Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang Salah dengan Politik Sontoloyo?

9 November 2018   20:29 Diperbarui: 9 November 2018   20:43 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kata Sontoloyo tiba-tiba begitu populer di tahun politik, tak apa2, asal tetap aman dan damai. Ilustrasi:riaumandiri.com

Pilpres 2019 mendatang sudah pada  tingkat kampanye, bulan April 2019 terasa kian lama, karena mendengar dan membaca coletahan para politikus di dua kubu. Istilah atau diksi yang dipakaipun menjadi aneh-aneh, tak bagus untuk pendidikan anak-anak generasi masa depan. Generasi berikutnya. Para tokoh di atas kenapa sampai-sampai menggunakan istilah yang kurang elok untuk didengar.

Para tokoh di atas, kenapa sampai lupa bahwa mereka adalah tokoh panutan rakyat, dan rakyat itu jumlahnya bukan sejuta dua juta orang, tapi ratusan juta orang dan mereka bisa membaca di HP masing-masing atau melihat di internet  via youtube atau live streaming, juga bisa nonton di TV atau mendengar di radio.

Istilah-istilah yang digunakan juga bukan istilah mendidikan untuk bangsa ini, dua kubu saling menghinakan, bukan saling membangun kinerja yang baik. Istilah kebun binatang pun muncul, ada kubu kampret adan kubu kecebong, ada politikus sontoloyo atau politkus gandoruwo. Ada yang di wajah "Boyolalian" dan sebagainya. Mengapa jadi begini?

 Heran... benar heran. Katanya para tokoh, katanya para sesepuh bangsa ini, katanya para patriot bangsa, tapi mengapa pakai istilah-istilah yang menghinakan, bukan yang memuliakan sesamannya. Mengapa pakai istilah, yang nyebutnya juga ga enak, apa lagi kalau di kata tersebut ditujukan pada orang, ke nama orang, bukankan orang tersebut punya teman, keluarga, pengikut, simpatisan dan lain sebagainya.

Bukankah mereka akan tersinggung, bila tokoh panutannya, tokoh yang diidolakannya, tokoh harapan masa depannya dihina, direndahkan atau diremeh? Tidak adakah kata lain atau istilah lain yang lebin santun, lebih baik, lebih enak di dengar, ketimbang kata-kata yang saya nulisnya juga ga tega. Namun karena pihak yang di atas saja dengan gampang mengucapkan kata-kata tersebut, ya sudah rakyat banyakpun jadi ikut-ikutan menggunakan kata-kata tersebut, sayapun jadi ikut-ikutan menulis kata tersebut, sontoloyo!

Namun saya tak mau menggunakan kata sontoloyo tersebut dalam pengertian negatif. Seperti  tulisan saya sebelumnya:  Mengapa Takut Dibilang "Gombal?" Kali ini pun kata yang tadinya berkonotasi negatif, saya rubah menjadi sebuah akronim yang berarti  positif. Tujuannya tak lain agar kata negatif tersebut menjadi berarti lebih positif dan produktif, agar orang tak takut lagi menggunakan kata tersebut. Mengapa demikian?

Saya selalu punya prinsif , " Seandainya orang memberikan racun padamu, ubahlah racun itu menjadi obat yang mujarab atau seandainya anda dilempari batu-batu oleh musuh anda, kumpulkan batu-batu tersebut untuk membangun istanah anda, atau yang lebih sederhana, ibarat pohon mangga sedang berbuah ranum, dilempari batu, pohon manggga tersebut memberikan buahnnya untuk anda makan ."

Baik, mari kita mulai, apa sih akronim S O N T O L O  Y O  tersebut? Saya coba jabarkan menjadi kata-kata berikut ini : Santun, Otak, Niat, Taat, Omong, LOyal, Yakin dan dOa. Semua kata tersebut punya arti yang positif. Mari kita gali apakah Politik Sontoloyo?

Sekali lagi, saya balik arti negatif Sontoloyo menjadi positif. Mengapa? Ya itu tadi, pola pikir yang selalu negatif akan melahirkan  ucapan yang negatif, ucapan yang negatif melahirkan tindakan yang negatif, tindakan yang negatif akan menimbulkan kebiasaan yang buruk, dan kebiasaan buruk akan menjadi karakter buruk pula, dan lebih celaka lagi kalau karakter buruk tadi akan melahirkan takdir yang buruk, wah bisa celaka 13!

Kita mulai dari hurup "  S "yang pertama, santun. Polikus yag diterima rakyat banyak adalah politikus yang santun dalam kata, perbuatan atau tindakannya. Betapaun pinternya seorang politikus, betapapun berjejernya titel atau pangkatnya juga banyak jabatannya, bila kata-katanya " ember bocor", siap-siap akan mendapat saksi social dari masyarakat. Sanksi tersebut bisa macem-macem, ujung-ujungnya pilitikus yang tidak santun akan menjadi bahan cibiran masyarakat, dan jika pun ada pemilihan, politikus yang tak santun akan tergeser atau digeser oleh politikus yang santun, walau mungkin pangkat atau jabatannya politikus yang santun ini biasa-biasa saja.

Yang ke dua hurup " O" , dari kata Otak. Nah politikus yang ciamik biasanya lebih banyak menggunakan otaknya ketimbang ototnya. Otot dalam hal ini fisik. Otak dalam pengertian ini adalah politikus yang lebih banyak berpikir sebelum bicara, ketimbang banya bicara kemudian baru mikir. Otak yang digunakan oleh politikus adalah otak yang bijak, otak yang dapat mendinginkan suasana yang panas, bukan sebaliknya, yang membuat panas suasana yang dingin, yang adem. Polikus memang diharapkan otaknya bekerja untuk rakyat, bukan otak yang digunakna untuk memperkaya diri dan golongannya saja.

Hurup yang ketiga adalah " N " untuk kata Niat. Politikus yang punya niat baik, tentu perjuangan yang dilakukan lewat partai masing-masing adalah untuk mensejahterakan rakyat, berniat jika mendapat jabatan atau kedudukan tertentu digunakan atau diniatkan benar-benar untuk membangun rakyat yang dipimpinnya. Bukan memperkaya diri atau golongannnya, tapi benar-benar punya niat seperti yang diamanatkan di dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, yaitu menecerdaskan kehidupan bangsa, melindungi rakyat dan mensejahterakan rakyatnya, selain ikut dalam perdamaian dunia, okelah yang terakhir itu nanti, kalau sudah menjadi Presiden, misalnya.

Sedangkan hurup yang ke empat  adalah " T " untuk kata Taat. Dalam hal ini adalah taat peraturan. Jadi politikus, siapapun orangnya, dari manapun partainya akan taat pada peraturan yang memang telah dibuat bersama. Dari mulai UUD 45 sampai peraturan di bawahnya, dari normat agama, hukum, kesopanan atau kesusilaan.

Baik peratauran yang dibauat dari tingkat RT di mana politikus itu tinggal sampai peraturan tertinggi yang dibuat oleh Negara. Bila politikus ini sudah taat aturan, saya yakin tak ada poliikus yang sudah menjadi menteri, gubernur, bupati, wali kota dan sebagainya yang kena OTTnya KPK. Mengapa? Karena politikus yang taat aturan tak berani korupsi sekecil apapun potensi yang ada. Walau punya jabatan tinggi poliikus yang yang taat, tidak akan korupsi, walau harta, tahta dan wanita menggodanya.

Berikutnya adalah hurup " O " untuk kata Omong atau bicara. Orang dinilai dari bagaimana dia bicara, makanya ada kata pepatah " Mulutmu harimaumu". Jadi omongan politikus ya harus benar kalau bicara, bukan asal jeplak, kalau kata orang Betawi, bukan asbun, asal bunyi. Omongan politikus yang baik akan terdengar mengayomi, mengajak kebaikan, tidak menginggalkan omongan yang buruk dan tak layak diucapkan.

Berusaha mengerem diri sendiri, walau mungkin tersakiti. Tidak membalas hinaan dengan hinaan, kata-kata atau omongan politkus yang handal adalah terjaga, tertukur rapi, enak untuk didengar, jika perlu kata-katanya semanis madu, bukan racun. Susah memang, karena memang setiap hinaan enaknya dibalas dengan hinaan pula, atau celaan dibalas dengan celaan pula. Wah kalau begini yang dilakukan, apa kata dunia?

Hurup berikutnya digabung " LO" untuka kata Loyal. Ini penting dilakukan untuk seorang politikus, sebaiknya memang Loyal pada partainya atau atasannnya, tapi lebih baik lagi adalah loyal pada bangsa dan negara. Okelah loyal pada partai, tapi bila sudah menjabat  sebagai abdi negara, loyak kepartai harus nomor dua, yang nomor pertama sekarang adalah bangsa dan negara. Bangsa dan negara dulu yang diutamakan, walaupun mungkin di dalam partainya sendiri menjadi petugas, tapi bangsa dan negara lebih diutamakan.

Itulah loyalitas sejati bagi politrikus. Okelah bertukar partai, mungkin karena sudah ka sejalan lagi dengan partainya, sehingga pindah partai, ini sah-sah saja. Apa lagi partai-partai sekarang kurang militan keder-kadernya, sehingga banyak sekali kader partai yang menjadi kutu loncat, bahkan banyak tokoh yang suaranya lantang di TV, namun sangat mudah meninggalkan partainya, pindah dari satu partai ke partai lain, yang penting kedudukan dan jabatannya tetap dapat, ini conoth politius oportunis, yang penting dapat kursi dan jabatan, partai apapun jadilah.

Berikutnya hurup " Y" untuk kata Yakin. Bagi politikus yang punya keyakinan kuat, baik itu untuk keimanan, kepartaian dan percaya diri, maka politikus seperti ini tak mudah goyah oleh apapun. Polikus yang punya keyakinan kuat atau keimanannya tinggi tetap teguh berdiri di atas kebenaran yang diyakininya. Walapun mungkin di sekelilingnya banyak politikus yang buruk, dia tetap yakin dan penuh percaya diri tak akan ikut-ikutan, bahkan walaupun mungkin penghasilannya hanya sebesar gaji pokok dan sekedar tunjangan ala kadarnya, politikus ini tetap tak bergeming dengan godaan atau rayuan milyaran.

Politikus yang punya keyakina diri yang kuat tak akan terpengaruh dengan politkus lain, yang mungkin saja secara berjamaah korupsi. Politikus yang punya keyakinan tetap memegang prinsif, walaupun mungkin dituduh sok alim, sok suci dan lain sebagainya. Memang langkah, tapi bukan tidak ada politikus yang seperti ini, hanya saja memang jarang tersorot oleh media, bahkan media tak tertarik menulis tokoh-tokoh yang lurus-lurus saja.

Terakhir hurup " O " yang terselip dalam kata " dOa. Banyakah politikus berdoa? Saya yakin banyak, terutama minta didoakan untuk menang di caleg atau Pilpres. Buktinya bila musim kampanye para elit politik banyak yang turun gunung ke pesanteran-pesantren, sowan ke kiayi- kiyai dan lain sebagainya. Minta didoakan untuk menang! Ya sah-sah saja, asal saja doanya tidak hanya pada saat mau atau sedang kampanye, ketika sudah menang lupa berdoa, sudah dapat kursi lupa dengan " ayat kursi".

Demikainlah uraian tentang akronim Sontoloyo. Jadi mulai saat ini, mengapa takut dibilang sontoloyo, biasa aja bro, ini politik yang apapun bisa dibolak balik, kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa menjadi kawan, tergantung pada kepentingannya! Sontoloyo yang positif ini semoga menjadi pegangan para politkus dalam kampanye. Ayo didik rakyat menjadi lebih baik, dengan kata-kata yang baik dan bijak, dengan istilah-istilah yang membuat rakyat nyaman, aman dan bangga dengan pemimpinnya, bukan malah rakyat menjadi benci karena kata-kata pemimpinnya yang tidak mendidik dan tidak membawa keadaban.Demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun