Mohon tunggu...
Vita Priyambada
Vita Priyambada Mohon Tunggu... Administrasi - Literasi

Penulis dan filatelis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

"Naik Kereta Api, Tut... Tut... Tut..."

11 Mei 2018   15:22 Diperbarui: 11 Mei 2018   15:36 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 PT Kereta Api Indonesia (KAI) jauh lebih baik kini. Sangat berbeda ketika saya masih kuliah tahun 1990-an saat saya sering bepergian Surabaya-Solo dan sebaliknya. Berbagai pengalaman lucu dan sesak pernah saya rasakan. 

Dahulu karcis kereta ekonomi bentuknya mirip kartu domino dengan warna merah muda, putih, kuning, atau hijau dan saya jadikan koleksi. Karcis kereta dibeli sebelum jam keberangkatan kereta. 

Siapa saja bisa masuk peron. Penumpang dibuat bingung karena tidak ada petunjuk nomor pada tiap gerbong kereta. Kereta sering penuh dengan penumpang yang berdiri, gerbong yang pengap dengan jendela yang terbuka sedikit, tak jarang kaca retak bahkan bolong bekas lemparan batu. Dalam perjalanan kereta jarak jauh, penumpang tidur di sela antara bangku atau di bawah bangku dengan alas koran.

Karcis kereta dan peron (dok.pribadi)
Karcis kereta dan peron (dok.pribadi)
Kereta sangat kotor dengan sampah, oleh karena itu ada asongan yang menawarkan jasa sapu lantai dan pengharum ruangan. Bahkan saya pernah melihat seorang perempuan gemuk dengan menggendong anak membersihkan lantai kereta hanya dengan tangan kosong. Pedagang asongan hilir mudik. 

Ada yang menjual nasi bungkus, minuman panas, pengamen tulen dan banci, tahu Kediri di Kertosono, onde-onde dan lumpia di Mojokerto, brem di Madiun dan Solo, kartu fisik dan isi ulang telepon seluler, tas dari batok kelapa di Purwokerto, batik dan baju Pekalongan, dan masih banyak lagi. Wisata kuliner ala rakyat kecil. Inilah kehidupan sesungguhnya rakyat kecil yang mengais rezeki di atas rel kereta.

Karena seringnya saya naik kereta Surabaya-Solo atau sebaliknya dengan kereta Purbaya atau Sri Tanjung, saya sampai hafal pedagang asongan yang berjualan di atas kereta. 

Di sekitar Jombang, ada penjual krupuk ikan seorang bapak yang tambun, di sekitar Ngawi ada dua pedagang asongan perempuan yang sudah agak sepuh membawa baskom aluminium. Mereka berjualan pisang dan kacang rebus, kacang goreng, dan penganan kecil lainnya. Mendekati Solo ada pedagang asongan seorang bapak paruh baya yang menjual majalah. Tawarannya selalu khas, "Bola satu dikeroyok 22 orang." Salah satu tabloid yang dijual adalah tabloid Bola.

Salah satu peristiwa ini tak akan pernah saya lupakan dan kejadian ini ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kereta berhenti di stasiun Solobalapan. Tampak ada laki-laki berumur sekitar 15 tahun dengan kaki kanan diperban sambil ngesot minta sedekah dari bangku ke bangku. Terdengar peluit panjang dan kereta bergerak perlahan. Tak disangka, laki-laki itu bergegas berdiri lalu lari terbirit-birit menuju pintu kereta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun