini, tepat tanggal 17 Agustus. Seperti biasa di sekolah – sekolah mengadakan berbagai macam perlombaan, aku mengikuti lomba menggambar. Yah hanya itu yang aku bisa, aku memang tidak pandai berolah raga, jadi aku menikuti lomba yang aku senangi. Lomba menggambar pun di mulai, kami di berikan kertas putih ukuran folio yang sudah dibubuhi cap. Di atas kertas putih itu, aku menggambar sebuah kapal, kapal  yang sangat besar, kapal impian aku dan bapak. Tapi karena aku hanyalah anak berumur tujuh tahun, maka gambarku hanya gambar sebuah kapal yang penuh jendela, haha. Akhirnya , saatnya pengumuman lomba sudah tiba. Saat – saat yang sangat mendebarkan. “ Ia, untuk lomba menggambar, kepada ananda lastri dan Dimas besok akan lanjut ke babak final, besok pagi jam 7, lomba sudah dimulai, jangan sampai terlambat yah”. Ya ampun, aku sangat terkejut, aku tidak menyangka namaku di sebut, aku tidak begitu mengerti apa yang di katakan oleh pak guru tadi, yang ku pikirkan adalah secepatnya sampai di rumah. Kasi tau bapak. “Bapak, Bapaaak,paaaak!!! Lastri disuruh masuk terminal” aku berteriak dengan nafas terengah – engah. “ Ono opo to, ndok teriak – teriak, masuk ke terminal bagaimana?” Tanya bapak heran. “Ga tau, kata pak guru besok aku di suruh ke terminal, jam 7, ga boleh terlambat, pak” kata ku dengan ngototnya. “ O, yasudah besok bapak anterin ke sekolah aja yah, duh kok aneh sekolah jaman sekarang, pake ke terminal segala.udah sono ganti baju dulu.” Aku pun langsung merngganti pakaianku. Malam itu  aku tidak bisa tidur, yang ada di kepalaku hanya lomba esok hari, aku memaksakan mataku tuk terpejam. Pagi – pagi sekali aku berangkat kesekolah, seperti biasa aku di antar bapak. Bapak mengayuh sepedanya sangat kencang pagi itu, bapak sudah seperti pembalap internasional, tapi biasanya kalu bapak seperti ini, nanti malam bapak masuk angin. Akhirnya sampai di sekolah, aku melihat bapak berbincang singkat dengan pak guru. Lalu bapak menghampiriku sambil tersenyum sendiri. “ Oalah, ndok – ndok, makannya kuping tuh di pake, masa di jadiin cantelan  gelas doang, kata bapak guru, kamu tuh masuk final, bukan terminal, dasar cah gemblung.” kata bapak sambil menepuk – nepuk pundakku lembut. “ Emang final itu apa to, Pak?”. “ Final itu, berarti udah lomba yang terakhir, gitu deh bapak juga ga begitu ngerti, pokoknya nanti gambarnya yang bagus yah, bapak pulang dulu.”bapak mengayuh sepedanya. Pengumuman lomba pun tiba. Ternyata aku mendapatkan juara dua, maaf pak kali ini aku belum bisa jadi yang pertama. Sekarang aku belum bisa jadi yang terbaik buat bapak.Sesampainya di rumah aku langsung meberitahu bapak, ternyata bapak sangat senang. Saat bapak bahagia, aku akan lebih bahagia lagi. Angin malam ini sangat dingin, aku memeluk al quran erat – erat di dadaku, bapak mengayuh sepedanya pelan sekali, mungkin bapak kelelahan harus mengantarku kemana – mana. Di sepanjang perjalanan bapak terus berbicara padaku, supaya aku tidak terjatuh karena mengantuk. “ Ngajinya tadi lancar,ndok?”. “ Iya, pak. Bentar lagi khatam.”kataku. “ Iyalah ngaji yang pinter, jangan kayak bapaknya, ga bisa ngaji, nanti kalo bapak meninggal kamu banyak – banyak doain bapak yah.” Kata bapak padaku, aku tidak bisa melihat wajahnya karena aku di bonceng di belakang, tapi aku merasakan, kalau suara bapak itu, penuh harapan. Aduh siang ini panas sekali, aku melihat teman – temanku membeli es, aku ingin sekali.Akhirnya aku pun membelinya. Dari kecil aku tidak bisa minum es, kalau aku minum pasti malam harinya aku sakit. Tapi tetap saja, melihat teman – temanku aku jadi tergiur meminumnya. Malam itu suhu badanku sangat panas, selesai membenahi jaringnya bapak menghampiriku yang sejak tadi tergeletak di kasur. “ Lho kok badanmu panas to, Nndok!” kata bapak panik. Bapak langsung mengambil sarung di lemari, melilitkannya di badanku, “ Tadi kamu minum es, yah?” Tanya bapak menginterogasi. Aku menggelengkan kepalaku. “Ah, yang bener?”. “Ia, bener” kataku meyakinkan. “ Kalau bapak beliin es mau ngak?’ Tanya bapak. “Mau” jawabku polos. “Yaudah besok bapak beliin yah, tadi udah minum es?”. “Udah” kataku polos. “ Huh dasar, di bilang ga boleh minum es juga, ngeyel. Besok ga  boleh minum lagi yah, nanti sakit ngga bisa sekolah, lagi.”malam itu bapak merawatku, sampai aku sembuh. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, sekarang aku sudah kelas tiga sekolah dasar, “ Aduh ga kerasa sekarang aku udah kelas 3. aku mau cepet gede, nanti kalo udah gede gimana yah rasanya, bisa nggak yah aku make seragam SMP  dan SMA…huft” Hari ini aku pergi ke sekolah sendirian, karena bapak belum pulang sejak semalam, mungkin bapak belum mendapatkan ikan. Sepanjang perjalanan ke sekolah aku terus saja memandangi sepatuku. Sepatuku yang tidak pernah aku ganti sejak aku pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini, sepatuku yang usang, bolong disana sini. Ah , sudahlah , bapak tidak mampu membelikanku sepatu. Bapak terlalu repot mengurusii biaya pendidikan yang sangat mahal di negara ini. Tak apalah, meski sepatu ini sangat kekecilan dikakiku, meski kadang terasa sakit saat aku berjalan, dan tak jarang kakiku luka – luka karena lecet. Yang penting aku masih memakai sepatu, iya kan. Di sudut buku, aku menulis tanggal hari ini, “23 Mei 1997, oh iya, aku baru ingat hari ini aku ulang tahun.”aku behenti sejenak. Aku selalu lupa hari ulang tahunku, karena sama seperti hari – hari biasa , hari ulang tahunku tidak pernah di rayakan seperti anak – anak lain, kue ulang tahun, gaun warna warni, kado. Semua itu selalu ada dalam mimipiku, di hari ulang tahunku. Semuanya begitu indah dalam bayanganku, tapi saying, karena itu semua hanya dalam bayanganku. Aku membuka pintu rumah, “ Bapak belum pulang juga , toh” aku duduk di kamarku. Sedih rasanya, di hari uang tahunku, aku harus sendirian. Aku mau denger bapak bilang selamat ulang tahun, walaupun Cuma kata selamat, tapi kalau itu dari bapak, itu kado yang sangat berharga buatku, karena bapak masih ada saat aku tumbuh dewasa.Hari sudah malam, bapak belum pulang juga. Aku tertidur memandang langit – angit “selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur kita kan doakan, selamat sjahtera sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia, tiup lilinya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga…huft…” Aku meniup lilin, dalam imajinasiku. Tak terasa aku meneteskan airmata. Aku pun terlelap gara – gara terlalu lama menangis. Dalam mimpiku, ada kue – kue yang besar, kado yang banyak, teman – teman bertepuk tangan mengucapkan. Selamat ulang tahuuun..!!!” Tengah malam bapak baru pulang melaut, sudah 3 hari ini bapak tidak pulang. Sayangnya aku sudah tidur” ndok, ndok, bapak udah pulang” bapak memanggil- manggilku, tapi tidak ada jawaban. Ia langung masuk ke kamarku, melihatku sedang terlelap “ selamat ulang tahun yah, Nddok” bapak mengecup keningku. Ia meletakkan sesuatu di samping tempat tidurku. Aku bangun pagi – pagi sekali, betapa terkejutnya aku, melihat sesuatu yang baru saja ku impikan semalam, tiba – tiba saja sudah ada di kamarku seperti sebuah keajaiban. “Bapaaaaak, paak…, ini sepatu siapa” teriakku. Bapak berlari menghampiriku, “Ada apa toh, ndok, pagi – pagi sudah bikin kaget saja!” kata bapak yang tidak kalah terkejutnya.” Ini sepatu siapa pak?” tanyaku antusias. “Oh itu sepatu kamu, Ndok..” kata bapak sambil memakaikannya ke kakiku. “ Tuh  kan cocok..” aku tersenyum – senyum sendiri memakainya, aku berjalan mondar – mandir mencoba sepatu baruku itu. “Oalah, sepatunya di pake melulu, mandi dulu sono, trus siap – siap sekolah, ga malu apa sama sepatunya, kamu blom mandi, udah sono.” Kata bapak membuatku tersipu. Maklum aku sangat senang hari itu, aku tidak melepasnya dari mulai aku sekolah sampai aku tidur.hehe Waktu berjalan dengan cepat sekarang aku sudah duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Dan hal terpenting di  sini bahwa aku dipilih untuk mewakili sekolahku dalam lomba cerdas cermat antar SD se- Kecamatan. Dan pagi ini seperti biasa bapak mengantarku, dengan sepeda bututnya, dan sisa – sisa tenaga yang dimilikinya. Bapak tidak makan sejak semalam. Hasil tangkapan  ikan bapak sangat sedikit. Ia pun meminjam uang tetangga untuk membekaliku, karena aku akan lomba hari ini. “Bbsssst…” terdengar suara ban bocor. “ Oalah, apa to, Pak” bapak turun dari sepedanya , mengamati ban sepedanya. “ Oalah, Nddok, bannya bocor, aduh gimana ini, kamu lombanya pagi – pagi lho!” gumam bapak sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Sebuah pick up pembawa ikan segar, tampak di jalan yg berkabut ini.”SETOOOOP!!!SETOOOOP!!! teriak bapak kearah pick up itu. Otomatis pick up pun berhenti. “Ada apa to, Pak!” tanya sopir pick up heran. “ Begin, bisa tolong antarkan anak saya ke balai desa, Pak,anak saya mau lomba”. “OH, boleh , boleh ayo, tapi sudah nddak ada tempat, kalo mau ya di baknya, nddak papa apa?” tanya sopir tersebut.” O.. iya nddak papa, makasi yah pak, titip anak saya”. Aku melihatnya, bapak yang pergi menjauh dengan sepedanya, dari belakang bak pick up yang penuh ikan ini, entah mengapa aku merasa… merasa  akan sangat merindukan bapak. Akhirnya tiba juga di tempat perlombaan. Di sini  sangat ramai sekali, aku ditemani seorang guruku. Aku pun memasuki ruang perlombaan, meski dengan baju seragam yang agak bau amis, yah aku hanya berdoa semoga peserta lain tidak mencium bau amis dari bajuku ini. Satu hal yang ku ingat saat aku harus menghadapi ujian yang sulit ini adalah bapak. Satu – satunya alasan yang membuatku harus menang. Karena kemenanganku adalah bapak, semangatku adalah bapak dan piala ini adalah untuknya. Bapakku tercinta. Butuh waktu berjam – jam untuk menunggu hasil pengumuman, saat – saat yang sangat mendebarkan. “ Yah, akhirnya kita sampai pada pengumuman lomba, juara pertama jatuh kepada ananda Lastri Wulandari dari SDN Kulon Mulyo 1!” riuh suara orang bertepuk tangan, aku pun di persilahkan untuk maju ke depan menerima piala. Betapa jantungku berdebar saat itu, bahagia, haru, dan lelah semuanya campur aduk. Piala pertama yang aku pegang, tanganku gemetar, aku merasa tak kuat untuk berdiri. Rasanya aku ingin menghilang dan langsung tiba sampai di rumah dan menceritakannya pada bapak. “Bapaaaaaaaaaakk!!!” Aku langsung saja melesat kedalam rumah, tapi tidak ada siapa pun di dalam, lalu aku berlari keluar. “ Pak, liat bapak saya, nddak?” tanyaku pada seorang nelayan di pinggir pantai. “ Oh, bapakmu katanya mau melaut dulu sebentar, tunggu aja nak paling dua hari lagi pulang.” jelas bapak itu. Aku tidak beranjak dari bibir pantai sejak aku pulang sekolah, seperti biasa aku menunggu bapak sambil menggambar di atas pasir, meski gambarku telah berkali – kali tersapu ombak, dan air laut yang mulai pasang, bapak belum datang juga. Angin bertiup cukup kencang, kurasa akan ada badai, dan bapak selalu tahu kalau aku tidak suka badai. Aku masuk kedalam rumah, aku tidur sendirian. Ketakutan. Entah mengapa aku tidak bisa tidur. Aku merasa kalau esok dan seterusnya akan berbeda, segalanya tidak akan pernah sama lagi. Esoknya sepulang sekolah aku selalu menunggu bapak di pinggir pantai. Selalu seperti itu setiap sore, mungkin bapak akan pulang besok, pikirku dalam hati dan sudah satu minggu bapak tidak kembali, berbulan – bulan, bertahun – tahun aku selalu di sini, setiap akhir tahun aku selalu kemari, tentu saja dengan piala pertamaku, aku selalu mendapat beasiswa dan piala piala, jadi seandainya suatu saat bapak pulang, dia akan melihat piala – piala yang sangat banyak, piagam – piagam, semuanya hanya untuk bapak. Hanya untuknya. Seseorang berpakaian wisuda tampak berdiri terpaku kearah pantai, dengan sebuah piala di tangannya. Matanya menatap kosong kearah laut. Yah, sekarang aku sudah sekolah sampai S3, dan sampai selama ini bapak belum juga datang. Aku sangat ingin menangis. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi orang yang kuat, aku akan selalu tersenyum sesulit apapun itu. Aku melihat sebuah kapal, sebuah perpustakaan terapung. Beberapa orang melambai ke arahku, kapal pun merapat dan anak tangga di turunkan. Aku berjalan perlahan ke arah kapal itu, Beberapa orang menyambutku. “ Ini, Pak pemilik kapal ini, Ibu Lastri.” Jelas salah seorang kru kapal. “ Ide yang sangat brilian.”sambil menjabat tanganku. “Terimakasih, Pak.”aku membalas dengan senyum. “ Mari saya antar berkeliling” ajakku. “ Oh, dengan senang hati, ngomong – ngomong adakah yang menginspirasi anda?” tanyanya dengan nada serius. “ Tentu saja, dia ayah saya” jawabku hampa. “ Oh, apa beliau ada di sini?” tanyanya. “ Tidak” jawabku singkat. “ Oh kalau begitu lain kali saja, saya ingin bertemu beliau” tukasnya. “ Sepertinya lain kali juga tidak bisa, Pak” jawabku. “ Oh, kenapa? Sibuk sekali ya?” tanyanya penasaran. “ Dia mungkin sudah tidak ada di dunia ini pak, sejak melaut dua puluh lima tahun lalu….aku tidak pernah melihatnya” jawabku menjelaskan. “ Oh, maaf. Apa anda tidak memajang fotonya di sini untuk mengenang beliau?”tanyanya. “ Haha, Aku tidak punya fotonya meski hanya selembar, tapi aku selalu mengingatnya, wajahnya dan kata – katanya tergambar jelas di ingatanku.” Aku menoleh ke arak pria itu dan tersenyum, tampak ia sangat serius mendengarkanku. “ Apa bapak mau mendengar kata – kata yang selalu dia ucapkan padaku?” aku melanjutkan. “ Tentu saja!” jawabnya cepat. “ Berpikirlah seperti samudera, luas dan dalam, tegarlah seperti karang, yang tidak gentar melawan deburan dan tekanan, jangan pernah menyerah seperti saat kau melukis di pasir, meski ombak berkali – kali akan menghapusnya.jangan pernah menyerah, meski saat kamu berfikir itu tak akan pernah mungkin, karena tuhan tidak tidur untuk mendengarkan hamba – hamba yang selalu berdoa kepadanya” Aku menoleh ke arah pria itu, tampak ia terpaku mendengarku dan berpikir sejenak. “ Sepertinya kau mewarisi semua yang dikatakan ayahmu.” jawabnya serius. “ Hahaha” aku tertawa setelah sempat terdiam sebentar. “ Sepertinya kita lanjutkan ke bagian perpustakaan, Pak” jawabku. SEKIAN oleh : vita puji lestari cerpen ini di posting untuk lomba"Indonesia dan Pena" 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun