Mungkin banyak yang sudah lupa, bagaimana sebuah rumah itu berdiri, atau bagaimana sebuah rumah berproses ketika dibangun atau didirikan, karena membangun rumah, sesederhana apapun, butuh sebuah proses, tidak ujug-ujug jadi, apa lagi untuk membangun sebuah negara, dan negara itu bernama Indonesia, mungkin butuh ratusan tahun atau berabad-abad untuk mencapai pada titik kesempurnaan.
Jangankan untuk mencapai titik kesempurnaan, untuk mencapai tujuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45 saja perlu waktu yang tak sedikit, lihat saja, Indonesia merdeka 75 tahun, di Papua sana masih banyak yang belum berbaju. Tak usah-jauh-jauh, hanya dalam hitungan puluhan kilo meter dari pusat Ibu Kota Jakarta, ada suku tradisionil yang boleh dibilang jauh dari apa yang disebut masyarakat modern, tak perlu disebut sukunya, anda pasti sudah tahu.
Masih ingat dengan ungkapan " Roma tidak dibangun semalam?" tentu saja ini sebuah ungkapan tentang sebuah proses yang sangat panjang untuk membangun sebuah negara, walau mungkin unsur-unsur berdirinya sebuah negara sudah tersedia, ada rakyatnya, ada pemerintahannya yang berdaulat, ada wilayahnya dan adanya pengakuan internasional. Â Namun untuk membangun sebuah negara yang berkeadilan dan sejahtera, benar-benar membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sampai saat ini pun belum, entah sampai kapan, saya tak tahu.
Akh itu terlalu jauh, mari kita ambil yang dekat-dekat saja, tentang membangun sebuah motivasi yang kuat untuk menggapai kemajuan. Apa itu? Masih ingat kata-kata Bung Karno? " Ini dadaku, mana dadamu?" atau dengan kata lain: " Ini karyaku, mana karyamu?" Sebuah tantangan untuk dapat membuat sesuatu, sekecil apapun bentuknya. Salah satunya karya bersama ini, bayangkan 150 orang kompasioner bersatu dalam satu buku Pak Tjip, keren!
 Betapa banyak orang yang biasa-biasa saja pada awalnya, tapi karena semangatnya tinggi dan terus berusaha dan berjuangan menggapai apa yang dicita-citakan, pada akhirnya kesuksesan diraihnya. Apapun kata orang, bukan halangan untuk maju. Apapun pendapat orang, bukan batu sandungan yang mesti ditakuti. Apapun caci maki, hinaan orang atau mungkin " dikecilkan " atau " disalahartikan " bukan hantu yang menakutkan. Maju terus dan jangan menyerah. Walau di jalanmu banyak onak dan duri, teruslah berjalan sampai tujuan.
Kerikil-kerikil tajam atau duri-duri yang berserakan sepanjang jalan, kalau memang itu ada dihadapanmu, jangan mundur. Kalau perlu berdarah-darah dan terluka, jangan takut. Darah dan luka adalah asam garam kehidupan. Ayo bangkit terus dan bergerak maju. Tak ada kesukses yang didapat dengan cara berongkang-ongkang kaki, dengan berleha-leha sambil berkipas dengan duduk di kursi santai.
Bekerja, berkarya dan berusaha dalam menempuh hidup dan kehidupan di mana saja adalah sama, akan ditemukan kesulitan, hambatan, rintangan, ujian, cobaan yang tida henti-hentinya, semakin tinggi karya anda dan usaha anda, biasanya kesulitan, hambatan, rintangan, ujian, cobaannya juga semakin tinggi.
Ibarat pohon yang semakin tinggi, angin yang menghempasnya juga semakin kencang, bahkan bukan angin, namun sudah menjadi badai. Bila akarnya tidak kokoh dan kuat, maka pohon itu akan terhempas badai, patah, tumbang dan hencur berantakan. Akar yang kokoh dan kuat itu adalah iman, energi iman akan membuat kokoh dan kuatnya seseorang dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan ujian hidup. Iman yang kokoh dan kuat ibarat batu karang di tengah hempasan badai laut yang ganas, dia akan tetap berdiri, tak bergeser seincipun.
Bukan akhir perjalanan yang penting, jadi apapun kamu bukan masalah, tapi proses dalam perjalanan itu yang penting. Jangan menyerah dalam perjalanan, betapapun sulit dan melelahkan perjalanan tersebut. Tiada kesuksesan bila anda tetap diam dan pasif, tidak melangkah dan tidak bergerak.
Yang sudah berjalan jauhpun belum tentu sampai ke tempat tujuan, apa lagi yang tidak pernah berjalan, tidak pernah bergerak. Hidup penuh dengan tantangan, ujian dan cobaan. Emas berlian yang dipakai dalam mahkota para raja dan ratu, mulanya adalah bongkahan, yang kemudian digosok, diasah, dibakar, dipanaskan dan sebagainya.
Coba lihat genteng yang di atas rumah, itu awalnya adalah tanah yang injak-injak manusia kebanyakan, lalau mengapa bisa di atas atau di atap? Genteng yang di atas rumah sudah mengalami cobaan, ujian, rintangan, hambatan dan lain sebagainya. Lihat saja bagaimana tanah sebelum menjadi genteng.
Tanah itu mulanya dicangkul, diinjak-injak, diaduk-iaduk dengan air, dibanting-banting, dicetak, lalu di bakar, setelah itu dijemur. Masih belum selesai, dibawa ke matrial, diperjualbelikan, dan ketika akan naik ke atas setelah mengalami berbagai macam tahap, masih ada yang pecah saat dilemparkan ke atas, saat dijemur retak-retak, saat diangkut dan bergesekan dengan sesama genteng. Jadi memang tidak semua genteng bisa sampai ke atas rumah. Hanya genteng yang sudah teruji yang bisa sampai ke atap.
Â
Begitulah ibarat bagi sebuah kehidupan, walau kelihatannya klise, namun sangat penting untuk dihayati dan tentu saja, menjadi bahan motivasi yang kuat untuk berbuat sesuatu. Ada yang harus ditinggalkan untuk generasi berikutnya, apapun bentuknya. Kalau para tokoh dunia sudah meninggalkan karya mereka, lalu mana karya kita, karya saya dan anda? Jangan takut untuk melangkah, betapapun lemah langkah itu, seperti sebuah perjalanan yang panjang, ribuan kilo meter, dimulainya dari sebuah langkah saja!
Jakarta, 5 Januari 2021
Didedikasikan buat Pak Tjiptadinata Efendi yang akan membuat buku " 150 kompasioner menulis"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H