Sebetulnya saya agak ragu untuk menaruh judul “Pengalaman Hidup Nomaden di Mongolia”, karena saya hanya merasakannya dua hari satu malam. Namun, karena kesan yang dirasakan dari pengalaman yang singkat, ternyata sangat membekas, membuat saya memberanikan diri menulis dengan judul seperti itu.
Mongolia memiliki luas area sekitar 1.5 juta kilometer persegi, tetapi hanya memiliki penduduk 3 juta jiwa, dan sekitar 45 persen penduduknya tinggal di ibukota, Ulaanbataar. Jadi dapat dibayangkan betapa rendahnya tingkat kepadatan penduduk di dareah lain.
Sekitar 30 persen dari penduduknya, menjalani hidup nomaden. Hal ini dikarenakan mata pencaharian mereka dari hewan ternak, yang memerlukan padang rumput luas dan juga dikarenakan iklim yang tidak mudah, dimana saat musim dingin, suhu bisa mencapai dibawah minus 30 derajat celcius.
Mereka berpindah tempat menyesuaikan kondisi musim, saat musim dingin, mereka akan memilih tinggal di balik gunung untuk melindungi dari cuaca dingin.
Saat musim semi dan panas, mereka akan tinggal di dekat sungai. Dan saat musim gugur, mereka akan tinggal di bukit untuk mengumpulkan jerami sebagai persediaan musim dingin. Biasanya mereka akan berpindah minimal 4 kali dalam setahun.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/fb-img-1532268484063-5c72a2706ddcae60e10037c4.jpg?t=o&v=770)
Namun, pengalaman tinggal bersama keluarga nomaden di Mongolia, suatu hal yang sangat unik dan sarat pelajaran hidup, yang membuat saya mendedikasikannya dalam tulisan tersendiri.
Keluarga nomaden yang kami tumpangi, lokasinya tidak jauh dari Hustai National Park. Mereka tinggal di tenda yang disebut ger. Tenda berwarna putih dengan bentuk silinder. Strukturnya terdiri atas tiang-tiang kayu yang yang disusun membentuk lingkaran, yang kemudian ditutup dengan penutup bahan felt dan kanvas.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/20190223-200504-5c729a71bde5750df35387b3.jpg?t=o&v=770)
Ger yang kami tempati mempunyai 4 tempat tidur yang diletakkan menempel dinding tenda. Di bagian tengah tenda ada perapian lengkap dengan cerobong yang menembus atap tenda. Beberapa perabot seperti lemari, meja dan kursi juga tersedia di dalam tenda.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/received-293123454703533-5c72a0aec112fe28b75cde25.jpeg?t=o&v=770)
Yang disebut toilet hanya lubang di tanah dan di sekelilingnya diberi seng untuk sedikit mendapat privasi saat melakukan panggilan alam. Setelah selesai, tinggal menutupi dengan tanah, menggunakan sekop yang memang disediakan di “toilet” tersebut. Mengamati situasi dan kondisi, satu hal kami tahu pasti, tak ada mandi untuk malam itu.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/20190224-203210-5c729eb1c112fe08a3000625.jpg?t=o&v=770)
Sepulang berkuda, kami dipinjamkan pakaian mereka untuk berfoto, membuat kenangan sebagai pengingat kelak, kalau kami pernah berada di sana. Waktu mengalir lembut, tak tergesa. Kami menikmati hanya saat itu, menikmati apa yang ada. Berjalan-jalan di sekitar ger.
Melihat ternak, sapi, kambing, domba dan kuda yang jumlahnya puluhan. Juga bermain dengan anak kambing, yang dijadikan hewan peliharaan oleh mereka. Berbeda dengan kebanyakan hewan peliharaan di tempat lain, di keluarga nomaden Mongolia, anak kambinglah yang dijadikan hewan peliharaan.
Anak kambing ini biasanya anak kambing yang ditelantarkan oleh induknya. Anak kambing ini ditambat di depan ger. Ia selalu ingin masuk ke dalam ger. Sangat ramah dan tidak takut terhadap manusia. Bahkan bila kami menjauh, ia akan berteriak-teriak memanggil. Kami memberinya nama Brownie, sesuai warna bulu coklatnya. Oleh pemandu kami, Brownie disebut "calon kashmir"
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/25/20190225-131109-5c7387da43322f1d4c3452d5.jpg?t=o&v=770)
Apalagi sop hangatnya, pas untuk menghangatkan badan. Walaupun kami pergi pada saat musim panas, suhu pada malam hari bisa turun sampai sekitar 16 derajat celcius. Sisa malam, kami habiskan dengan mengobrol sambil mengamati bintang yang tampat jelas di langit yang tak tersentuh polusi udara.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/fb-img-1532530919037-5c729c8343322f42373f9c57.jpg?t=o&v=770)
Selesai sarapan, kami mulai berberes barang-barang dan (harus) siap untuk melanjutkan rangkaian perjalanan kami. Sesuai dengan kebiasaan, bila kita berkunjung ke keluarga nomaden, maka kita akan memberikan beberapa barang untuk mereka.
Kami memilih untuk memberikan makanan, seperti biskuit dan kue kering. Terharu melihat reaksi mereka saat menerima barang sekadarnya dari kami. Mereka sangat menghargai pemberian tersebut.
Sedih juga rasanya saat akan meninggalkan mereka. Saat kami akan pergi, kami didoakan oleh mereka. Mereka juga mengundang kami untuk datang tinggal kembali. Semua begitu tulus, baik dan ramah.
Walau hanya sebentar saja mengalami hidup nomaden, namun banyak hal yang kami dapat pelajari darinya. Saat orang jaman sekarang sedang mendengung-dengungkan hidup minimalis, keluarga nomaden ini sudah melakukannya. Mereka hanya mempunyai sedikit barang, barang yang benar-benar mereka perlukan.
ak ada budaya konsumtif. Dengan sedikitnya barang yang mereka miliki, mereka hanya memerlukan waktu sekitar 2 jam untuk membongkar tenda dan mengemas barang bila akan pindah ke lokasi lain.
Iklim yang tak mudah, tak membuat mereka mengeluh. Mereka menyikapinya dengan memiliki persiapan yang matang. Persiapan dalam hal berpakaian, dengan menggunakan kashmir yang dibuat dari bulu kambing. Bahan ini salah satu bahan terbaik untuk menghangatkan badan.
Persiapan dalam hal makanan, dengan menaruh mentega dalam hampir setiap makanan bahkan minuman mereka, untuk menambah kalori yang diperlukan agar dapat bertahan dalam suhu rendah. Tenda yang dibuat berlapis-lapis dari bahan felt yang tebal, ampuh menahan dinginnya cuaca.
![Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/24/fb-img-1532530917162-5c729f09677ffb3b3a068369.jpg?t=o&v=770)
Susu dimanfaatkan dengan beragam cara. Mereka mempunyai beragam produk dari susu. Dari langsung meminumnya. Membuat Zöökhii, yaitu semacam cream/mentega. Difermentasi dan dijadikan keju (biyaslag) atau yogurt (tarag). Kotoran ternak dikeringkan dan dipakai sebagai pengganti kayu bakar untuk perapian.
Mensyukuri hal-hal yang oleh kebanyakan orang adalah hal yang biasa. Anak-anak begitu senang dengan "hanya" diberikan biskuit, tak perlu alat gadget atau mainan mahal lainnya. Para wanitanya, senang sekali bila diberikan lipstik ataupun bedak.
Satu hal yang menurut saya sangat indah adalah cara hidup mereka yang mengambil secukupnya dari alam dan meninggalkan nyaris tanpa sisa/sampah. Mengambil hanya yang mereka butuhkan. Secukupnya. Tidak serakah menguras sumber daya alam.
Dan ketika mereka pindah lokasi, mereka tidak menyisakan apapun. Satu-satunya tanda bahwa mereka pernah ada di sana, hanya berupa lingkaran di tanah tanpa rumput, bekas berdirinya ger mereka.
Walaupun sekarang ini banyak yang mulai mencari tempat tinggal dan kerja di kota, namun ada sebagian yang memang memilih untuk hidup nomaden.
Perasaan bebas, hidup dengan irama perlahan, sehingga setiap saat betul-betul bisa dinikmati, tinggal di tempat dengan latar belakang gunung, depan sungai dan kehijauan padang rumput luas tak terbatas, hidup menyatu dengan alam, adalah segelintir alasan tak terbantahkan atas pilihan mereka untuk hidup nomaden.
Perjalanan kali ini memang sungguh menarik. Menarik, karena saya menemukan banyak nilai-nilai "modern" yang sekarang ini sedang banyak digemakan (hidup minimalis, bersatu dengan alam, kurangi sampah), justru dari kehidupan nomaden yang notabene dianggap lebih "kurang modern" dalam pandangan umum.
Mongolia. Semoga suatu saat saya bisa kembali ke sana....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI