Jurnalisme Multimedia
Jurnalisme multimedia berasal dari kata jurnalisme dan multimedia. Multi berarti banyak, sehingga jurnalisme multimedia dapat dikatakan sebagai seluruh aktivitas yang menggabungkan dua atau lebih elemen media.
Mindy McAdams (2014), belum ada kesepakatan di antara para jurnalis tentang arti atau definisi multimedia.
Jurnalisme multimedia merupakan jurnalisme kontemporer yang menggabungkan dua atau lebih elemen media. Elemen media meliputi audio, foto, video, teks, animasi dan infografis.
Kemajuan teknologi membuat produk jurnalisme multimedia dengan mudah dikemas dalam sebuah konten digital.
(Dahlgreen, 1996) mempertimbangkan logika dari jurnalisme multimedia sebagai faktor kelembagaan, organisasi, teknologi, dan budaya. Hal ini berpengaruh pada bagaimana pekerjaan berita dilakukan dalam pengaturan konvergen.
Unsur ini perlu dilihat sebagai kombinasi ulang karena jurnalis membentuk dan dibentuk dari berbagai konteks dalam konten multimedia (Lievrouw dan Livingstone 2002).
Jurnalistik telah memasuki era multimedia sejak muncunya radio dan televisi. (Deuse dan Dimoudi, 2002). Berpendapat bahwa konsep logika multimedia dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik profesional media online dalam mendeskripsikan dan mengevaluasi diri sendiri, kompetensi, atribut, dan fitur.
Multimedia dalam Jurnalistik
Multimedia dalam jurnalistik dapat didefinisikan dengan dua cara:
- Jurnalistik sebagai penyajian paket berita pada situs web menggunakan dua atau lebih elemen media seperti kata-kata lisan, teks, video, gambar, dan animasi.
- Jurnalistik sebagai penyajian paket berita melalui media yang berbeda seperti situs web, grup berita, Usenet, e-mail, SMS, MMS, radio, televisi, teleteks, surat kabar cetak, dan majalah.
Munculnya banyak platform digital dan saluran media sosial membuat masyarakat terkadang salah dalam mengartikan jurnalisme multimedia.
Deuze (2003) mengatakan terdapat beberapa kebiasaan yang berhubungan dengan kebiasaan membaca berita seseorang yaitu membaca, menonton, mendengarkan, dan multitasking.
Kritis dalam sudut pandang institusional memungkinkan masyarakat memandang jurnalisme multimedia sebagai sebuah kesepakatan multimedia konvergen dengan pertanyaan akses, keragaman, dan tenaga kerja (McChesney, 1999).
Jumlah media independent berkurang secara constant pada abad ke-20 dengan perkembangan parallel dalam pertumbuhan yang stabil dari ukuran perusahaan yang tersisa.
Paul (2001) mengatakan bahwa para akademisi, pendidik, dan professional umumnya menganggap multimedia sebagai isu teknologi. Sedangkan Stone dan Bierhoff (2002), dan Gentry (2003) memiliki pandangan sebaliknya, mereka melihat adanya kecenderungan jurnalis untuk berfikir lintas media terlebih dahulu dari pada menguasai perangkat keras dan perangkat lunak.
Junalis dapat menggunakan format terbaik atau paling efektif dalam menyajikan berita berupa tulisan, foto, video, animasi, atau infografis.
Jurnalis dapat disebut sebagai "pendongeng" (storyteller) yang bekerja di banyak dimensi. Jurnalisme multimedia mendorong media massa dan jurnalis untuk menyajikan berita dalam beberapa elemen dalam sebuah konten.
Teknologi media baru menantang salah satu "kebenaran" paling mendasar pada jurnalisme, yaitu jurnalis professional merupakan orang yang menentukan apa yang seseorang dan publik lihat, dengar, dan baca mengenai dunia sekitar (Fulton, 1996; Singer. 1998).
Lawrence -- Journal World (2003) berpendapat bahwa editor dan reporter harus belajar menempatkan audiens di atas ego mereka sendiri. Hal ini berpengaruh dalam keputusan calon audiens dalam mengkonsumsi suatu media.
Minat masyarakat terhadap suatu topik yang sedang hangat dapat menjadi pertimbangan jurnalis dalam memproduksi konten.
Keaktualan suatu media dalam menyajikan informasi, dapat mempengaruhi jumlah audiens. Akan tetapi hal tersebut juga dapat menjadi pedang bermata dua bagi media tersebut. Maka dari itu menjadi seorang jurnalis harus dapat bekerja secara cepat dan tepat.
Deuze, M. (2004). Journalism Studies vol. 5. Amsterdam: Routgledge Taylor & Francis Group, h. 139-152.
Campbell, D. (2013). Visual Storytelling in the Age of Post-Industrialist Journalism .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H