Di atas meja, terdapat sebuah kopi, minuman kesukaan kakeknya, Ki Asmoro. Beliau hanya duduk, seperti menanti kedatangan Naga dari pulang mengajar silat malam ini.
"Assalammualaikum, Kek" ucap Naga memberi salam kepada kakeknya.
"Waalaikumsalam, Nak. Kenapa wajahmu lebam dan pakaianmu lusuh? Kamu habis bertarung?" Tanya kakeknya, melihat lebam pada wajah Naga.
"Enggak, Kek. Ini tadi aku tersandung dan terjatuh di jalan pulang" jawab Naga mengelak dengan membohongi kakeknya.
"Jangan bohongi kakekmu ini. Kakek sudah tahu kalau kamu habis bertarung. Dengan siapa?" ucap Kakeknya yang sudah tahu kalau Naga habis bertarung.
Akhirnya Naga bercerita semua kejadian malam ini kalau ia bertarung dengan tiga pemuda anak buah dari Rontek penguasa kampungnya sebab ia di hadang dengan alasan tidak boleh mengajar ngaji dan silat di kampungnya.
Kakeknya hanya diam, meminum kopi tanpa ada sebait katapun keluar menanggapi ceritanya. Naga bingung, heran melihat sikap kakeknya.
"Apa kakek marah kepadaku?" Pikirnya atas sikap kakeknya setelah mendengar ceritanya.
Naga hanya berdiri diam, melamun di tengah perasaan bingung mengglayuti batinnya atas sikap kakeknya malam ini. Sampai terdengar suara kakeknya yang menyuruh Naga untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian yang sudah lusuh. Tak lupa juga menyuruh Naga untuk kembali menemuinya di sini setelah semua selesai ia kerjakan.
Malam semakin larut ditemani goyang daun pepohonan tertiup angin dingin malam, Naga selesai membersihkan diri, ia sudah duduk di samping kakeknya yang sedari tadi menunggu. Terhampar minuman kopi di atas meja kayu untuk Naga, memulai perbincangan hangat Naga dengan kakeknya. Perasaan lega membatin di hati Naga karena kakeknya tidak marah atas pertarungannya dengan anak buah Rontek tadi.
Perbincangan ia dan kakeknya di kursi depan balai rumah padepokan hanya membahas pertanyaan kakeknya tentang perasaan Naga atas takdir yang di alaminya sejak ia kecil dan tindakan Rontek yang telah menghabisi kedua orang tuanya. Naga hanya bisa menjawab, bercerita akan kesedihannya atas apa yang sudah menjadi takdirnya, kehilangan orang tua yang mati di bunuh Rontek. Ia juga penuh emosi bercerita dendamnya yang membara kepada Rontek bagai api yang berkobar tinggi, siap melahap apapun semua tentang Rontek.