Kok tidak habis hartanya? Batinku ketika aku yang sedang berjalan, melihat seseorang di rumah sederhana, tak mewah selayaknya orang kaya, membagikan sembako kepada para tukang becak dan ibu-ibu tua yang tampak memang tak mampu dengan pakaian lusuh.
Mereka semua menunggu antri, berjajar rapi nan tertib, satu persatu menerima paket sembako. Ku lihat belasan becak terparkir rapi, tak mengganggu lalu lintas dan ibu-ibu tua yang menggendong anaknya dengan wajah senyum tanpa lelah, berdiri menunggu giliran.
Pemandangan bersahaja yang tak hanya sekali ini ku lihat, melainkan setiap minggu di hari jumat saat aku berjalan melewati rumah sederhana milik orang itu. Penasaran memburu hebat di pikiranku, mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di benakku akan siapa orang itu dan seberapa banyak hartanya.
Tak mungkin!, aku yang sedang pulang kerja dengan pakaian rapi kemeja panjang ikut ngantri, menunggu giliran menerima paket sembako hanya untuk sekedar bertanya sosok siapa pembagi sembako. Tapi rasa penasaranku terus memburu hebat untuk segera ingin tahu siapa beliau. Hingga aku putuskan duduk di sebuah trotoar menunggu antrian pembagian sembako selesai.
Duduk sambil melihat, menatap ke arah antrian dengan penuh kekaguman dan rasa malu. Gimana tidak kagum dan malu?, beliau yang sudah nampak tua dengan rumah sederhana mampu memberikan sedekah sembako berjumlah puluhan setiap minggu. Sedangkan diriku seorang pekerja kantoran dengan gaji belasan juta saja, enggan menyedekahkan sepeser gaji itu untuk orang yang tidak mampu.
Bahkan ketika ada program pemotongan gaji untuk zakat MAL (penghasilan), aku sendiri tak terima. Sungguh malu aku, melihat kenyataan yang ada di depanku sekarang. Orang tua sederhana tapi kaya akan hati. Tidak sepertiku, pemuda perlente tapi miskin akan hati.
Setelah lama aku menunggu dengan rasa yang bercampur jadi satu, antrian tukang becak beserta ibu-ibu tua sudah bubar. Tinggallah bapak tua itu dan ibu tua dengan ditemani dua gadis berjilbab cantik yang sedang merapikan meja dan perkakas lainnya. Aku tak tahu siapa kedua gadis berjilbab itu, mungkin anaknya. Lantas, dengan cepat aku berjalan menghampirinya.
"Permisi" ucapku saat aku sudah bediri di hadapannya setalah berjalan m dekatnya.
"Waalaikumsalam" sahut orang tua itu memberiku salam.
Aku yang salah, tak memberi salam, terhentak kaget dengan langsung mengucapkan salam.
"Assalammualaikum".