Mohon tunggu...
Vita Ariyanti
Vita Ariyanti Mohon Tunggu... Duta Besar - Mahasiswi

Mahasiswi UIN WALISONGO Semarang Prodi Sosiologi 2017

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelisik Implikasi Prosesi Slametan dalam Masyarakat Jawa

23 Juni 2019   23:05 Diperbarui: 24 Juni 2019   07:41 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peringatan akan dilaksanakannya suatu budaya juga dapat dilakukan dengan memberitahu kepada masyarakat melalui penyiaran di masjid sehingga masyarakat dapat mudah untuk mengetahui. Sebagian masyarakat yang antusias dalam pelaksanaan ritual budaya, dalam jauh hari biasanya sudah mempersiapkan segala keperluan untuk mencegah kekurangan perlengkapan proses ritual budaya tersebut.

Budaya yang kental bercampur dengan agama, kebanyakan terjadi pada masyarakat jawa terutama pada Agama Islam. Pada masyarakat jawa memiliki karakteristik yang ramah serta kolot dengan budaya mereka, sehingga terlalu sulit untuk meninggalkan keajega yang telah mendarah daging dalam hidupnya tersebut. Bagi mereka (masyarakat Jawa) "ora ilok" apabila tak ada pengajian atau tahlilan dalam sebuah ritual budaya. Slametan (bancaan) merupakan prosesi yang khas dengan pengajian atau tahlilan.

Masyarakat sangat menyakini akan keberkahan dari pengajian atau tahlilan yang dilakukan dalam slametan tersebut. Slametan menjadi upacara keagamaan yang dijadikan lambang mistik serta sosial bagi masyarakat yang berperan di dalamnya. Acara slametan menjadi suatu hal yang dianggap menjadi suatu keharusan muncul dalam segala ritual budaya atau peristiwa dalam masyarakat.

Banyak ritual budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang mengikutsertakan prosesi slametan kedalamnya. Budaya pertama Ruwah Jamak (mendoakan sanak keluarga yang telah meninggal) dilakukan dengan runtutan proses yang berakhir dengan prosesi slametan. Masyarakat terlebih dahulu melaksanakan Sholat Tasbih, mmebaca surat yasin 2x dan pembacaan nama-nama sanak keluarga yang telah meninggal dan diakhiri dengan slametan.

Budaya kedua yaitu Suronan, yang diawali dengan acara oncor-oncor dengan sebagian masyarakat membawa obor dan berkeliling kampung dan diakhiri dengan slametan yang sebelumnya dilakukan pembacaan doa-doa. Budaya ketiga ialah Nyadran, yang dilakukan dengan ziarah makam serta membawa makanan yang akan didoakan serta dimakan bersama-sama (slametan).

Budaya keempat yaitu Sedekah Bumi dan Sedekah Laut yang dilakukan untuk mengucapkan rasa syukur terhadap Allah SWT atas keberkahan serta kelimpahan sumber daya alam. Sedekah laut biasanya dilakukan oleh masyarakat daerah pesisir dan sedekah bumi dilakukan oleh masyarakat desa yang masih memiliki lahan persawahan maupun perkebunan. Setelah menyelesaikan kedua budaya tersebut, masyarakat mengakhirinya dengan slametan.

Seperti pada penyampaian sebelumnya, khususnya pada budaya jawa dalam praktiknya selalu memasukkan agama dalam segala praktiknya. Praktik agama yang terlibat dalam ritual budaya maupun peristiwa sehari-hari masyarakat tak pernah meninggalkan prosesi slametan. Slametan menciptakan sebuah siklus yang seterusnya berulang pada peristiwa masyarakat sehari-hari seperti kelahiran, khitanan dan perkawinan, serta kematian.

Kelahiran memiliki empat periode slametan yang dilaksanakan: Tingkeban, diselenggarakan apabila anak yang dikandung si ibu adalah anak pertama. Babaran/brokohan, diselenggarakan pada hari dimana bayi tersebut lahir. Pasaran, ialah lima hari sesudah kelahiran bayi. Pitonan, ialah tujuh bulan bayi tersebut dilahirkan (Clifford, 1985). Slametan biasanya juga akan diselenggarakan saat si anak tersebut memasuki hari pasarannya (legi, pahing, pon, wage, kliwon) yang bertujuan agar si anak tersebut tumbuh sehat, diberikan umur panjang, serta keberkahan yang melimpah. 

Khitanan atau yang lebih akrab dikenal dengan sunatan menyerupai dengan upacara perkawinan, namun menghilangkan adanya upacara bersanding yang dilakukan oleh pasangan pengantin. Hidangan yang ada pada slametan sunatan (islaman) sama dengan hidangan pada slametan perkawinan (kepanggihan). Pada kedua acara tersebut terjadi pengeluaran yang berlebihan dalam merayakannya. Menyediakan hiburan sewaan yang meriah; wayang kulit dengan seperangkat gamelan lengkap biduanitanya. Sebanyak ratusan orang yang mungkin yang diberi makan dalam prosesi slametan tersebut (Clifford, 1985).

Perkawinan disebut juga dengan kepanggihan (dalam bahasa jawa). Bagi orang-orang jawa dulu, sebelum melaksanakan upacara perkawinan harus ditentukan terlebih dahulu tanggal baiknya yang didapatkan dari perhitungan pasaran calon manten laki-laki (jaler) dan calon manten perempuan (estri). Seperti dalam islaman atau khitanan, slametan perkawinan diselenggarakan di malam hari menjelang upacara yang sebenarnya dilaksanakan. Slametan itu disebut dengan midodareni. 

Peristiwa kematian tak luput pula dari prosesi slametan. Setelah kabar kematian diketahui oleh orang sekampung, mereka ikhlas hati untuk melayat dan hadir dalam hari-hari peringatan kematian. Peringatan kematian dari 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari (mendak), dan 1000 hari kedua dengan memanjatkan doa-doa yang dikirimkan untuk orang yang telah meninggal agar berada di tempat yang terbaik, mendapatkan ketenangan serta diampuni segala dosa-dosanya oleh Allah SWT. Pada setiap peringatan kematian tersebut dilakukan dengan ziarah makam terlebih dahulu serta melakukan pengajian dengan memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT dan diakhiri dengan slametan di kediaman orang yang telah meninggal tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun