Mohon tunggu...
VIRISSA NUR ZAHRAH
VIRISSA NUR ZAHRAH Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa S1 Universitas Jember

Halo nama saya Virissa, mahasiswa di Universitas Jember yang menempuh S1 program studi teknik konstruksi perkapalan. Saya suka menulis artikel kreatif dan menyusun strategi konten untuk media digital. Saya memiliki pengalaman memimpin tim dalam mengerjakan suatu progres atau program kerja suatu organisasi. Dan saya suka mencoba hal baru. Terima kasih sudah mampir di beranda sayaa:)

Selanjutnya

Tutup

Horor

Lantai Berdarah Villa Terbengkalai

16 Januari 2025   20:14 Diperbarui: 16 Januari 2025   20:14 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Lantai Berdarah di Vila Terbengkalai

Vila itu berdiri di atas bukit, sunyi dan menjulang seperti bayangan kelam yang mengintimidasi seluruh desa di bawahnya. Penduduk setempat menyebutnya "Vila Araya," tempat yang konon menjadi saksi bisu tragedi berdarah puluhan tahun lalu. Vila tersebut sudah lama ditinggalkan, tetapi rumor-rumor mengerikan tentang suara-suara misterius dan bayangan yang melintas di jendela tetap hidup di antara warga.

Malam itu, lima mahasiswa berniat menghabiskan malam di vila tersebut. Mereka adalah Rina, Dika, Andre, Lisa, dan Tyo. Dalam rangka tugas dokumentasi sejarah, mereka ingin membuktikan apakah kisah-kisah seram tentang Vila Araya hanya sekadar mitos atau memiliki dasar nyata.

Saat mereka tiba di vila, langit mulai gelap dan bulan purnama menyinari bangunan tua itu dengan cahaya pucat. Pintu kayu vila berderit keras ketika Dika mendorongnya terbuka. Aroma lembap bercampur dengan bau besi tua segera menyergap mereka. Lampu senter mereka menyorotkan bayangan panjang di sepanjang lorong yang berdebu.

"Tempat ini benar-benar menyeramkan," bisik Lisa sambil menggenggam tangan Tyo erat-erat. Tyo hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Mereka mulai menjelajahi vila. Di ruang tamu, ada sofa tua yang sudah sobek, karpet yang penuh debu, dan sebuah cermin besar yang retak di salah satu sudut. Di dindingnya tergantung foto keluarga yang wajah-wajahnya telah pudar, kecuali satu: seorang gadis kecil dengan mata tajam yang terasa seperti menatap langsung ke arah mereka.

"Hei, lihat ini!" teriak Andre dari dapur. Mereka semua berkumpul dan menemukan jejak kaki kecil yang tercetak di lantai berdebu. Anehnya, jejak itu tampak baru, seolah-olah ada seseorang yang baru saja berjalan di sana. Jejak itu mengarah ke sebuah pintu kecil di ujung dapur.

Pintu itu mengarah ke ruang bawah tanah. Rina, yang biasanya berani, ragu untuk melangkah ke dalam kegelapan. Namun, rasa penasaran mereka lebih besar daripada ketakutannya. Mereka menuruni tangga dengan hati-hati, dan di bawah sana, mereka menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku.

Lantai di ruang bawah tanah itu penuh dengan bercak darah kering. Di tengah ruangan, ada bekas lingkaran seperti simbol aneh yang digambar dengan darah. Di sudut lain, mereka melihat sebuah boneka tua dengan mata yang hampir copot, duduk diam menghadap tembok.

"Aku tidak nyaman di sini. Kita harus pergi sekarang," kata Lisa dengan suara bergetar. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, terdengar suara langkah kaki dari atas.

"Siapa itu?!" teriak Dika sambil mengarahkan senter ke tangga. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin menekan.

Tiba-tiba, boneka yang tadinya diam di sudut bergerak sendiri, kepalanya berputar perlahan ke arah mereka. Mata boneka itu kini bersinar merah. Lampu senter Tyo tiba-tiba padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan pekat.

Jeritan pecah di ruang bawah tanah saat mereka mencoba berlari ke arah tangga. Namun, pintu ruang bawah tanah kini tertutup rapat. Dari balik kegelapan, terdengar suara tawa kecil yang menggema di seluruh ruangan.

"Selamat datang di rumahku," suara itu terdengar, dingin dan menusuk. Cahaya lampu senter Andre yang sempat menyala memperlihatkan sosok gadis kecil dari foto di ruang tamu berdiri di depan mereka, dengan tatapan kosong dan senyum menyeramkan. Gaunnya berlumuran darah.

Satu per satu, lampu senter mereka padam. Teriakan terakhir terdengar sebelum semuanya tenggelam dalam keheningan.

Keesokan harinya, penduduk desa menemukan mobil para mahasiswa itu masih terparkir di luar vila. Namun, tidak ada jejak mereka. Ketika seorang penduduk nekat masuk ke vila, ia hanya menemukan lantai ruang tamu yang kini berlumuran darah segar, seolah-olah baru saja terjadi pembantaian.

Sejak saat itu, tidak ada yang berani mendekati Vila Araya lagi. Hanya suara tawa kecil dan bayangan samar di jendela yang sesekali terlihat, seakan memberi tahu bahwa vila itu kini memiliki penghuni baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun