Ada-ada saja yang membuat Indonesia penuh gonjang ganjing, sepertinya tidak ada hari tanpa berita, ada saja berita yang membuat heboh. Dan semakin banyak yang membuat heboh, semakin banyak penulisan berita yang dilakukan, faktanya satu, tapi setiap orang mempunyai sudut pandang masing-masing, begitu juga dengan media meanstream. Satu kejadiannya, tapi ribuan tulisan bisa beredar, tentu dengan sudut pandang dan misi masing-masing, maka gelombang sambung menyambung seperti tiada henti.
Dan selesai satu kejadian, ada lagi kejadian lain yang membuat heboh. Dan baru saja keheboan tersebut merebut perhatian kita semua, ketika " Ibu Indonesia " katanya sebuah puisi yang dibacakan oleh Sukmawati Sukarno Putri, menyentak hati ummat Islam, padahal Sukmawati juga orang Islam. Namun puisi itu telah menyengat ummat Islam, tujuannya mungkin sekedar baca puisi, tapi ketika membandingkan antara kearifan lokal dengan Islam, rasanya menjadi beda.
Repot memang kalau cadar dibandingkan dengan konde atau suara adzan dibandingkan dengan suara kidung ibu Indonesia, yang jelas bukan aple to aple, ga sebanding! Repotnya sudah tidak tahu syariat, tapi ngaku-ngaku, loh itukan seperti menampar air di dulang kepercik muka sendiri. Siapa yang tidak geregetan, agamanya dibandingkan atau dikecilkan sedemikian rupa lewat puisi, walau banyak yang membela puisi itu bukan SARA. Kalau bukan SARA apa namanya? Adzan itu panggilan shalat buat ummat Islam, itu panggilan agama. Â Okelah itu puisi, masa harus sampai mengecilkan cadar atau adzan.
Kearifan lokal sudah dengan sendirinya kita jaga bersama, sesama anak bangsa. Lalu mengapa harus dibentur-benturkan dengan Islam? Mengapa harus Islam? Apakah Islam begitu dibenci sehingga harus disakiti? Padahal Islam jelas-jelas rakhmatan lil alamin, rakhmat bagi seluruh alam. Yang repotnya orang Islam sendiri membenci Islam, kan aneh. Masa agamanya sendiri tak disukai, gara-gara ada orang Islam yang tingkah lakunya tidak Islami?
Namun lagi-lagi mengapa harus Islam yang dijadikan pembanding, kok bukan yang lainnya, atau memang karena sudah mendarah daging sehingga Islam memang harus dimusuhi, dicari kelemahan, dihina atau dihujat? Apa yang salah dari syariat Islam, kalau tak suka Islam, ya jangan mencaci Islam, itu saja sudah cukup. Dalam Islam tak ada paksaan untuk memasukinya, mau dimengerti atau tidak, Islam tetap akan bercahaya. Â
Ini sudah tak mengerti syariat Islam, eh Islamnya dijelek-jelekin, lah kan aneh, apa maunya? Gilirin diprotes, eh mewek (nangis).... Ya sudah, mau bilang apa? Ya sudah, sudah dimaafkan saja, walau yang lainnya mungkin masih geregetan. Ahok saja masih di penjara dan sekarang malahan bercerai dengan istrinya, kasihan juga Ahok, tapi sudahlah setiap orang punya suratan tangan masing-masing. Nah Sukmawati pun sudah dilaporkan ke Polisi, berlanjut atau tidak, ya kita lihat saja. Yang penting saling memaafkan, jangan dendam, apa lagi penuh dengan kebencian.
Tapi di luar itu semua, memang kita harus berhati-hati, siapapun kita, jangan sampai menyulut api yang tadinya padam, jangan bangunkan harimau yang sedang tidur. Ummat Islam itu beragam pemahaman agamanya, tidak sama dan tidak seragam. Tapi kalau sudah agamanya dihina, mereka akan bangkit bersama. Lihat 212...sampai saat ini gemanya terus ada, suka atau tidak, gerakan 212 itu akan terus melegenda, karena baru satu-satunya di dunia ada demontrasi kurang lebih  7 jutaan orang, tapi bergerak dalam kedamaian, ibarat kata sejumput rumput pun tak tercabut dari akarnya, luar biasa!
Mana ada kejadian itu dalam sejarah modern sekarang. Kisah 212 bahkan sudah di filmkan dan tinggal tunggu beredarnya, konon bulan Mei  2018 mendatang, insha Allah. Jadi kisah 212 akan menjadi sejarah sendiri bagi ummat Islam Indonesia, dan ummat Islam di dunia. Hal itu suka atau tidak, gara-gara Ahok, jadi harusnya ummat Islam berterima kasih pada Ahok, karena dengan adanya kasus Ahok ummat Islam seakan dijadikan satu atau ummat Islam bersatu kembali, yang tadinya seperti tercerai berai.
Nah hampir sama dengan kasus Ahok, kini Sukmawati pun demikian, ketika dilaporkan ke polisi, apakah akan dicabut laporan tersebut atau ditarik kembali oleh pelapor, karena Sukmawatinya sudah minta maaf atau tetap diproses ke pengadilan, ya kita tunggu saja berita selanjutnya. Tapi kalau diteruskan ke pengadilan, prosesnya akan panjang, makan waktu dan berbelit-belit, habislah energy bangsa ini akan hal-hal yang demikian, yang harusnya berpikir produktif, menjadi terbuang sia-sia, sayang bukan.
Okelah, mungkin karena ini tahun Politik dengan adanya Pilkada serentak dan akan ada Pilpres 2019 mendatang, sehingga suasana menjadi sedikit hangat, belum memanas, hanya hangat saja. Semoga saja tidak berkembang menjadi hal-hal yang berbau anarkis. Jadi jangan sampai hanya karena setitik puisi Ibu Indonesia, bangsa Indonesia terpecah belah lagi, ribut lagi, heboh lagi, kacau lagi, saling lapor lagi dan seterusnya, bener-benar kontra produktif.
Baik, tidak saya teruskan, nanti semakin panjang tulisan, malah semakin keluar dari jalur. Yang penting Sukmawati sudah minta maaf, kita maafkan saja. Jangan lupa, minta maafnya sudah sampai menangis, masa tidak dimaafkan. Sudahlah... mari kita kembali bekerja dan membuka lembaran baru yang lebih baik lagi.