Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kenapa Jadi Begini?

3 Februari 2024   14:12 Diperbarui: 3 Februari 2024   14:23 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku ontologi Jokowi terbitan tahun 2013 ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dokumen Pribadi SZ.

Kita mundur dulu ke belakang, mundur ke tahun 2013, saat sebuah buku Ontologi, buku keroyokan yang ditulis para kompasioner, termasuk saya, Syaripudin Zuhri. Buku yang berjudul " Jokowi (bukan) Untuk Presiden"  Buku yang dikasih sub judul , " Kata Warga Tentang Jokowi " Buku yang diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta. Pada tahun 2013, 11 tahun yang lalu, buku tersebut masih tersimpan rapi di lemari buku, di perpustkaan pribadi, perpustakaan kecil-kecilan, yang saya saya kasih nama " Pustaka Syafagib Sabes R27 ". Nama apaan tuh Syafagib Sabes R27?

Biarin aja dulu, kita kembali ke judul " Jokowi Kenapa jadi Begini? " Saya sengaja tidak menulis kata Presiden, di depan nama Jokowi, terlalu berat. Karena kalau diberikan judul ' Presiden Jokowi Kenapa jadi Begini?" Maka bahasan tulisan singkat ini akan melebar ke mana-mana, ketika menyebut Presiden di Hukum Tata Negara kita, itu sebenarnya ada dua lembaga yang menyatu dalam dirinya, ya kepala negara dan juga kepala pemerintahan RI.

Ketika kita bicara Presiden Jokowi, maka pada dirinya melekat dua lembaga tersebut, yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, ya Jokowi adalah orang nomor satu di republika ini. Anda memilihnya atau tidak, faktanya Jokowi secara sah adalah Presiden RI, Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lah lalu hubungannya dengan buku di atas apa? Nah begini ceritanya. Buku tersebut adalah karya para kompasioner, sebutan untuk para penulis di www.kompasiana.com. Dan untuk tulisan saya, terkumpul di  www.kompasiana.com/virays.

Di dalam buku tersebut saya menyumbang tiga tulisan: Pertama; Jokowi Sang Gubernur Fenomenal di halaman 149. Kedua; Dicari Capres Blusukan di halaman 243, dan ketiga; Jokowi Gubernur Langkah! Dihalaman 247. Nah tentu saja, tulisan tersebut, di lihat dari judulnya saja, anda bisa menebak, ini tentang kebaikan atau sesuatu yang istimewa dari seorang Jokowi. Dan saya pikir kebanyakan orang setuju, bahwa Jokowi memang baik. Makanya ketika Jokowi mencapreskan diri pada pilpres 2014, saat itu masih jadi Gubernur, Jokowi menang.

Hebatnya lagi, dengan segala kesederhanaannya, Presiden masuk ke gorong-gorong, mana ada seorang Presiden lain yang sampai masuk ke gorong-gorong? Pencitraan atau bukan, faktanya Jokowi memang masuk ke gorong-gorong, memeriksa gorong-gorong untuk memantau banjir di Jakarta. Ketika Pilpres 2019 Jokowi mencalonkan lagi, sebagai Presiden yang petahana, Jokowi menang lagi, Jokowi yang berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin menang melawan pasangan Prabowo- Sandi, menang untuk kedua kali melawan Prabowo. Yang akhirnya, sang lawan, Prabowo ditarik jadi menterinya Jokowi, sebagai menteri Pertahanan. Polarisasi yang terjadi pada pilpres 2019 terendam, dan saya termasuk yang memberikan pujian, memberikan dua jempol untuk mereka berdua.

Berjalan seiring waktu berlalu, dari periode pertama ke period eke dua, Jokowi baik-baik aja tuh. Namun menjelang akhir pada periode kedua, khususnya ketika Pilpres 2024 bergaung di seantero jagat Indonesia, munculah hal-hal yang tak terduga oleh para pakar, para politikus, pengamat politik, ahli hukum tata negara dan sebagainya, apa itu ? Ya siapa lagi kalau bukan munculnya Gibran Rakabuming Raka, anaknya Jokowi, yang menjadi cawapres Prabowo pada pilpres 2024, berkat adanya " Mahkamah Keluarga" istilah plesetan untuk Mahkamah Konstitusi ( MK ), sang anak Jokowi diberikan "karpet merah" dari Sang Paman, Anwar Usman yang saat itu menjadi ketua MK, sekarang sudah dipecat oleh MKMK, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari ketua MK, mejadi anggota biasa.

Dengan keputusan MK itulah Gibran akhirnya bisa didaftarkan sebagai cawapresnya Prabowo pada pilres 2024 di KPU, gambar Gibran ada kertas pemilihan, yang dalam hitungan hari, dari tulisan ini dibuat, sekitar dua belas hari lagi, kurang dari dua minggu, tepatnya hari "H " Pilpres pada tanggal 14 Februari 2024. Lalu hubungannya dengan judul di atas apa? Nah disini persoalannya. Mari kita analisa kecil-kecilan. Ketika saya menulis pada tanggal 11 September 2023 yang lalu dengan judul " Adakah Kuda Hitam Pada Pilpres 2024?" Coba siapa yang menyangka ada nama Gibran pada pilpres 2024?  Para pengamat terkecoh, dengan gaya politiknya Jokowi, termasuk saya. He he he.

Tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 28 Desember 2022, saya juga menulis dengan judul " Inilah Capres Potensial di Pilpres 2024" Pada tulisan tersebut ada enam tokoh yang saya sebut, nama-nama mereka adalah : Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Agus HY, Ridwan Kamil dan Sandiago Uno. Lihat itu, tak satupun muncul nama Gibran Raka Buming Raka! Juga Muhaimin, ga ada. Dua nama terakhir memang ga muncul, ga disebut-sebut para pengamat politik.

Dari analisa saya 50 % masuk, Prabowo, Ganjar dan Anies. Dan yang 50 % gagal, Agus HY, Ridwan Kamil dan Sandiango Uno.  Yang gagal, disebut dengan becandaan " Bukan lelaki pilihan" Padahal secara fisik, mereka muda-muda dan ganteng-ganteng! Apa boleh buat, tiga nama terakhir tak punya kesempatan di Pilpres 2024. Karena mereka masih muda, masih ada waktu atau kesempatan bertarung pada pilpres 2029, 2034, 2039, dan seterusnya.

Kembali ke Jokowi Kenapa jadi Begini? Dengan masuknya Gibran Raka Buming Raka, anaknya Jokowi, mulailah Jokowi beda, jauh beda dengan pada periode pertama dan awal-awal periode ke dua. Kalau pakai bahasa agama, harusnya khusnul khotimah, meninggalkan sesuatu yang baik-baik. Sekarang menjadi suul khotimah, meninggalkan karya tidak baik,menjelang akhir tugas pada 20 Oktober 2024 mendatang. Dunia perpolitikan di Indonesia menjadi gonjang ganjing. Kalau dalam bahasa persilatan " pendekar mabuk " sedang mengeluarkan jurus-jurusnya yang susah dibaca lawan-lawa poltiknya.

Apa lagi Jokowi sebagai Presiden terang-terangan mengatakan "akan cawe-cawe pada Pilpres 2024", konon katanya sih demi bangsa dan negara, anda percaya? Saya tidak, kalau tak ada anaknya menjadi cawapresnya Prabowo pada Pilres 2024 ini, baru saya percaya, gimana dengan anda? Terus muncul lagi Jokowi dengan kata-kata bahwa }Presiden boeleh kampanye", sampai mengeluarkan pasal yang ditulis pada karton dan ditunjuan pada khalayak, yang tentu saja pasal menguntungkannya, pasal yang tak menguntungkan tidak dikatakan dan tidak ditunjukan ke public. Para pakar membantah, jagat perpolitkan di Indonesia dibuat gonjang-ganjing oleh Jokowi.

Makanya pertanyaan "Jokowi Kenapa jadi Begini?" jawabannya jadi kusut.  Harusnya di akhir jabatan Jokowi duduk manis menerima pensiunan sebagai presiden, dapat rumah, tanah, gaji yang tidak kecil. Coba apa lagi yang yang dicari? Kalau bukan untuk memenangkan anaknya pada pilpres 2024 ini. Bayangkan. Prabowo yang capres, kenapa Jokowi yang pontang panting memberikan Bansos? Sampai menteri sosialnya ga diajak untuk memberikan Bansos, padahal memang bagiannya kemensosial, atau karena beda haluan dengan PDIP, yang kebetulan menteri sosialya dari PDIP. Bingungkan?

Buku ontologi Jokowi terbitan tahun 2013 ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dokumen Pribadi SZ.
Buku ontologi Jokowi terbitan tahun 2013 ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dokumen Pribadi SZ.

Jokowi Yang sekarang sering disebut " pagi tempe, sore tahu" atau "ngesen ke kiri, beloknya ke kanan" Jokowi-Jokowi... Bacanya seperti gaya Prabowo, nyebut nama Anies pada debat Presiden. Kenapa jadi begini? Rakyat kebanyakan yang tadinya simpati, sekarang seperti antipati. Anaknya akan dipilih atau tidak, ya kita lihat nanti hasil Pilpres 2024. Yang jelas Jokowi sekarang, secara sikap dan kebijakan bukan Jokowi yang dulu, bukan Jokowi yang saya tulis di buku otology di atas. Namun sebagai Presiden RI, mau ga mau, ya tetap saya hormati, kita hormati. Tapi Jokowi sebagai bapaknya Gibran yang cawe-cawe untuk memenangkan anaknya pada pilpres 2024 ini, sorry ye... sorry ye...!

Namun uniknya, walaupun demokrasi di INonesia, banyak pakar bilang sudah rusak di bawah kepemimpinan Jokowi, tapi para tokoh yang sangat fokal, dan tanda tendeng aling-aling di podcat atau jadi tamu podcast orang lain, seperti Rocky Gerung, Eef Saifullah, Hari Azhar, Eggy Sujana, Abraham Samad, Hendri Satrio, Faisal Asegaf  dan lain-lain, mereka anteng-anteng aja tuh, ga ada yang ditangkapin polisi.

Bahkan Rocky Gerung dengan istilah " Dungunya " yang terkenal untuk Presiden Jokowi, tetap bersuara di mana saja, walau di kampus-kampus banyak rektor yang takut mengundang Rocky, jikapun ada, sampai di acara bisa langsung dibatalkan atau Rockynya dilarang masuk ke acara, padahal dia diundang. Tapi Jokowinya sendiri tenang-tenang aja, jadi salahnya Jokowi di mana ya? Pusingkan?

Oya, dengan mundurnya Mahfud MD dari jajaran Kabinetnya Jokowi, Jokowi ga kelihatan gimana gitu, dan setelah pemecatan dengan hormat pada Mahfud MD, Jokowi nunjuk PLT Menkopolhukam, Tito Karnavian, Mendagri, salah orang kepercayaan Jokowi, setelah tak jadi Kapolri, Tito langsung diangkat jadi Mendagri, ga sempat nganggur. Jokowi memang hebat, saking hebatnya ga mau turun dan melepas kekuasaannya, kekuasaannya tetap mau dilanggengkan. Usaha tiga priode, batal. Tambahan 2-3 tahun kekuasaannya juga ditolak orang banyak. Sesudah mentok di san sini, eh masih ada celah, anaknya dijadikan penerus kekuasaan, dengan memberikan kerpet merah buat Gibran Rakabuming Raka jadi cawapres Prabowo.

Herannya para Prof Dr dan sederet gelar dan jabatan di Koalisinya Prabowo, semuanya terdiam kaku. Tak ada yang menolak secara terang-terang Gibran jadi cawapresnya Prabowo. Padahal dalam segi pengalaman di Partai, kekuasaan dan jabatan, orang-orang Seperti Airlangga, Zulkfli Hasan, Yusril, Anis Matta dll jauh lebih pengalaman, ketimbang Gibran, mereka bertekuk lutut pada Gibran yang anaknya Jokowi. Anak kemaren sore, dan dijuluki nitezen " Asam Sulpat atau Samsul", ada juga yang nyebutnya " Blimbing sayur"

Dan Fahri Hamzah, "sang macan garang" saat belum bergabung pada koalisinya Probowo, sekarang jadi "macan sirkus" memuja muji Jokowi, dan menyerang habis-habisan Anies Baswedan. Bahkan dengan lantang Fahri Hamzah bilang "selesai pilpres, Anies dan Muhaimin masuk penjara", terlalu kau Fahri! Fahri Hamzah yang dulu, bukan yang sekarang, sama dengan yang didukungnya sekarang.

 Jokowi sekarang bukan Jokowi yang dulu dalam sepak terjangnya. Kanapa Jokowi jadi begini? Kita cari jawabannya pada rumput yang bergoyang, atau kita bergaya mencari jawaban seperti Gibran yang celengak celinguk mencari jawaban Mahfud MD pada debat Cawapres ke dua yang lalu. Akankah Jokowi berubah? Masih ada waktu dan kesempatan. Semoga Jokowi bisa kembali ke khitahnya, yang sederhana dan tidak haus kekuasaan. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun