"Setia Sebagai Kutu Media Cetak" yang saya tulis dan dimuat dalam kolom Surat Pembaca Kompas Rabu, 28 Maret 2018. Pertama mengenal harian Kompas saat saya tinggal di Soroako kelas 6 SD. Guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) memberi tugas untuk membuat kliping dari guntingan koran dengan tema Sidang Umum MPR.Â
Saat SMP tugas sekolah berbeda. Kami diberi tugas untuk mencari nama-nama menteri Kabinet Pembangunan, nama-nama kepala negara dan nama perdana menteri di dunia. Semua saya cari dari Kompas yang saya pinjam dari tetangga.
Tidak seperti di kota, harian Kompas diterima di Soroako satu hari setelah tanggal terbit. Hanya ada satu agen koran di sana. Agen ini mendapat kiriman koran melalui bis malam Ujung Pandang -- Soroako. Hanya ada satu agen bis di Soroako dengan waktu tempuh selama 12 jam. Koran diantar ke rumah-rumah pelanggan pada pagi hari dengan menggunakan sepeda.Â
Kami mengenalnya sebagai Pak Koran. Entah berapa belas kilo ditempuh Pak Koran mengelilingi komplek perumahan mulai dari Old Camp, Lawewu, Pontada hingga Salonsa. Tiap perayaan hari kemerdekaan, selalu diadakan lomba lari marathon. Pak Koran hampir selalu meraih juara. Berkat sepeda bututnya.
Selama di Malang, status saya masih pengangguran. Tiap pagi saya ke agen koran di perempatan jalan yang berjarak seitar 300 meter dari rumah. Di situ saya diperbolehkan menumpang membaca Kompas. Jika ada berita menarik, saya membeli Kompas. Kompas Minggu adalah koran yang rutin saya beli secara eceran.
Setelah saya ke Jakarta untuk bekerja, saya tetap setia berlangganan cetak harian Kompas. Saya tidak mau beralih ke e-paper. Sampai saat ini saya lebih nyaman membuka halaman demi halaman koran dengan bau yang khas kertasnya. Kliping tetap saya lakukan. Tema arkeologi, artikel-artikel yang berseri, kolom Bahasa, Geoweek, Geofacts, dan tema menarik lainnya menjadi sasaran gunting saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H