"ABK dek muka belakang, siapkan kapal sandar kiri!" Perintah yang terdengar melalui pengeras suara itu menandakan bahwa kapal PELNI yang saya tumpangi akan bersandar di pelabuhan Tahuna dengan lambung kiri merapat di dermaga. Ini salah satu kapal yang kerap saya naiki saat bertugas di Pulau Marampit, Sulawesi Utara.Â
Berangkat dari Bitung, lalu meyinggahi Pulau Kahakitang, pelabuhan Tahuna di Pulau Sangihe, Lirung di Pulau Salebabu, Pulau Karatung, dan Pulau Miangas. Di Pulau Karatung saya turun untuk selanjutnya, saya menyeberang lagi dengan perahu ke Pulau Marampit.
Kedatangan kapal tersebut ke Pulau Karatung dua minggu sekali dengan lama perjalanan dari Bitung ke Pulau karatung selama dua hari, sebab dari Sangir dan Talaud, selanjutnya kapal berlayar ke Ternate dan Ambon. Seringnya saya naik kapal ini kala saya bertugas di Pulau Marampit, membuat saya kenal baik beberapa ABK. Saya memilih tidur di kelas ektonomi. Tempat tidur berupa matras berjejer-jejer di seluruh ruang itu. Jangan kaget, ketika berbaring atau sekedar duduk di atas matras itu berkeliaran kecoa-kecoa kecil.
Tiap pagi, siang, dan malam penumpang antre mengambil jatah makan. Bila bosan, penumpang bisa mengambil udara segar merasakan hembusan angin dan alunan ombak di samping kapal. Di tengah laut luas, tiada sinyal telepon seluler. Saat kapal hendak merapat atau mendekati pulau-pulau berpenghuni, barulah sinyal berfungsi bila tersedia BTS di pulau itu.
Jika bosan, saya memperhatikan tingkah laku penumpang yang kerap tidak tertib membuang sampah sembarangan. Petugas kebersihan kapal yang dibuat repot membersihkan lantai berulang-ulang. Suatu ketika, saya melihat sendiri bahwa hasil menyapu ini tidak dibuang ke tempat sampah, tetapi langsung dibuang ke laut! Ups, betapa kasihan laut kita. Betapa malang nasib penghuni lautan yang memakan sampah.
Ketika saya bertugas di Pulau Nipa, Kepulauan Sangir, saya pernah melihat tampak kapal di kejauhan melewati Naha. Lalu saya bertanya, "Kapal itu hendak berlayar ke mana?" Dijawab, "Hendak ke Talaud." Ow, kini saya menaiki kapal itu. Beberapa pekerja dalam tim kami pun berasal dari Talaud dan saya tak pernah membayangkan bahwa satu tahun kemudian saya menginjak bumi tersebut.
Tidak hanya kapal PELNI yang saya tumpangi. Kapal-kapal perintis pun menjadi langganan saya saat pulang atau pergi sebab tugas saya mengharuskan beberapa kali saya harus ke Lirung atau Manado selama kurang lebih lima bulan tugas di Pulau Marampit. Ada dua kapal perintis: semuanya berangkat dari pelabuhan Bitung. Satu kapal dengan tujuan akhir di Pulau Karatung, dan kapal lain bersandar di Pulau Kakorotan untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Pulau Miangas.
Pengalaman naik kapal perintis lebih banyak bersimbah duka namun penuh kenangan dan kisah yang akan lekat sepanjang masa. Lama perjalanan dengan kapal perintis memakan waktu empat sampai lima hari sebab banyak singgah di pulau-pulau kecil untuk menurunkan sembilan bahan pokok, semen, jerigen-jerigen bahan bakar, dan menaikkan hasil kebun seperti karung-karung yang berisi biji pala dan kopra. Persinggahan ini pun bisa membutuhkan waktu belasan jam. Bahkan pernah kapal membawa sapi.
Tidak ada jejeran untuk tempat tidur beralas matras di atas kapal perintis. Hanya ada semacam ranjang beralas papan yang berderet di ruang bawah kapal. Tanpa penerangan yang cukup dan sirkulasi udara yang sangat kurang. Pengap dan gelap. Di ruang atas kapal, sirkulasi udara jauh lebih baik sambil duduk di bangku gandeng. Melihat pemandangan pulau-pulau kecil tanpa penghuni atau sejauh mata memandang air laut yang tenang dan kadang bergelora. Atau sambil menyaksikan VCD lagu-lagu yang diputar pada televisi sebagai satu-satunya hiburan.

Bagi penduduk pulau keadaan demikian sudah dimaklumi karena inilah satu-satunya alat transportasi 'ke dunia luar'. Namun, bagi penumpang yang tidak terbiasa hal ini menjadi kejadian yang luar biasa. Sepert halnya saya yang awalnya kaget, tetapi lama-lama biasa dan dapat menikmati dengan segala cerita suka dan duka di dalamnya. Jika tidak mengalami sendiri, saya tak akan pernah tahu bagaimana kehidupan mereka sebenarnya yang berada nun jauh di ujung-ujung pulau negeri ini. Apalagi bagi yang sudah terbiasa hidup di kota dengan segala kemudahan sarana transportasiyang tersedia.
Mau tidak mau saya pun tidur beralas tikar plastik dan beralas papan dalam ruang yang pengap dan tanpa penerangan. Di samping ranjang saya ada tumpukan semen, sementara di ruang yang sama masih ada karung-karung beras, kopra, dan lain-lain. Penuh sesak dijejali segala macam barang. Sementara tikus-tikus bermain dan berkejaran.
Ketika musim gelombang tinggi, saya memutuskan untuk menyewa kamar ABK. Saya ingin tidur sedikit nyaman karena saya tidak berkawan baik dengan ombak yang mengombang-ambingkan kapal. Dalam kamar itu terdapat dua ranjang kayu tingkat yang sempit. Saya menyewa dari salah satu ABK kenalan baik saya. Saya tidur di ranjang bawah, sementara ABK tidur di ranjang atas dan ranjang satu lagi. Oleh ABK kenalan saya, pada sisi ranjang dipasang kain pelindung yang diikat pada ujung ranjang.
Kesengsaraan ini belum berakhir. Ketika kapal akan merapat ke dermaga dan pada saat itu sudah banyak kapal lain yang lebih dahulu bersandar di dermaga, maka kapal berikutnya akan merapat di samping kapal yang sudah merapat. Penumpang yang akan turun ke pelabuhan harus meloncat antarkapal. Keterampilan melompat inipun wajib dimiliki oleh penumpang.
Suatu saat, ketika saya akan naik kapal perintis di Pulau Karatung, ombak sangat tinggi. Meskipun kapal sudah merapat di dermaga, badan kapal terombang-ambing oleh ombak. Pintu keluar masuk penumpang ditutup karena akan berbahaya bila penumpang naik lewat situ. Penghubung antara bibir dermaga dan pintu adalah bilah papan. Dengan keadaan yang demikian maka penumpang naik dari lambung kapal. Meskipun di situ ada tangga menggantung, tapi tak dapat dipakai. Tak masalah penumpang laki-laki bisa naik melalui lambung. Bagaimana dengan penumpang perempuan termasuk saya? Kami harus dijunjung dari bawah dan ditarik ke atas oleh penumpang lainnya.
Lain lagi kisah ketika kami berlabuh di Pulau Kakorotan yang rute kapalnya memang merapat di pulau ini, tetangga Pulau Marampit. Tengah malam kapal tiba di Pulau Kakorotan dan air laut sedang surut sehingga kapal berlabuh di tengah laut. Penumpang turun melalui tangga besi di lambung kapal dan di bawahnya sudah menanti perahu tradisional bermesin yang akan membawa kami ke darat.
Bagi saya pengalama perjalanan melalui laut ke Sangir lebih mudah dan tidak mempunyai pengalaman khusus, kecuali satu cerita di bawah ini. Hari sudah sore dan cuaca mendung tanda sebentar lagi akan hujan. Saat itu saya masih berada di pelabuhan Petta, sedangkan kapal yang biasa melayani pelabuhan ini ke Pulau Nipa sudah berangkat ke pulau sejak tadi.

Hanya papan saya yang patah, lainnya tidak. Sampai di pulau, hujan sedikit reda dan ketika akan turun dari perahu, saya kesulitan. Terasa sangat sakit dan saya harus dipapah. Hampir tiga minggu saya rasakan dan sangat sulit saat akan duduk atau berdiri.
Di lain hari ketika saya naik pamo (sebutan untuk perahu yang badannya agak lebar di Sangir), di tengah perjalanan antara Pulau Nipa dan pelabuhan Petta. Air laut begitu tenangnya. Pemandangan yang sangat jarang dapat saya saksikan, yaitu lumba-lumba yang muncul melompat ke permukaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI