Mohon tunggu...
Virginia Bebby Fladian
Virginia Bebby Fladian Mohon Tunggu... -

Student of State University Of Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Dampak Krisis Global Terhadap Ketenagakerjaan di Indonesia

2 Desember 2013   21:55 Diperbarui: 4 April 2017   16:27 8904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: -MAHASISWA PEND. EKONOMI KOPERASI NR 2011 FAKULTAS EKONOMI UNJ- ----AYU PITRI INDAH LESTARI---- ----NILAM LARASATI AYUNINGTYAS---- ----VIRGINIA BEBBY FLADIAN---- Krisis ekonomi global adalah peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan/degresi dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Krisis ekonomi Global terjadi karena permasalahan ekonomi pasar di seluruh dunia yang tidak dapat dielakkan karena kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang carut marut. Sektor yang terkena imbasan krisis ekonomi global adalah seluruh sektor bidang kehidupan. Namun yang paling tampak gejalanya adalah sektor bidang ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar. Sebagai contoh bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Peristiwa ini mengakibatkan rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar. Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Krisis keuangan di Amerika Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika Serikat. Oleh karena volume ekonomi Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat. Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 sebenarnya bermula pada krisis ekonomi Amerika Serikat yang lalu menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi Amerika diawali karena adanya dorongan untuk konsumsi (propincity to Consume). Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam hutang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan. Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan–perusahaan tersebut harus bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh hutang-hutangnya yang mengalami jatuh tempo pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia.

Negara Tujuan Utama Ekspor Indonesia

Industri yang Terkena Dampak Krisis Keuangan Global

1385994270156132154
1385994270156132154
Sumber: Asosiasi Pengusaha Indonesia, Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman, dan Indonesia Property Watch.

Banyaknya negara yang perekonomiannya terpengaruh secara langsung itu pada gilirannya juga mempengaruhi negara-negara lain yang berhubungan dengan transaksi ekspor-impor dengannya. Karena itu, praktis dapat dikatakan bahwa krisis keuangan Amerika Serikat itu mempengaruhi perekonomian semua negara di dunia, sehingga juga berdampak pada terjadinya krisis perekonomian global. Sebagai akibatnya, tingkat konsumsi menurun dan dengan sendirinya, tingkat produksi juga menurun dan berdampak pada penurunan daya serap tenaga kerja serta pemutusan hubungan kerja.

Di Indonesia, yang terkena dampak dari adanya krisis global adalah sektor riil. Sektor-sektor yang paling terkena imbas krisis global adalah sektor yang mengandalkan permintaan eksternal (tradable), seperti industri manufaktur, pertanian, dan pertambangan. Ketiga sektor ini menyumbang lebih dari 50 persen PDB dan menyerap lebih dari 60 persen tenaga kerja nasional. Terpukulnya kinerja sektor-sektor ini pada akhirnya akan berujung pada gelombang pemutusan hubungan tenaga kerja.

13859946771367224356
13859946771367224356

Berdasarkan data resmi Depnakertrans mengenai jumlah pekerja menurut potensi PHK dan dirumahkan yang mencakup 11 provinsi, terdapat data-data sebagai berikut: 1. Sumatera Utara: Rencana yang dirumahkan 10.000 2. Riau: Jumlah PHK 407, rencana PHK 8.720, jumlah yang dirumahkan 1.000 3. Sumsel: Jumlah PHK 112 4. Banten: Jumlah yang dirumahkan 1.597 5. Jabar: Rencana PHK 400, jumlah yang dirumahkan 600, rencana dirumahkan 6.500 6. DKI Jakarta: Jumlah PHK 14.268, rencana PHK 9.757 7. Jawa Tengah: Jumlah PHK 1.190, jumlah yang dirumahkan 1.025 8. Kalimantan Barat: Jumlah PHK 496, rencana PHK 5.050, jumlah yang dirumahkan 485 9. Kalimantan Timur: Jumlah yang dirumahkan 1.890 10. Kalteng: Jumlah rencana yang dirumahkan 2.591 11. Maluku: Jumlah PHK 515. Jumlah total berdasarkan data tersebut, Jumlah yang telah di PHK 16.988 pekerja, jumlah rencana PHK 23.927 pekerja, jumlah yang telah dirumahkan 6.597 pekerja dan jumlah rencana yang dirumahkan 19.091 pekerja. Berdasarkan hasil analisis dengan memanfaatkan Tabel Input Output Indonesia tahun 2008, diketahui bahwa penurunan ekspor Indonesia sebesar 1% akan berimbas pada penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor industri sebesar 0,42%. Selain berimbas ke sektor industri, penurunan ekspor tersebut juga berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor lain, terutama sektor pertanian. Secara keseluruhan, penurunan ekspor di sektor industri akan berdampak terhadap penurunan total tenaga kerja sebesar 0,17%. Bagi Indonesia, pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat terjadi di dalam negeri dan di luar negeri. Karena itu, angka pengangguran dapat meningkat, baik karena (i) terjadinya pemutusan hubungan kerja di dalam negeri, (ii) pemulangan tenaga kerja yang hubungan kerjanya diputus di luar negeri, maupun karena (iii) munculnya angkatan kerja baru yang tidak dapat ditampung oleh kesempatan kerja yang tersedia, karena tidak adanya investasi baru yang menyerap tenaga mereka. Dampak Krisis Global di Sektor Buruh Kelas buruh merupakan kelas yang paling merasakan dampak dari setiap krisis kapitalisme yang terjadi karena memang kelas buruh merupakan tenaga produktif yang menggerakan proses produksi sehingga kelas buruh merasakan secara langsung dari praktik penghisapan di bawah sistem kpaitalisme. Padahal buruh adalah tenaga yang mampu menghasilkan profit atau keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan dari proses produksi yang dilakukan akan tetapi nilai yang dihasilkan diambil oleh para pemilik modal yang tidak terlibat dalam proses produksi hanya menunggu hasil saja sehngga keuntungan yang dihasilkan buruh hanya memperkaya kelas pemilik modal. Krisis global melahirkan persoalan-persoalan baru disektor perburuhan dan itu berakibat langsung terhadap kelas buruh diantaranya pertama; melakukan pemotongan upah dengan alasan mengurangi cost produksi. Upah buruh yang sebelumnya secara kelayakan masih belum layak alias masih rendah ditambah lagi dengan penurunan upah, hal ini niscaya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan kaum buruh artinya upah yang rendah mengurangi daya beli kelas buruh akan barang dan jasa ditengah tuntuan kebutuhan yang tinggi, harga kebutuhan yang semakin tinggi juga dengan situasi ekonomi politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada kelas buruh. Kedua; Kehilangan pekerjaan akibat dari PHK yang dilakukan perusahaan ataupun akibat penutupan usaha. Tidak sedikit perusahaan melakukan PHK dan merumahkan kelas buruh akibat dari krisis sehingga kelas buruh tidak lagi mempunyai pendapatan dan pastinya tidak akan mampu menjawab kebutuhan hidupnya sekarang maupun kedepannya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak krisis global terhadap tenaga kerja di Indonesia Untuk mengatasi problema ini pemerintah telah mencanangkan suatu program yang bernama Gerakan Nasional Padat Karya. Gerakan ini diharapkan dapat benar-benar diikuti oleh segenap potensi yang kita miliki sebagai bangsa untuk membuat rakyat Indonesia bekerja dan mempekerjakan dirinya sendiri atau mempekerjakan orang lain sebanyak-banyaknya. Gerakan ini melibatkan semua lapisan masyarakat mulai dari pejabat pemerintahan, masyarakat yang hidup di daerah perkotaan sampai ke masyarakat di pedesaan di seluruh tanah air. Pertama, perluasan kesempatan berusaha yang sebanyak-banyaknya. Untuk memperluas kesempatan usaha yang sebanyak-banyaknya, diperlukan berbagai fasilitas pendukung. Pemerintah perlu mengeluarkan paket kebijakan tersendiri di bidang perkreditan usaha kecil dan menengah (UMKM), fasilitas perpajakan, serta bimbingan produksi dan pemasaran di bidang-bidang pertanian dan perkebunan, nelayan, inudstri kecil dan menengah, industri pariwisata dan industri kreatif lainnya, serta di bidang perdagangan. Bimbingan teknologi dan manajemen sangat diperlukan agar para pengusaha pemula dapat produktif berusaha. Sementara itu, pasar modern seperti ‘super market’ dan ‘mega mall’ dibatasi daerah dan jam kerjanya serta ditingkatkan beban pajaknya sehingga dapat memacu peningkatan keseimbangan di antara sektor tradisional dan modern. Kedua, pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan rel kereta api secara bergotong royong. Pola gotong royong ini sudah lama diabaikan, padahal dapat dipakai sebagai instrumen untuk menggerakkan program padat karya, terutama dalam membangun infra struktur jalan, jembatan dan rel kereta api. Tentu saja, perangkat peraturan yang menunjang untuk itu harus direvisi, misalnya ketentuan peraturan mengenai administrasi keuangan, sistim tender proyek, dan sebagainya yang tidak memungkinkan dilakukannya pola gotong royong. Padahal kelemahan dan kekurangan sistim non-tender dapat diatasi dengan meningkatkan pengawasan internal dan eksternal sehingga kebocoran dan korupsi dapat dicegah. Ketiga, penerapan jadwal kerja industri dan perkantoran secara bergiliran, 2, atau 3 shift. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah jam kerja dari 8 jam sehari menjadi 12 jam sehari, tetapi dilakukan oleh 2 orang untuk setiap pekerjaan. Kedua orangnya berbagi jam kerja selama 6 hari, masing-masing 3 hari kerja atau bekerja selama 6 jam x 6 hari seminggu. Bahkan, jadwal kerja dapat pula dibagi untuk 3 orang setiap hari untuk setiap pekerjaan, sehingga setiap orang dapat bekerja 4 jam sehari selama 5-6 hari seminggu. Dengan pembagian jadwal kerja demikian, kesempatan kerja dapat dibagikan secara merata, sehingga daya serap tenaga kerja dapat diperluas dengan tetap menjaga dan meningkatkan produktifitas kerja dan usaha. Keempat, peningkatan pelatihan kerja dan pendidikan/pelatihan kembali (remedial education and remedial training) untuk para sarjana, penyelenggaraan program sarjana masuk desa, program transmigrasi sarjana masuk. Sekarang, rata-rata ada sekitar 300-an ribu sarjana yang diproduksi oleh berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Namun, perekonomian nasional dan pasar tenaga kerja tidak dapat menyerap mereka seluruhnya. Karena itu, para sarjana baru tersebut dapat dilatih kembali untuk mampu menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri atau mengikuti program transmigrasi sarjana. Kelima, revitalisasi pendidikan menengah kejuruan (SMK) dan politeknik serta peningkatan relevansi kurikulum dan program belajar mengajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan nasional, diperlukan reorientasi kurikulum pendidikan tinggi dan menengah serta perlunya melakukan revitalisasi pendidikan kejuruan dengan memperkuat Sekolah Menengah Kejuruan dan Politeknik di setiap kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Pendidikan kejuruan tersebut diarahkan untuk mengisi dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri dan di luar negeri, sehingga setiap murid dapat diwajibkan menguasai 1 bahasa asing, seperti Inggris, Arab, dll. Solusi lainnya adalah penguatan sektor mikro yang relatif tidak terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal seperti nilai tukar, kebutuhan negara lain, keadaan ekonomi politik negara lain, dan perjanjian dalam forum perdagangan seperti WTO. Sudah saatnya ekonomi Indonesia berbasis SDM serta SDA asli Indonesia diberi peluang lebih untuk membangun fondasi perekonomian Indonesia berbasis usaha mikro yang terbukti lebih tahan terhadap goncangan serta dapat lebih memberdayakan tenaga kerja negara ini agar tingkat pengangguran semakin berkurang. Dampak krisis terhadap Tenaga kerja informal Dampak krisis global dirasakan 2.068 tenaga kerja informal yang diwawancarai melalui empat pertanyaan yang tercantum dalam Tabel 6.1.

13859949461692671787
13859949461692671787
Sebagian besar tenaga kerja informal (54%) merasakan dampak krisis global terhadap pekerjaan mereka serta mengetahui masuknya pekerja sektor formal yang di-PHK dalam pekerjaan mereka. Tidak ada perbedaan besar dalam status pekerjaan (+/5%). Di samping itu, hanya 40% pengusaha informal menyatakan lebih sulit memperoleh order sejak awal krisis (lihat Gambar 6.1).
13859950661764726714
13859950661764726714

KASUS

70.000 BURUH TERANCAM PHK Kamis, 23 Oktober 2008 | 06:32 WIB BANDUNG, KAMIS - Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Daerah Jawa Barat Ade Sudrajat memperkirakan, pada awal 2009 sekitar 70.000 tenaga kerja di provinsi itu terancam terkena pemutusan hubungan kerja. Kondisi itu terjadi akibat krisis global yang membuat beban perusahaan semakin berat. ”Pengusaha terpaksa melakukan berbagai efisiensi, termasuk perampingan jumlah tenaga kerja. Salah satunya karena kegiatan produksi akan dikurangi, bahkan ada yang dihentikan,” kata Ade di Bandung, Rabu (22/10). Ade memperkirakan kondisi itu bisa semakin parah jika krisis di Amerika Serikat dan Eropa tak tertolong. Konsekuensi PHK terpaksa dilakukan atau setidaknya sebagian besar karyawan dirumahkan sementara. Jabar adalah sentra industri tekstil utama di Indonesia dengan lebih dari 700 pabrik tekstil dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Dampak krisis di AS terasa karena ekspor terbesar tekstil dan produk tekstil (TPT) Jabar disalurkan ke negara itu. ”Jumlahnya memang hanya 4 persen dari Jabar, tetapi nilainya yang besar. Pada 2007, total nilai ekspor tekstil Jabar mencapai 4,72 miliar dollar AS. Produk yang diimpor dari Indonesia antara lain kemeja, blus, piyama, dan baju hangat,” kata Ade. Pilihan untuk mencari pasar lain di luar AS juga belum tentu bisa menyelamatkan industri TPT. Menurut Ade, sebenarnya terdapat pertumbuhan ekspor TPT Jabar ke AS sebesar 2 persen pada 2008. Pertumbuhan itu terancam setelah krisis terjadi. Turunnya daya beli masyarakat AS membuat pembelian sandang di negara itu berkurang. Ketua Perhimpunan Pengusaha Tekstil Majalaya, Bandung, Deden Suwega, menyatakan, mata pencaharian sekitar 50.000 perajin tekstil dari sekitar 150 industri kecil dan menengah (IKM) di wilayahnya terancam. Melonjaknya harga bahan baku impor akibat anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS membuat biaya produksi membengkak hingga 20 persen. ”Industri tekstil termasuk padat karya. Bisa dibayangkan jika kondisi krisis tak segera diatasi. Pengangguran akan bertambah dan angka kemiskinan meningkat,” tutur Deden. Sejumlah pengusaha keramik di Kabupaten Purwakarta bahkan telah meliburkan karyawan dan tidak tahu kapan akan mempekerjakan mereka kembali. Menurut Eman Sulaeman, Ketua Pokja Klaster Keramik Plered, lesunya permintaan ekspor dan pasar domestik membuat pengusaha tak tahu kapan bisa mempekerjakan karyawan kembali. Ia menambahkan, dari 15 pengusaha yang biasa membuat produk pesanan eksportir, kini hanya enam pengusaha yang masih berproduksi. Kepala Dinas Tenaga Kerja Purwakarta, Soekoyo, Selasa, mengatakan, sejauh ini belum ada laporan PHK di 318 perusahaan yang mempekerjakan 155.000 orang di daerahnya. Kerajinan songket di Palembang, Sumatera Selatan, kini juga terkena dampak krisis finansial global. Menurut Asmi Astari, pemilik gerai produksi dan penjualan Astari Songket, Rabu, sepekan ini dia menghentikan produksi tenun songket karena stok berlebih. Itu terjadi karena sebagian pembeli luar negeri menghentikan pembelian sejak berlangsungnya krisis global. ”Sebagian pembeli adalah broker dari Singapura dan AS. Sejak Oktober, mereka menghentikan pesanan,” katanya. Zainal, pemilik Zainal Songket, menambahkan, puluhan produsen skala kecil dan menengah di Palembang dan Ogan Ilir sudah menghentikan produksi. Wig masih aman Berbeda pula dengan industri lain di Jawa Barat dan Palembang, pengusaha di Purbalingga, Jawa Tengah, meyakini setidaknya hingga akhir 2009 industri rambut masih aman dari dampak krisis finansial global. Hal ini karena industri rambut palsu (wig) di kabupaten itu umumnya telah membuat kontrak ekspor satu tahun sampai tiga tahun mendatang dengan importir asing. Ketua Forum Komunikasi Perusahaan Rambut Purbalingga Sudiro KS mengungkapkan, beberapa perusahaan bahkan mengalami kenaikan permintaan dari pembeli di luar negeri hingga 20 persen. ”Produk yang diekspor ke luar negeri dari Purbalingga saat ini umumnya hasil kontrak dengan pembeli satu bulan atau dua bulan lalu. Waktu itu krisis belum benar-benar terjadi,” ujar Sudiro KS yang juga Direktur Utama PT Uro Mustika, eksportir rambut palsu, Rabu. AKIBAT KRISIS GLOBAL, 2.000 KARYAWAN INDUSTRI TEKSTIL DI PHK 17 October 2008 Semarang (ANTARA News) – Kalangan industri tekstil di Jawa Tengah terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) 2.000 karyawannya akibat krisis global yang mulai dirasakan. “Dampak krisis global memang terasa berat bagi kalangan industri,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Djoko Wahyudi, di Semarang, Kamis. Menurut dia, kini ada satu pabrik garmen cukup besar di Kabupaten Semarang yang mengurangi jumlah karyawannya hingga 2.000 lebih akibat pasar ekspor menurun. “Akibat pasar ekspor menurun, karyawan yang sebelumnya berjumlah 10.000 orang terpaksa dikurangi 2.000 orang,” kata Djoko yang enggan menyebutkan nama pabrik yang telah mem-PHK karyawan. Ia menjelaskan, bisnis yang masih aman di Jateng kini hanya yang pemasarannya di tingkat domestik seperti jamu dan rokok karena dampak krisis global belum menyentuh sektor riil. Menghadapi situasi seperti ini, Apindo Jateng mengharapkan pemerintah segera merangsang pasar dalam negeri, memberi perlindungan, dan mengendalikan moneter. “Kalau pemerintah tidak cepat bertindak, maka semuanya semakin berat. Pengusaha bisa terus melakukan pengurangan jumlah karyawan,” katanya. Djoko menambahkan, Kamis (16/10) petang Apindo membahas kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2009. “Kita mengharapkan kenaikan UMK disesuaikan dengan inflasi,” katanya PHK AKIBAT KRISIS SUDAH DIMULAI Selasa, 25 Nopember 2008 | 08:28 WIB Jakarta – Depnakertrans hingga Jumat (21/11) pukul 16.15 WIB menerima permintaan dari sejumlah perusahaan di lima provinsi untuk mem-PHK 20.930 pekerja, sedangkan yang sudah di-PHK sebanyak 1.396 pekerja. Siaran pers Depnakertrans yang diterima di Jakarta, Senin, menyebutkan kelima provinsi yang mengajukan PHK dan telah mem-PHK itu adalah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah dan Maluku Utara. Berdasarkan data tersebut jumlah pekerja yang dirumahkan dengan yang akan di PHK hampir sama. Jumlah pekerja yang akan dirumahkan sebanyak 18.891 orang dan yang telah dirumahkan sebanyak 1.025 orang. Depnakertrans sudah membuat mekanisme pelaporan kepada dinas-dinas untuk mengirimkan laporan setiap minggu pada hari Rabu, lengkap dengan nama perusahaannya. Diharapkan minggu depan laporan tersebut sudah lengkap. Di sisi lain, Depnakertrans juga menargetkan pelaksanaan pelatihan tahun 2008 akan berjumlah 98.000 orang dengan mendapat bantuan biaya pelatihan, baik untuk pelatihan yang ada di balai latihan kerja (BLK) pemerintah maupun swasta. Tahun ini Depnakertrans sudah mengalokasikan dana stimulan langsung ke unit pelatihan masing-masing, baik melalui dinas maupun langsung ke BLK. Instansi itu mengharapkan Pemda turut serta mengalokasikan dana bagi pelatihan warganya. Sebagian lulusan BLK terserap oleh pasar kerja uar negeri. Pada tahun 2007 terdapat 1.000 lulusan BLK yang bekerja di Timur Tengah. Saat ini terdapat 11 unit pelaksana teknis pelatihan (UPTP) yang dibina oleh pusat, dan 2 UPTD lagi akan diserahkan ke pusat, yaitu UPTD Sumatera Barat di Padang dan UPTD Kendari. Total UPTP yang ada saat ini sebanyak 161, sedangkan lembaga pelatihan swasta lebih dari 5.000 dengan berbagai macam jenis pelatihan. Tahun 2009 ditarketkan 120.000 orang yang akan dilatih. Ditjen Bina Pelatihan Depnakertrans pada 29 November 2008 juga akan mengadakan lokakarya di Cives Bekasi yang akan mengundang sejumlah industri yang ada di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau. Tujuannya untuk memperkenalkan program pelatihan dan manfaatnya bagi calon pekerja.

ANALISIS KASUS

Berdasarkan dari beberapa artikel yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, artikel tersebut memiliki kasus yang sama. Artikel tersebut membahas adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan terhadap tenaga kerjanya secara besar-besaran akibat adanya krisis global. Perusahaan-perusahaan yang terkena dampak krisis global adalah perusahaan yang bergerak pada sektor rill dan tergantung pada permintaan eksternal seperti industri manufaktur, pertanian, pertambangan. Dan pada kasus dalam artikel di atas, salah satu contohnya adalah industri tekstil, yang mana industri ini adalah industri manufaktur dan pada umumnya mereka berorientasi ekspor.

Telah diketahui sebelumnya, pasar ekspor tujuan industri tekstil adalah Amerika Serikat (AS). Di Indonesia, Jawa Barat adalah sentra utama industri tekstil dengan lebih 700 pabrik dan menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Industri tekstil ini mengekspor kemeja, blus, piyama, baju hangat, dan produk-produk tekstil lainnya ke Amerika Serikat (AS). Industri ini terancam dengan adanya krisis global yang bermula dari adanya penurunan daya beli masyarakat AS terhadap pembelian akan sandang. Adanya penurunan daya beli masyarakat negara tujuan ekspor, maka permintaan akan produk tekstil berkurang, dan berdampak pada tingkat profitabilitas perusahaan yang rendah. Sedangkan di sisi lain, kegiatan produksi tetap berjalan dengan biaya produksi yang semakin meningkat. Perlu diketahui, bahan baku industri tekstil adalah kapas dan fiber yang mana bahan baku tersebut adalah impor karena di Indonesia jumlahnya tidak mencukupi untuk proses produksi. Karena bahan baku mereka impor, dengan adanya krisis global membuat biaya bahan baku melonjak dan semakin meningkatkan biaya produksi perusahaan. Selain biaya bahan baku yang melonjak, perusahaan juga harus menanggung biaya upah tenaga kerja mereka. Dengan adanya kenaikan biaya produksi dan rendahnya profit yang diperoleh, maka mau tidak mau mereka mengurangi kegiatan produksi dan melakukan berbagai upaya efisiensi termasuk perampingan jumlah tenaga kerja. Dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap oleh industri ini, maka bisa dikatakan industri ini termasuk industri padat karya. Jadi bisa dibayangkan, dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran akan berdampak pada jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia maka tingkat kemiskinan juga semakin tinggi, karena banyak penduduk yang tidak memiliki penghasilan. Pengangguran sebenarnya bukan masalah baru di Indonesia. Pengangguran sendiri, adalah suatu kondisi dimana terjadi kelebihan jumlah pekerja yang ditawarkan dibandingkan permintaan. Jenisnya sendiri terbagi menjadi pengangguran friksional, struktural, siklis,dan musiman. Dan kondisi pengangguran yang akan kita alami adalah pengangguran siklis. Karena pengangguran ini disebabkan adanya imbas dari naik turunnya kondisi ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran. Memang selalu tejadi trade-off antara pengangguran dengan tingkat inflasi, seperti yang tergambarkan jelas dalam Kurva Philip. Dimana saat angka pengangguran ingin diturunkan, angka tingkat inflasi akan meninggi,dan begitupun sebaliknya, disaat kita ingin menurunkan tingkat inflasi , angka pengangguran menjadi tinggi. Diperlukan keadaan equilibrium yang sesuai antara kedua trade-off di atas, dan tentu saja krisis global ini akan mengganggu kestabilan kurva tersebut. Selain itu di Indonesia sendiri terjadi miss antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, ketidak mix and match-nya tenaga kerja dengan pendidikan. Misalnya saja, perusahaan banyak membutuhkan tenaga ahli yang bergerak dibidang mesin namun justru lebih banyak orang memilih untuk belajar ilmu kedokteran atau ekonomi yang realitanya, di kota-kota besar telah terjadi surplus tenaga kerja dalam bidang tersebut. Paradigma-paradigma seperti inilah yang harusnya diubah dan lebih diarahakan oleh pemerintah. Menurut kami ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah: * Menggalakkan UKM ( Usaha Kecil Menengah ) Menurut kami. UKM sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat kecil sekaligus industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Namun ternyata UKM jugalah yang paling resist terhadap dampak dari krisis global. UKM khususnya yang bergerak di tingkat lokal tidak akan terpengaruh oleh carut-marutnya stock-exchange di dunia, tidak akan terpengaruh oleh menurunnya impor dari negara lain, dan tentu saja tak terpengaruh oleh intervensi politik. * Memberikan stimulus bagi dunia usaha Menurut kami pemerintah harus memberikan stimulus kepada dunia usaha seperti penurunan tingkat pajak agar meningkatkan kegiatan produktitivitas perusahaan dan dapat menyerap tenaga kerja dan mencegah adanya PHK. Peningkatan investasi dan tingkat konsumsi yang produktif harus maju beriringan sehingga produksi dapat meningkat. Kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus mendukung baik kebijakan dalam maupun luar negeri. * Diversifikasi negara tujuan ekspor Selama ini kita terfokus untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, sedangkan negara-negara lain kurang mendapat perhatian. Karena itu perlu adanya diversivikasi terhadap negara tujuan ekspor sehingga kekacauan perekonomian yang melanda suatu negara tak akan berdampak terlalu besar terhadap negara kita * Pemerintah harus menjadi mitra usaha dan stakeholder yang baik bagi pebisnis. Pemrintah perlu melakukan perbaikan pelayanan birokrasi dan mempermudah perizinan usaha adalah salah satu langkah konkret yang dapat mulai dijalankan seperti pemberantasan korupsi dan stabilitas ketersediaan energi juga merupakan hal-hal yang harus segera dibenahi.

Sumber:

1. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_155761.pdf 2. http://blog.stie-mce.ac.id/amirkusnanto/2010/12/28/apakah-dampak-krisis-keuangan-global-terhadap-perekonomian-indonesia/ 3. http://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-serta-dampaknya-bagi-perekonomian-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun