Kunjungan ke Yordania, ibarat belajar sejarah langsung di tempat. Yordania, yang sebagian daerahnya termasuk dalam wilayah Tanah Suci, membuatnya memiliki banyak situs bersejarah yang berhubungan dengan keagamaan. Seperti Gunung Nebo, tempat di mana Nabi Musa melihat Tanah Perjanjian. Al-Maghtas (Bethany Beyond the Jordan), tempat di mana Jesus dibaptis oleh Johanes Pembaptis.Â
Umm Qais (dulunya disebut kota Gerasa), tempat di mana Jesus melakukan mujizat menyembuhkan orang yang kerasukan roh jahat, dengan memindahkan roh jahat tersebut ke sekumpulan babi yang ada di sekitar tempat tersebut. Selain situs yang berhubungan dengan keagamaan, Jordania juga pemilik salah satu "7 keajaiban dunia (versi baru)", yaitu Petra.
Petra adalah sebuah situs bersejarah. Ibu kota dari Kerajaan Nabath (Nabatean). Nabath adalah salah satu suku kuno nomaden yang menjelajah gurun di Arab.Â
Pada sekitar tahun 200 SM, suku ini mulai menetap di Petra. Suku ini memegang kendali perdagangan di daerah tersebut.Â
Masa keemasan Petra, sebagai ibu kota Kerajaan Nabath adalah pada tahun 5 SM - 50 M, di mana populasinya mencapai 20.000 jiwa.Â
Kejatuhan Petra terjadi karena adanya perubahan pada rute perdagangan, dan juga karena terkena dua kali gempa berkekuatan besar pada tahun 363 M dan 551 M. Petra mulai ditinggalkan.Â
Pada pertengahan abad ke-7 semakin besar wilayah Petra ditinggalkan, hingga akhirnya "hilang". Hanya suku Badawi (Bedouin) yang berada di sekitar tersebut yang mengetahui keberadaannya.
Kisah penemuan Petra mengingatkan akan kisah Indiana Jones, sebuah film yang menceritakan tentang seorang arkeolog yang bertualang mencari artefak-artefak kuno.Â
Penemu Petra, bukan seorang arkeolog. Namun kisahnya dalam upaya menemukan Petra merupakan petualangan yang mendebarkan layaknya petualangan Indiana Jones.Â
Adalah Johann Ludwig Burckhardt, seorang penjelajah kelahiran Swiss. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas, ia pergi ke Inggris dan berkenalan Sir Joseph Banks, seseorang pengurus organisasi yang mendukung penemuan bagian dalam benua Afrika. Burckhardt mengajukan diri untuk ikut dalam salah satu ekspedisinya dan diterima.Â
Sebagai persiapan, ia belajar Bahasa Arab dan berbagai hal yang akan berguna untuk ekspedisi tersebut.Â
Ekpedisi ke Timur Tengah ini dimulai pada tahun 1809, dimulai dengan Malta dan kemudian Aleppo, Siria, di mana ia tinggal hampir selama 3 tahun di sana. Layaknya seorang penjelajah sejati, Burckhardt piawai beradaptasi dengan cara hidup penduduk setempat.Â
Selain fasih berbahasa Arab, ia memakai baju muslim dan bahkan mempunyai nama Arab, Sheikh Ibrahim Ibn Abdullah. Setelah hampir 3 tahun di Aleppo, Burckhardt melanjutkan ekspedisinya ke Kairo.Â
Rute perjalanannya melalui Yordania Selatan, di mana ia mendengar cerita tentang sebuah kota yang diyakini sebagai tempat beradanya makam Nabi Harun (yang merupakan saudara dari Nabi Musa).Â
Ia yang sebelumnya sudah banyak belajar tentang sejarah, mengetahui tentang keberadaan kota yang hilang dan sadar bahwa kemungkinan inilah kota tersebut.Â
Tentunya ia sangat tertarik, dan membuat rute perjalanannya mendekati kota yang hilang ini. Petra yang pada saat itu dijaga oleh suku Badawi, tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya.Â
Burckhardt tidak kehilangan akal. Ia menyamar menjadi orang Arab yang datang dari India dan bermaksud untuk memberikan kurban pada makan Nabi Harun. Ditemani oleh suku Badawi, ia pun masuk ke dalam situs tersebut.Â
Penyamarannya nyaris terbongkar karena ia sibuk mengamati dan mencatat penemuan yang sangat luar biasa itu. Ia dituduh hendak mencuri harta karun yang diyakini ada di Petra. Ia pun tak bisa berlama-lama, dan segera menunaikan "tujuannya" dengan memberikan kurban di makam Nabi Harun.
Salah satu kehebatan mereka adalah dalam tata kelola air. Mereka membangun sistem untuk mengumpulkan air hujan dengan menggunakan jalur air, pipa dan waduk bawah tanah.Â
Mereka juga membangun waduk di luar kota mereka untuk menampung air hujan dan mengalirkannya ke dalam kota dengan menggunakan pipa yang memanfaatkan gaya gravitasi untuk menyedot dan memindahkan air. Kita masih bisa melihat beberapa peninggalan tersebut.Â
Petra terkenal dengan sebutan "The Red Rose City", karena warna bebatuannya. Untuk masuk ke situs Petra, kami membeli tiket terlebih dulu di Visitor Center.Â
Dari sini, kami bisa memilih berjalan kaki atau menunggang kuda (ditemani orang yang menuntun kudanya) untuk sampai ke gerbang situs.Â
Harga tiket sudah termasuk fasilitas menunggang kuda. Hanya perlu memberi tip kepada penuntun kuda. Sebetulnya jaraknya tidak jauh, namun kami memilih naik kuda. Biar lebih seru. Serasa jadi Indiana Jones.
Di beberapa lokasi, kami masih bisa melihat beberapa  pahatan dan gambar di bebatuan. Juga pipa dan saluran air sepanjang dinding tebing, yang berguna untuk menyalurkan air.Â
Setiba di ujung "koridor", kami melihat dari kejauhan bangunan yang merupakan ikon Petra: Al-Khazneh (The Treasury).Â
Monumen ini adalah tujuan utama orang berkunjung ke Petra. Bahkan banyak yang ke Petra hanya sampai di monumen ini dan tidak melihat bangunan-bangunan lainnya, yang padahal justru juga sama menarik dan penting.
Dari Al-Khazneh, kami melanjutkan perjalanan dan melewati Teater, satu-satunya teater di dunia yang diukir di batu. Tak Jauh dari Teater, kami mengunjungi Makam Kerajaan (Royal Tombs).Â
Ada 4 makam kerajaan di lokasi ini, Makam Guci (Urn Tomb), Makam Sutra (Silk Tomb), Makam Korintus (Corinthian Tomb) dan Makam Istana (Palace Tomb).Â
Keledainya seperti sudah tahu arah jalan. Tak perlu dituntun. Sampai di satu titik, keledai berhenti dan kamipun turun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.Â
Sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai di The Monastery (Ad Deir). Sesuai dengan Namanya, Monastery dibangun untuk tujuan keagamaan.
Ditambah lagi, lokasinya yang membuat kita bisa memandang tampak muka The Monastery yang luar biasa. Kami menikmati dengan sangat waktu kami di sini sambil meminum secangkir kopi yang ditabur kapulaga, kopi khas di sini.
Dari ke semua monumen yang ada, Al-Khazneh (The Treasury) adalah yang utama, dan juga yang memiliki legenda menarik.Â
Mendengar cerita tentang Al-Khazneh, mengingatkan saya akan cerita Alibaba di Sarang Penyamun. Di mana Alibaba menemukan harta karun para perompak di dalam sebuah goa.Â
Penamaan monumen, Al-Khazneh, dikarenakan adanya legenda bahwa para perompak pada zaman dahulu, menyembunyikan harta jarahan mereka di tempat tersebut.Â
Al-Khazneh dalam Bahasa Arab dapat diartikan The Treasury atau tempat penyimpanan harta. Suku Badawi yang tinggal di situ, percaya bahwa harta tersebut disembunyikan dalam sebuah guci yang terdapat di bagian atas tampak muka monumen.Â
Sedemikian percayanya, pada awal abad ke-20, guci ini ditembak untuk mengeluarkan "harta karun" yang diyakini ada didalamnya (sedikit berbeda dengan kisah Alibaba yang menggunakan kata kunci untuk membuka goa).Â
Sayangnya, ternyata guci itu dibuat dari batu paras yang solid. Tidak ada rongga untuk menyimpan harta karun. Menurut para ahli, Al-Khazneh dibangun sebagai makam untuk Raja Nabath, yaitu Raja Aretas IV pada sekitar abad ke-1 Masehi dan tidak ada tanda-tanda adanya harta karun disini (setidaknya sampai saat ini. Tidak tahu bila dikemudian hari ternyata ada sesuai dengan legenda).
Indahnya Petra. Uniknya Petra. Eksotisnya Petra. Tak heran membuatnya sering menjadi inspirasi berbagai kisah. Mulai dari buku cerita seperti Petualangan Tintin di Laut Merah, sampai dijadikan lokasi film seperti Transformers: Revenge of the Fallen, dan (tentunya) Indiana Jones: The Last Crusade. Bahkan tak ketinggalan fim Korea, Misaeng menggunakan Petra dalam ceritanya.
Petra, seakan memiliki daya magis yang akan membangkitkan imajinasi bagi siapapun yang mengunjunginya. Dan bagi saya, Petra adalah "petualangan". Petra adalah "hikayat seribu satu malam".... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H