Munculnya banyak platform digital dan saluran media sosial membuat masyarakat terkadang salah dalam mengartikan jurnalisme multimedia.
Deuze (2003) mengatakan terdapat beberapa kebiasaan yang berhubungan dengan kebiasaan membaca berita seseorang yaitu membaca, menonton, mendengarkan, dan multitasking.
Kritis dalam sudut pandang institusional memungkinkan masyarakat memandang jurnalisme multimedia sebagai sebuah kesepakatan multimedia konvergen dengan pertanyaan akses, keragaman, dan tenaga kerja (McChesney, 1999).
Jumlah media independent berkurang secara constant pada abad ke-20 dengan perkembangan parallel dalam pertumbuhan yang stabil dari ukuran perusahaan yang tersisa.
Paul (2001) mengatakan bahwa para akademisi, pendidik, dan professional umumnya menganggap multimedia sebagai isu teknologi. Sedangkan Stone dan Bierhoff (2002), dan Gentry (2003) memiliki pandangan sebaliknya, mereka melihat adanya kecenderungan jurnalis untuk berfikir lintas media terlebih dahulu dari pada menguasai perangkat keras dan perangkat lunak.
Junalis dapat menggunakan format terbaik atau paling efektif dalam menyajikan berita berupa tulisan, foto, video, animasi, atau infografis.
Jurnalis dapat disebut sebagai "pendongeng" (storyteller) yang bekerja di banyak dimensi. Jurnalisme multimedia mendorong media massa dan jurnalis untuk menyajikan berita dalam beberapa elemen dalam sebuah konten.
Teknologi media baru menantang salah satu "kebenaran" paling mendasar pada jurnalisme, yaitu jurnalis professional merupakan orang yang menentukan apa yang seseorang dan publik lihat, dengar, dan baca mengenai dunia sekitar (Fulton, 1996; Singer. 1998).
Lawrence -- Journal World (2003) berpendapat bahwa editor dan reporter harus belajar menempatkan audiens di atas ego mereka sendiri. Hal ini berpengaruh dalam keputusan calon audiens dalam mengkonsumsi suatu media.