Mohon tunggu...
Mauraqsha
Mauraqsha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Staff Biasa di Aviasi.com

Penggemar Aviasi namun terjun di Pariwisata, berlayar pilihan pertama untuk liburan, homestay dan farmstay piihan pertama untuk penginapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kejut Wisata

6 Juni 2022   10:29 Diperbarui: 6 Juni 2022   10:48 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya dunia pariwisata mendapat kejut (shock) dari Pemerintah, mulai dari penetapan Labuhan Bajo sebagai destinasi wisata premium hingga yang terakhir biaya untuk naik ke Candi Borobudur sebesar Rp. 750.000 per orang/turis.

Entah ada apa serta alasan dari dari itu semua karena sepertinya Pemerintah memang ingin menggenjot pendapatan dari pariwisata dengan membangun sarana dan prasarana di beberapa destinasi wisata yang juga menjadikannya sebagai Destinasi Super Prioritas atau sebutan lainnya.

Pembatasan pengunjung sepertinya bisa dilakukan secara teknis bukan dengan membebani secara finansial kepada wisatawan yang ingin melihat warisan dunia yang pada dasarnya ditinggalkan oleh nenek moyang kita kepada seluruh penghuni bumi, sedangkan pelestarian bisa dibaca pada akhir artikel ini.


Salah langkah kah Pemerintah?  

Penulis tidak ada keinginan untuk menjawabnya karena tidak memiliki either big or small data mengenai master plan Pemerintah pada semua Destinasi Wisata yang sedang dibangun,  penulis hanya mengetahui sedikit hal tentang pariwisata yaitu tentang kelokalan, adat isitiadat, budaya dan kearifan lokal.

Penulis disini hanya bermaksud membahas tentang kejutan yang kerap terjadi pada dunia pariwisata, tidak berfokus pada kejut yang tengah terjadi.

Penulis juga hanya mengetahui bahwa destinasi wisata adalah halaman tempat tinggal dari masyarakat lokal disekitar dan seyogyanya mereka terlibat dalam pengembangan dan pembangunan halaman tempat tinggalnya.

Keterlibatan mereka tidak hanya sebatas mereka ikut serta dalam proses pembangunannya ataupun dalam penggunaannya dari apa yang dibangun saja tetapi seyogyanya pula mereka lah yang menjadi pelaku utama nya terutama pada pengelolaannya.


Kenapa?

Masyarakat lokal adalah pihak yang memahami betul karateristik dari daerah nya sehingga pengembangan dan pembangunan destinasi wisata di daerah mereka tidak keluar dari karateristik daerah mereka serta tercampur dengan karateristik daerah lain ini mengacu pada makna dari pariwisata itu senditi yaitu kelokalan, adat istiadat,  budaya dan kearifan lokal.

Agak aneh bila kita sering melihat cafe,  restoran ataupun hotel di sebuah daerah namun menggunakan bangunan dengan karateristik daerah lain, kenapa tidak menonjolkan identitas daerah nya sendiri?  

Memang tidak salah kalau mereka membangun itu semua di kawasan atau resort seperti island resort (seaside) karena itu kawasan wisata, bukan destinasi wisata, walau tetap aneh di mata penulis.

Selain dari itu juga, destinasi wisata adalah cara masyarakat sekitar untuk memperkenalkan sekaligus mem branding kelokalan,  adat istiadat,  budaya dan kearifan lokal mereka.  Kata mem branding disini dimaksudkan sebagai pembeda dari daerah daerah lainnya.

Jika mereka tidak dilibatkan atau tidak menjadi pelaku utama dari pengembangan pariwisata di daerah mereka maka pintu sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin mendirikan bangunan atau menyediakan layanan wisata dengan tidak mencerminkan karakteristik daerah tersebut, kita bisa melihat banyak contoh dari keadaan ini.

Kemudian juga dampak dari segala pengembangan dan pembangunan destinasi wisata seyogyanya berupa kontribusi ekonomi untuk masyarakat sekitar sehingga dapat meningkatkan kehidupan mereka, bukan hanya sekedar kontribusi berupa lapangan pekerjaan saja tetapi juga lapangan usaha.

Beberapa dari kita mungkin sering mendengar community-based tourism (CBT) yang bermakna pariwisata yang berdasarkan pengelolaan dari dan untuk masyarakat sekitar, dalam pengertian pemasukan dari kegiatan wisata akan masuk ke masyarakat lokal secara penuh karena mereka sebagai pelaku utama.

Apakah kita juga mendengar CBT ini  dalam pengembangan dan pembangunan destinasi wisata baik yang premium maupun prioritas? atau singkatan dari CBT mendadak berubah menjadi Corporate-Based Tourism?  hmm.

Untuk menjaring wisatawan berduit sebenarnya lebih pada melalui layanan wisata kemudian baru sarana dan prasarana yang tidak juga selamanya  harus mewah,  karena premium itu tidak sama dengan mewah (premium vs luxury).

Jika pun bila kita ingin mengembangakan kawasan wisata dengan target wisatawan berduit maka hanya wisatawan berduit yang hanya bisa (bukan hanya boleh) dengan menerapkan biaya wisata yang tinggi seperti penginapan, cafe, restoran dan lainnya, bukan menerapkan keanggotaan ataupun biaya masuk.

Jadi kita mengembangkan kawasan wisata, bukan destinasi wisata karena menurut penulis pembatasan pada destinasi wisata berarti juga menutup akses kepada pihak/wisatawan yang terkena dampak dari pembatasan tersebut.

Tapi ini semua hanya merupakan opini dari penulis yang hanya memahami bahwa pariwisata adalah bersifat universal dimana semua penduduk di muka bumi ini menjadi komunitas nya, tanpa melihat perbedaan apapun, dan di destinasi wisata mereka semua berkumpul, menyatu untuk menikmati keindahan alam, menghargai peninggalan sejarah serta menjalin hubungan sosial dengan masyarakat lokal.

Namun bila terpaksa menanggapi biaya untuk naik ke Candi Borobudur,  penulis sempat bertanya kepada diri penulis sendiri, apakah Borobudur itu merupakan kawasan wisata atau destinasi wisata atau bahkan sebagai spot wisata?


Untuk menjawab itu bisa dilihat dari objek wisata dan tujuan kunjungan wisatawan dimana objek wisata nya adalah Candi yang merupakan peninggalan sejarah serta kerap menjadi tempat perayaan hari besar bagi saudara saudara kita yaitu umat Buddha dengan demikian tujuan kunjungan nya adalah wisata sejarah dan religi.


Sejarah bukan bidang yang untuk dibatasi terutama pada generasi , lalu lintas dan pengaturan itu teknis sedangkan pelestarian adalah tanggungjawab pemerintah cq. kementrian terkait, sama berlakunya dengan Taman Nasional atau Taman Wisata Alam di bawah BKSDA dengan partisipasi dari wisatawan berupa kesadaran.

Selain itu penerapan Responsible Tourism untuk mendampingi quality tourism (pinjam isitilah) tidaklah sulit dilakukan.


Jadi apa jawabannya?


Selamat berpikir di hari Senin... 

Entah kejut apalagi yang akan terjadi di pariwisata kita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun