Mohon tunggu...
Vita Achmada
Vita Achmada Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

Saya merupakan Mahasiswa aktif yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar pada isu-isu Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Gender dan Patriarki yang Masih Lekat, Bagaimana Indonesia dapat Mewujudkan Genderless Society?

7 April 2024   12:55 Diperbarui: 7 April 2024   13:23 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak zaman dahulu, adat masyarakat telah menempatkan posisi kelas laki-laki sebagai hierarki tertatas sedangkan, perempuan ditempatkan pada posisi dibawahnya. Praktik ini telah tampak di tahun 1500 SM pada kehidupan masyarakat Buddha, perempuan dinikahkan sebelum saat masa puberitas dan sebagian besar dari mereka harus buta huruf karena tidak mendapat hak pendidikan yang selayaknya. Praktik lainnya terjadi pada kehidupan masyarakat Hindu di tahun 1500 SM (zaman Vedic), yaitu perempuan tidak mendapatkan hak harta warisan dari suami atau keluarga yang meninggal. Sedangkan, dalam peraturan hukum agama Yahudi, perempuan dilarang menghadiri acara upacara keagamaan dan hanya diperbolehkan di rumah saja. Hal tersebut karena perempuan dianggap najis, inferior dan sumber polusi.

Berdasarkan beberapa kajian yang yang dilakukan oleh Sakina (2017) serta Wayan dan Nyoman (2020), dapat dinyatakan bahwa adanya keberlanjutan dari adat (customs) atau tradisi budaya-budaya lokal akan peran laki-laki yang mendominasi ini menjadi salah satu alasan mengapa patriarkis sulit untuk dihilangkan dari peradaban bangsa. Patriarki dengan segala peraturan dan stigma-stigma di belakangnya menimbulkan dampak ketidaksetaraan gender yang menyebabkan banyak permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti rendahnya partisipasi perempuan dalam dunia pembangunan dan industri, rendahnya kualitas dan pemberdayaan perempuan, ketimpangan dan kesenjangan sosial berbasis gender, hingga kekerasan-kekerasan terhadap perempuan.

United nations development programme (UNDP) pada tahun 2010 mengenalkan Gender Inequality Index (GII) untuk pengukuran ketimpangan gender. GII memaknai pembangunan manusia yang hilang adalah akibat dari ketimpangan bentuk pencapaian antara perempuan dengan laki-laki. Seiring dengan berkembangnya pengukuran ketimpangan gender, Badan Pusat Statistik dalam mengukur bentuk ketimpangan gender atas dampak buruk dari budaya patriarki di Indonesia dengan merilis sebuah indeks kajian perhitungan IKG (Indeks Ketimpangn Gender) 2021 sebagai berikut.

Gender Inequality Index di wilayah Asia Timur dan Pasifik pada tahun 2019 mengalami perkembangan yang signifikan yaitu di akurasi 0,324 dibandingkan dengan akurasi sebelumnya tahun 2018 yaitu 0,31. Sejalan dengan negara Indonesia di tahun 2019 yang sebelumnya terus mengalami penurunan secara berkala. Indonesia berada pada akurasi 0,480 yang berarti pembangunan terkoreksi atas ketimpangan gender sebesar 48%. Meskipun, sempat berada pada akurasi tertinggi 0,563 di tahun 2000 dan cukup jauh merosot akurasinya namun, jika dibandingkan dengan perhitungan rata-rata dunia dan kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia cenderung lebih optimal. Pada tahun 2019, di wilayah lain seperti Asia Tengah dan Eropa Gender Inequality Index telah mencapai angka yang cukup rendah yaitu 0,256. Sedangkan, Kawasan Asia Selatan, Arab, Sub-Sahara Afrika tercatat masih berada pada akurasi lebih dari 0,5 yang artinya, pembangunan di kawasan tersebut terkoreksi dengan ketimpangan gender sebesar 50%. Pada tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 121 dari 162 negara dalam indeks ketimpangan gender. Dapat dikatakan bahwa negara Indonesia masih kental akan budaya patriarki yang membawa dampak ketimpangan gender hamper di seluruh aspek pembangunan sosial dan industri. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam keseimbangan pada konteks ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan diantaranya adalah kesehatan reproduksi, kesetaraan capaian pendidikan, fertilitas remaja, parlemen dan kesempatan kerja. Kesetaraan gender di Indonesia masih terbilang cukup tertinggal dari negara-negara lain di ASEAN.

Dari peta indeks ketimpangan gender (IKG) menurut Provinsi di Indonesia pada tahun 2018 banyak wilayah-wilayah dengan kategori ketimpangan gender yang tinggi. 2 tahun setelahnya, beberapa dari wilayah tersebut berkurang akurasinya menjadi menengah keatas namun, masih terdapat wilayah yang tetap akurasinya seperti Kalimantan Tengah dan Bali yang justru meningkat. Meskipun, topik kesetaraan gender menjadi salah satu perhatian publik namun, konstruksi ini tetap membawa pengaruh negatif yang terus meningkat akurasinnya menyebabkan semakin kuatnya stigma atau stereotipe masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki yang dapat menghambat ruang gerak kehidupan selain itu, dapat menimbulkan sebuah kesenjangan berbasis gender, kasus-kasus kekerasan bahkan diskriminasi. Nilai-nilai dari sistem patriarki membentuk kesenjangan dalam tatanan sosial, relasi dan peran gender, serta pemahaman relasi kuasa tingkat makro dan mikro.

Terlepas dari seluruh upaya dalam menyuarakan ketimpangan gender melalui kebijakan-kebijakan serta munculnya gerakan feminisme dan proyeksi kesetaraan gender, apakah negara Indonesia dapat mewujudkan konsep genderless society?. Dalam sebuah konsep genderless society, terlebih dahulu kita menyamakan interpretasi akan makna gender dan seks.

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi tanggung jawab, peranan maupun fungsi yang secara keseluruhan terbentuk atas konstruksi sosial sehingga, memungkinkan adanya kedinamisan atau dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Sementara, seks adalah perbedaan jenis kelamin sebagai identitas secara biologis antara laki-laki dan perempuan. Melalui definisi singkat tersebut maka, dapat dipahami bagaimana perbedaan atas gender dan seks. 

Genderless society merupakan suatu konsep dimana tidak terdapatnya pengelompokan gender, hal ini berdasarkan pada pendidikan, perilaku dan seluruh pengaturan yang membatasi gender bias sehingga, seluruh manusia memiliki kesempatan sama dalam semua aspek kehidupan. Tujuan dari genderless society berbeda secara signifikan dengan gender equality yang mengurangi ketimpangan antar gender. Genderless society bertujuan untuk menghilangkan bentuk dari konsep setiap gender yang didalamnya berisi penentuan peran, fungsi, perilaku dan tanggung jawab berdasarkan jenis kelamin. Untuk dapat mewujudkan konsep genderless society pada sebuah negara khususnya di Indonesia yang lekat akan budaya patriarki dan ketimpangan gendernya perlu adanya sebuah eksistensi dan komitmen yang kuat dari seluruh lapisan pemerintah hingga masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan Indonesia tanpa gender aau genderless society diantaranya ;

1. Pemulaan dan pendidikan

Membangun sebuah pendidikan netral gender dan mendorong bias gender. Melalui pemulaan dan pendidikan tanpa distorsi gender akan menghasilkan generasi pelajar yang tidak terikat akan konsep klasifikasi gender.

2. Pemberdayaan perempuan dalam segala aspek khususnya politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun