Judul ini sengaja penulis pilih karena sangat sesuai untuk menggambarkan apa yang telah terjadi pada pengembangan destinasi wisata akhir akhir ini yang menimbulkan resistensi dari beberapa anggota masyarakat utamanya yang bertempat tinggal dan mencari pencahariannya di sekitar destinasi wisata.
Jika kita berbicara mengenai destinasi wisata maka ada beberapa pihak didalamnya yaitu pihak langsung dan tidak langsung berhubungan dengan destinasi wisata.
Pihak langsung mencakup pelaku wisata sebagai pihak yang melakukan wisata (wisatawan), pelaku usaha wisata seperti pemilik hotel, restoran, pengelola tur dan lainnya, kemudian pihak Pemerintah dan terakhir pihak masyarakat sekitar pada sebuah destinasi wisata.
Sedangkan pihak tidak langsung adalah pihak media yang cakupannya sangat luas mulai dari platform berita, blogger, hingga platform wisata online yang berperan aktif dalam memberikan segala informasi yang berkaitan dengan destinasi wisata, selain media juga ada pihak akademis yang melakukan penelitian dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan destinasi wisata seperti sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Judul tulisan ini berangkat dari keadaan dimana adakalanya (baca : sering) salah satu pihak langsung tersebut merasa tidak hanya memiliki suara terbanyak tetapi juga berhak memutuskan segala sesuatu nya walau dengan dalih seperti sudah melalui penelitian dan pertimbangan matang serta sudah berdialog dengan masyarakat sekitar dan pihak pihak lain.
Pada kenyataannya adakalanya kita melihat ada penolakan berupa demo dan sebagainya setelah itu, dengan meninggalkan pertanyaan dimana dan dengan masyarakat mana dialog itu dilakukan ?
Padahal destinasi wisata pada dasarnya milik seluruh masyarakat Indonesia baik yang berada di sekitar maupun diluar daerah serta tidak terbatas untuk masyarakat pada generasi saat ini saja melainkan generasi generasi selanjutnya, kata masyarakat pada konteks kepemilikan disini jadi terlupakan dan bahkan dilewati oleh salah satu pihak langsung tersebut.
Destinasi wisata dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dan pada akhirnya perekonomian nasional, ini merupakan dasar dan tujuan utama dari pengembangan sebuah destinasi wisata dan tidak seharusnya dijadikan kedok ataupun justifikasi.
Pengembangan destinasi wisata tidak terbatas pada infrastruktur atau fasilitas pendukung saja tetapi juga pada seberapa besar peran dan andil masyarakat sekitar karena mereka juga lah sebagai pihak yang akan menikmati hasil dari jerih payah nya sendiri dalam membangun daerah tempat mereka menjalani hidup sehari hari.
Pengembangan sumber daya manusia pada destinasi wisata tidak hanya terbatas pada bagaimana masyarakat menghasilkan produk kerajinan dan produk khas daerah dan lainnya, tetapi juga pada bagaimana masyarakat dapat menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan yang berkunjung dengan meningkatkan kemampuan dan keahlian seperti pelatihan pelatihan.
Karena apa ? produk pariwisata yang utama adalah layanan keramahtamaan.
Pelatihan juga bukan yang berbayar, karena akan lebih membebankan masyarakat lagi, tetapi berupa penyuluhan dengan tetap kembali pada ciri khas adat istiadat, budaya dan kebiasan masyarakat sekitar.
Pernakah ada pelatihan tidak dilakukan di ruang pertemuan nyaman, kenapa pelatihan tidak dilakukan di destinasi wisata sehingga sang pemberi pelatihan bisa melihat segalanya secara langsung serta dari kacamata masyarakat sekitar ?
Para pihak langsung yang lainnya dan pihak pihak tidak langsung juga memiliki suara, tetapi ini bukan masalah pada siapa yang memiliki suara terbanyak, ini bukan masalah voting.
Ini masalah pengelolaan properti seluruh masyarakat Indonesia sebagai penghuni bumi Nusantara (NKRI) yang penggunaannya atau pengembangannya seharusnya memberikan kontribusi pada perekonomian baik lokal, daerah dan nasional, jadi tidak hanya perekonomian satu dan pihak tertentu lainnya.
Sehingga keputusan akhirnya seharusnya merupakan kesepakatan bersama serta yang dapat memberikan manfaat bersama pula.
Tetapi apa yang kita terkadang lihat pada perkembangannya adalah dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada , dari sesuatu yang tidak layak menjadi layak, jika menyulap dari tidak ada menjadi ada mungkin bisa membawa manfaat bersama namun.apakah juga berlaku pada yang sebelumnya (atau seharusnya) tidak layak menjadi layak.
Memang dalam segala hal kita tidak selamanya mencapai kesepakatan bersama dalam artian 100% didukung oleh semua pihak, namun tidak seharusnya pula rencana tetap dijalankan tanpa mengakomodasi pihak pihak lainnya baik langsung maupun tidak langsung terlebih dahulu dan tuntas.
Jika hal ini terjadi, pengakuan adanya kurangnya sosialisasi sudah terlambat dan tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk merubah ataupun menghentikan pengembangannya.
Dan pada akhirnya semua akan selalu kembali lagi pada akar rumput yang selalu menjadi penonton atau pemain yang duduk di kursi cadangan bukan sebagai pemain atau pelaku utama.
Jika hal ini diilustrasikan dalam sepak bola dan lapangan menjadi destinasi wisata, justru pemain yang seharusnya dilapangan malah duduk di kursi cadangan, sedangkan yang di lapangan adalah sang pelatih dan manajer.
Sebagai akhir, mari kita melihat satu destinasi wisata kita yang sudah terkenal dan konon sering dijadikan barometer bagi pengembangan pada destinasi wisata lainnya di Indonesia, apakah itu sudah benar benar diterapkan ?
Tidak ada segmentasi wisatawan disana, yang ada hanya tata ruang untuk mengakomodasii segmen wisatawan yang berbeda tanpa biaya alias gratis.
Jika kita jadikan barometer berarti juga sudah seharusnya kita banyak belajar dari masyarakat dan pelaku usaha disana yang sudah berhasil menjadikan daerah nya sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Kata belajar disini juga bukan berarti meniru persis  karena setiap daerah memiliki keunikan masing masing sebagai pembeda dan branding.
Mudah mudah an salah satu pihak langsung ini lebih bijak lagi dan lebih mendengar juga kedepannya dalam mengelola properti masyarakat Indonesia, juga jangan lagi bertanya lokal atau pusat karena semuanya berdasarkan kesekapatan bersama untuk manfaat bersama serta dengan tidak melupakan manfaat pada 3P yaitu Profit, Planet dan People (baca: ekonomi, lingkungan dan sosial).
Mohon dimaafkan penulis jika ada kata kata yang kurang berkenan.
Salam pariwisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H