Mohon tunggu...
Agi Suci Nur Indra
Agi Suci Nur Indra Mohon Tunggu... Lainnya - Digital creator / Copywriter

Hai, wankawan. Yuk, kenalan di ig juga @virgoriparthenos ini akun bookstagram saya, jangan sungkan untuk komen dan berbagi cerita disana. Rayakan :) Mengejar bahagia, padahal kesedihan itu sangat menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Book

Ulasan Buku Kitab Rasa

30 Oktober 2023   20:34 Diperbarui: 30 Oktober 2023   20:44 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buku Kitab Rasa"

Karya Puthut EA, 2019

Penerbit Buku Mojok

Buku Kitab Rasa terdiri dari kumpulan cerpen ada 8 cerpen, tentu satu sama lain tidak saling berkaitan atau mempunyai irisan. Dari beberapa cerpen saya tertarik dengan cerpen yang berjudul Kitab Rasa yang mana nama itu juga menjadi judul dari buku ini.

Bercerita bagaimana sebuah keluarga yang berkali-kali diterjang badai tetapi mampu bertahan dalam hal ini adalah menjalankan warung makan/bisnis. Badai pertama sang tokoh (pak Surya) terkena sakit strok, anaknya kecanduan narkoba dan puncaknya adalah sang istri meninggal dunia bersamaan dengan itu pula bisnisnya bangkrut total.
Pak surya dalam mimpinya dipijit telapak kakinya oleh sang istri sambil menitipkan pesan : " Mas, kamu harus sembuh, keluarga ini harus bangkit." Dan setelah terbangun pak Surya merasa sehat terasa seperti tidak pernah terkena penyakit strok.

Anak-anaknya dikumpulkan dan membuat rapat keluarga untuk menyusun strategi dan mencoba bangkit dari keterpurukan. Tugas masing-masing anaknya dibagi oleh pak Surya sesuai dengan kemampuan mereka.

Kurang dari 2 minggu warung makan terwujud, dalam perjalanannya warung tersebut  memang belum berkembang secara pesat. Namun bagi keluarga pak Surya ini sudah cukup, warung ini cukup untuk bertahan hidup dan terus melawan badai.

Pesan yang saya tangkap adalah selincah apapun kita dalam menghindari badai, dia akan datang menyambangi kita dengan caranya. Dan kita hanya perlu terus bersiasat dan menghadapinya, semampu kita se tegar mungkin.  

Pesimisme yang melekat menjadi sedimentasi dalam diri kita, begitu sulit untuk melepasnya karena begitu lekat. Namun, selama tidak dicoba untuk melepaskan selama itu pula kita tidak pernah tahu batasan kemampuan kita.

Lewati batas itu, cobalah untuk terus menabraknya lebih terhormat terluka karena menabrak batas kemampuan sebelum menyesal karena tidak pernah mencobanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun