Mohon tunggu...
Viryan Azis
Viryan Azis Mohon Tunggu... -

kerje di kpu | ngopi tak pakai gule | fans barca | iG/twitter: @viryanazis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Raket dari Ayah (#1_ST)

29 April 2012   13:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yeee... Mateni manggena... Mateni manggena... Mateni manggena" Ucap Amad ditujukan kepada Ali. Mereka sedang berkumpul di depan Gang Panampu 10. Semua teman mainnya itu  masih memiliki hubungan keluarga. Mereka berkumpul seperti hari-hari sebelumnya.  Berkenalan hampir genap dua minggu. Ucapan Amad yang mengolok Ali sudak tak lagi dapat membendung amarah Ali. Sejak siang tadi berita kematian Ayah Ali sampai lewat telepon ke rumah pamannya dari Jakarta tiba, keluarga besar Ali berduka di Jalan Panampu, Makassar.

"Aduh... Eh, berani ko... Aduh...aduh..." Ujar Amad. Ali yang bertubuh kecil dan kurus memukul Amad. Emosinya tak tertahankan lagi. Teman-teman mainnya langsung memisahkan mereka. "Sudami... Sudami Ali" kata Andi, saudaranya yang lain. "Edede...berani ko pukul ka" Ujar Amad. Amad berbadan besar dan memang dikenal nakal serta anak orang kaya di Panampu. "Eee...jangan lari ko..." Lanjut Amad yang berusaha mengejar Ali yang berlari meninggalkan mereka.

Ali berlari kencang kembali ke rumah neneknya dengan air mata berlinang. "Ngapa ko ngarru nak?" ujar neneknya yang melihat Ali masuk sambil menangis. Ali tak menjawab, ia langsung memeluk neneknya dan meledaklah tangisnya. "Sa barako na... Sa barako na..." Ujar neneknya sambil mengelus-elus rambut cucunya yang tinggal bersamanya. "Ngapa Amad na kata-katai ka Ummi ?". Tanyanya dengan nada protes ke neneknya. "Sa bara ko na... Sa baraa ko na..." Kembali neneknya berkata sambil mengelus-elus rambut Ali. Gurat muka Nenek Ali yang renta tenang dan teduh. Dengan kesedihan yang coba ditutupinya, Sambil duduk dikursinya, Ia memeluk dan mengelus rambut Ali. "Bapakku mati, tapi nak olok-olok ka... kenapa ada keluarga begitu ?". kembali Ali berkata. Bocah kelas 4 SD itu terus menangis. Sedih yang mendalam dan kesal bercampur.

"Assalamu'alaykum..." Muncul Ibu Ali masuk sambil mengucap salam. "Waalaykumussalam... dapat ko pinjaman uang sia ?" tanya Nenek Ali. "Iya, sudah mi ku beli tiket pesawat. Hamma kasih pinjam ka". Ujar Sia, Ibu Ali dengan wajah sedih, matanya sembab dan airmata belum kering dari wajahnya. "Besok pagi-pagi ka berangkat ummi" lanjut Sia sambil berjalan masuk ke kamar dan mengambil koper dibawah tempat tidurnya.

Sia tertegun sejenak memandang Ati dan Risa. Dua saudara Ali masih tidur siang dengan lelapnya. Kedua saudara Ali ini belum tahu duka yang datang. Berita yang merubah kehidupan keluarga Ali kemudian.

Interlokal dari Tante Ali di Jakarta yg diterima Paman Ali yang rumahnya bersebelahan itu bagai guntur disiang bolong. Masa liburan mereka di Makassar yang penuh suka berubah menjadi duka. Dan siang itu lah awal dari kehidupan duka Ali beserta dua saudaranya, Ati dan Risa.
Padahal baru 2 minggu lalu mereka berpisah. Ali beserta dua saudaranya yang perempuan serta Ibunya berangkat ke Makassar untuk berlibur. Ayahnya mengantar ke kapal KM Kerinci di Pelabuhan Tanjung Priuk. Kapal pelni saat itu (1985) masih primadona transportasi. Rupanya itu pertemuan terakhir mereka dengan Ayahnya.

Ali masih di pangkuan neneknya, Ia terisak-isak sambil memandang 2 buah raket badminton dari triplek yang tadi pagi masih dipakainya bermain bulutangkis. Raket badminton itu dibuat Ayahnya. Rupanya itulah barang terakhir yang diberikan Ayahnya kepada mereka...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun