Ada cerita mengenai dua anak burung di mana salah satu burung adalah kesayangan Raja, anak burung ini belum biaa terbang -- tidak seperti saudaranya yang sudah bisa terbang tinggi.
Suatu hari Raja memutuskan untuk meminta pertolongan orang orang untuk melatih anak burung kesayangannya untuk terbang, dan setelah beberapa kali gagal ada seorang petani yang datang menawarkan jasanya.
Setelah dua hari anak burung tadi akhirnya bisa terbang tinggi dan Raja pun turut bergembira dan ingin memberikan hadiah kepada petani yang sudah berhasil mengajarkan anak burung kesayangannya untuk dapat terbang tersebut.
Saat memberikan hadiah Raja pun bertanya kepada petani tersebut resep rahasia apa yang bisa membuat anak burung itu bisa terbang, petani itu terus menjawab, saya hanya memotong dahan tempat dimana dia hinggap.
Cerita tersebut menggambarkan dua anak burung dimana yang satu mandiri dan yang satunya manja karena kesayangan sang Raja sehingga dia suka berdiam di dahan seharian -- dan ketika dahan itu ditebas mau tidak mau dia harus terbang daripada harus terjatuh.
Program penyelematan maskapai Garuda Indonesia telah mendapat lampu penerang dengan disetujuinya dana sebesar Rp. 7.5 triliun oleh DPR beberapa hari yang lalu, apakah ini kabar gembira?
Pastinya ini memang kabar gembira tetapi juga ujian terberat yang akan diemban oleh manajemen Garuda Indonesia tidak hanya untuk dapat membawa Garuda Indonesia dari kebangkrutan tapi juga menjadikan Garuda Indonesia sebagai bisnis yang bisa tetap dapat bertahan semaksimal mungkin terhadap kondisi kondisi yang dapat menganggu performa keuangannya, karena maskapai rentan pada situasi dan kondisi dunia yang sedang terjadi seperti pandemi dan krisis keuangan dunia.
Dilansir dari Kompas.com 26 Juli 2010, maskapaI Garuda sudah dua kali restrukturisasi yaitu pada tahun 1998-2001 dan tahun 2005-2008 sehingga restrukturisasi tahun 2022 ini merupakan restrukturisasi ketiga kalinya dalam kurun waktu 24 tahun (1998-2022).
Pada tahun 1998 kondisi perekonomian Indonesia sangat terpuruk akibat krisis keuangan Asia dimana nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika menembus Rp. 15,000/dollar Amerika sehingga berimbas kepada nilai hutang Garuda Indonesia kepada pihak leasing dalam bentuk dollar.
Menteri BUMN ketika itu Tanri Abeng menunjuk Robby Johan untuk membenahi Garuda Indonesia yang terbelit hutang hingga 1,2 milyar dollar serta image Garuda Indonesia yang terpuruk hingga sempat timbulnya kepanjangan Garuda sebagai Garuda Always Reliable Until Delay Announced.
Restrukturisasi Garuda Indonesia kemudian dilanjutkan oleh Abdul Gani sebagai Direktur Utama pada tahun 1999 dan pada tahun 2003 proses restrukturisasi selesai dan Garuda Indonesia keluar dari keterpurukan yang sebelumnya merugi hingga Rp. 4,73 triliun serta modal yang negatif Rp. 324 juta.
Restrukturisasi kedua berupa restrukturisasi hutang kepada European Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 277 juta yang berakhir pada kesepakatan pembayaran hutang hingga tahun 2016, Total hutang sebelumnya sebesar Rp. 868 juta yang sebelumnya digunakan untuk pembelian enam unit pesawat Airbus A-330 300.
Dari kedua restrukturisasi tersebut proses penyelesaian pembayaran hutang Garuda Indonesia dapat di selesaikan secara bertahap hingga tahun 2016 sehingga selama periode tersebut Garuda Indonesia pun masih dalam tahap pelunasan hutang kepada kreditur.
Restrukturisasi kembali dilakukan pada tahun 2022 akibat terpuruknya semua maskapai didunia akibat Pandemi termasuk Garuda Indonesia hanya saja kondisi Garuda Indonesia sudah tidak baik sebelum Pandemi sehingga datangnya Pandemi justru memperburuk keterpurukan sebelumnya.
Dilansir dari Kompas.tv tanggal 2 Nopember 2021, pembelian beberapa tipe pesawat untuk Garuda Indonesia menyebabkan kerugian hingga puluhan juta dollar Amerika diantaranya pesawat Bombardier CRJ-1000 yang operasional nya membuat Garuda Indonesia merugi hingga USD 30 juta per tahun serta ditambah dengan biaya sewa sebesar USD 27 juta per tahun untuk 12 unit pesawat Bombardier CRJ-1000 tersebut.
Garuda Indonesia membeli pesawat Bombardier CRJ-1000 NextGen pada tahun 2013 yang berarti sejak tahun tersebut Garuda Indonesia harus menanggung kerugian tersebut, tepatnya selama 7 tahun hinggga tahun 2020.
Dilansir dari Bombardier.com, proses pembelian  pesawat ini berawal dari penandatangan pihak Garuda Indonesia dan Bombardier yang diumumkan pada 12 Februari 2012 saat Singapore Airshow.
Jika dilihat dari semua kejadian tersebut, proses pengadaan dan pembelian pesawat sepertinya menjadi biang keroknya baik berupa korupsi, mark up maupun pemelihan tipe pesawat yang tidak sesuai dengan kebutuhan maskapai disamping dari banyak hal baik internal maupun eksternal yang mungkin tidak tampak dimata publik.
Tipe pesawat yang tidak memenuhi kebutuhan maskapai contohnya pesawat yang melayani jalur penerbangan dengan melihat tingkat keterisian (load factor) yang cukup untuk menyumbangkan keuntungan serta analisis permintaan dan penawaran, bila merugi berarti ada yang keliru dalam memutuskan pengadaan pesawat -- jika dibiarkan selama pesawat masih dioperasikan maka selama itu pula maskapai menimbun kerugian bukannya keuntungan, terlebih bila biaya pemeliharaan pesawat tersebut juga tinggi.
Pesawat Bombardier CRJ-1000 Nextgen pada dasarnya merupakan pesawat regional atau umum disebut dengan pesawat commuter yang bisa dijadikan feeder pada bandara hub, entah mengapa Garuda Indonesia dahulu memutuskan mengadakan tipe pesawat ini.
Pengadaan Boeing B-777 300 dengan harga sewa diatas harga umum serta pembatalan pemesanan Boeing B-737 Max adalah beberapa contoh lainnya.
Mudah mudahan tidak akan ada lagi restrukturisasi di tubuh Garuda Indonesia dimasa mendatang dan dengan mendapatkan suntikan dana Rp. 7.5 triliun yang berasal dari rakyat Indonesia diharapkan Garuda Indonesia dapat menyelesaikan permasalahan pada tubuh maskapai kesayangan dan kebanggan kita semua.
Rangkuman
Kecendurungan untuk mengungkapkan kesalahan antar generasi umum dilakukan pada  masa masa restrukturisasi namun kesalahan bisa dilakukan oleh semua dan setiap generasi.
Belajar dari pengalaman adalah guru yang terbaik namun akan lebih baik juga bila Garuda Indonesia bisa terbang seperti anak burung pada cerita di awal artikel ini, apakah menjadi anak burung yang bisa mandiri terbang atau anak burung yang manja dan harus terus di nutrisi hingga akhirnya seorang petani memotong dahan nya untuk dapat terbang secara mandiri ? Â
Selamat berpikir.
Referensi :
Satu Dua Tiga Empat Lima Enam Tujuh Delapan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H