Mohon tunggu...
Virgilia Flori
Virgilia Flori Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Floweryyy

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Joker (2019) Bisa Menyebabkan Gangguan Mental?

18 November 2022   00:06 Diperbarui: 18 November 2022   07:51 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

`

Film Joker (2019) garapan Todd Phillips cukup banyak menarik perhatian masyarakat dari berbagai belahan dunia, salah satunya Indonesia.

Mengangkat cerita tentang seorang badut bernama Arthur Fleck yang berasal dari kota Gotham, film ini menuai kontroversi di masyarakat dengan banyaknya adegan brutal dan sadis.

Sinopsis
Joker digambarkan sebagai seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai badut di sebuah toko musik. Ia sering mewarnai rambutnya menjadi hijau, menggunakan makeup putih tebal dan mulut yang digambar tersenyum lebar dengan warna merah darah, serta mengenakan setelan jas merah.

Pengalaman hidup Arthur yang sering kali mendapatkan perlakuan tidak baik sejak kecil, membuat ia tumbuh dalam tekanan. Perundungan juga terjadi bahkan ketika ia sudah berusia paruh baya. Ia kerap menerima kekerasan baik fisik maupun verbal dari par remaja di sekitar toko musik tempat ia bekerja.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi menemui seorang psikiater. Pada scene Arthur menemui psikiater, ia terlihat tersenyum dengan raut wajah penuh kesedihan, kekecewaan dan amarah. Arthur mengalami sindrom dimana ia tidak dapat mengontrol tawanya dalam keadaan tertekan. Sindrom ini disebut juga PBA (Pseodobulbar Affect).

Dalam perjalanan pulang dari psikiater, Arthur mencoba menghibur seorang anak kecil, namun orang tua anak tersebut melarangnya dan membuat Arthur merasa tertekan hingga akhirnya ia tidak bisa lagi menahan tawanya.

Di tempat Arthur bekerja, ia juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari atasannya. Ia pun diminta mengganti kerugian atas papan reklame yang rusak ketika ia mengalami perundungan saat bekerja.

Beberapa hari kemudian, ia kembali bekerja menjadi badut di sebuah rumah sakit untuk menghibur anak-anak. Namun ia tidak sengaja menjatuhkan pistol yang ia bawa untuk melindungi diri, hingga akhirnya ia dipecat.

Hal itu menyebabkan ia menjadi depresi, ditambah lagi ia melihat seorang wanita mendapatkan pelecehan verbal yang dilakukan oleh tiga orang pria di dalam kereta ketika perjalanan pulang. Ia tidak dapat lagi menahan perasaanya dan berakhir dengan pertengkaran yang menyebabkan Arthur membunuh tiga orang tersebut untuk membela dirinya.

Berawal dari kejadian tersebut, Arthur menjadi berani untuk melakukan tindak kejahatan lainnya yang bertujuan untuk membela diri.

Peembahasan
Adegan-adegan kejahatan yang dilakukan Arthur menuai kontroversi di masyarkat khususnya warga Indonesia. Kondisi kesehatan mental Arthur yang tidak stabil membuat ia bertindak impulsif.


Tanggapan beberapa orang yang sudah menonton film Joker beranggapan bahwa film ini dapat memicu seseorang melakukan tindak kriminal yang dipengaruhi oleh perasaan atau kondisi serupa. Dalam film ini juga diceritakan bahwa akhirnya Joker dianggap sebagai pahlawan karena mewakili perasaan masyarakat.

Di Indonesia terdapat sebuah kutipan dari film Joker yang cukup banyak digunakan oleh masyarakat yaitu "Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti." Kutipan tersebut seolah membela pelaku kejahatan untuk membenarkan tindak kejahatan.

Perilaku kriminal yang muncul dalam film Joker juga dikhawatirkan membawa dampak negatif bagi masyarakat untuk membenarkan tindakan kejahatan yang dilakukan seseorang akibat peristiwa masa lalu yang kelam.

Seseorang yang tidak stabil secara mental tentu akan lebih mudah terpengaruhi oleh apa yang ia lihat. Ketidakstabilan mental ini juga membuat seseorang menjadi lebih perasa terhadap sesuatu.

Mental yang tidak stabil ini membuat seseorang menjadi impulsif, yang dikhawatirkan ketika seseorang mengalami konidisi sama, orang tersebut merasa tidak sendiri karena teringat akan Arthur sehingga memutuskan untuk melakukan hal yang sama pula.

Kesimpulan
Segala bentuk kejahatan tetaplah kejahatan, tidak ada pembenaran atas kejahatan yang disia-siakan.

Film Joker sebenarnya tidak memiliki dampak langsung terhadap kesehatan mental. Film ini juga tidak mengajak untuk melakukan kejahatan atau membenarkan perilaku kriminal dengan alasan apapun, tetapi mungkin story line dari film Joker dapat menjadi pemicu atau inspirasi bagi orang dengan latar belakang serupa. Sehingga dalam hal ini penonton harus lebih bijak dalam mengkonsumsi tontonan atau menerima pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah film.

Referensi

Alfarifqi, M. (2021). Analisis Semiotika Nilai Amoral Dalam Film Joker (Doctoral dissertation, Universitas Islam Riau).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun