Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tere Liye Harus Belajar pada Kompasianer

8 September 2017   15:36 Diperbarui: 9 September 2017   08:32 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini Novel karya tere Liye yang membuat pembaca kecele kalau hanya lihat judulnya. Sumber: adrasablog.com

Rupanya sedang musim unjuk kekuatan atau kemampuan dari para selebritis atau paling tidak "unjuk gigi" bagi orang- orang yang memang sedang " di atas angin" disebabkan karena memang sudah populer dan sedang menjadi orang-orang memang digandrungi karena kemampuannya "menyihir" para penontonnya, ini bagi tuan rumah atau pembawa acara talk show, seperti Najwa Shihab yang acara Mata Najwanya begitu fenomenal.

Namun sekarang ini Mata Najwa sudah tak bisa dinikmati atau ditonton lagi setiap malam Rabu, acara tersebut sudah ditutup, dengan mundurnya Najwa Shihab. Dan acara pamungkasnya pun sudah ditayangkan, tamat sudah acara Mata Najwa. Titik, bukan koma lagi.

Nah kini muncul lagi tokoh, kalau mau disebut tokoh, atau mungkin kalau disebut tokoh terlalu tinggi, sebut saja novelis yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis, dan memang diakui atau tidak novel- novelnya laris manis, bahkan sering Best Seller, luar biasa memang, patut diacungi dua jempol. 

Siapa sih orang yang hobbynya membaca, yang tak kenal Tere Liye, nama samaran untuk Darwis? Novelis yang sangat produktif ini, bukan hanya menghasilkan banyak novel, tapi novelnya laku di pasaran, sampai- sampai Saya sendiri seperti selalu ketinggalan membaca novel terbarunya.

Coba aja anda lihat atau Anda baca novelnya yang berjudul ' Rindu'.... Puluhan kali cetak ulang dan Saya baru membacanya setelah cetakan kesekian kalinya, Saya tidak pernah membeli pada pada cetakan pertama kali, ya maklum aja, mungkin saat novel Tere Liye dicetak pertama kali, Saya sedang tak berada di Indonesia, dua novel terakhir yang Saya beli dari karya Tere Liye adalah "Bidadari- Bidadari Surga" itu sudah cetakan ke XXVI ( dua puluh enam) kali per April 2017, dan novel Tere Liye yang berjudul " Pulang" Saya beli sudah pada cetakan ke XXIII ( dua puluh tiga) kali per November 2016. Benar- benar hebat.

Dan diantara sekian banyak novelnya, Saya paling suka yang berjudul ' Rindu'. Novel yang satu ini membuat kecele pembacanya, kalau hanya membaca judulnya saja, termasuk Saya. Bahkan Saya pada mulanya ragu ketika membeli novel ini, karena beranggapan ini novel anak muda yang sedang gandrung pada cinta- cintaan, cinta anak- anak ABG, anak baru gede.

Ternyata Saya keliru berat, ada sih kisah cintanya pada tokohnya, tapi itu hanya" bumbu penyedap" agar novel ini bisa dibaca semua kalangan. Ternyata novel Rindunya Tere Liye bicara tentang kerinduan yang hakiki seorang hambanya yang sholeh, yang rindu datang ke rumahnya nun jauh di Mekkah dan itu lebih membuat kerinduan yang membucah, karena setting tahun dalam novel tersebut adalah tahun sebelum kemerdekaan dan untuk bisa pergi ke rumahNya atau Baitullah, memakan waktu perjalanan berbulan-bulan dengan menggunakan kapal laut, waktu itu belum ada yang menggunakan kapal udara. Enak dibacanya di saat bulan haji seperti saat ini.

Sudah itu sang tokoh perginya bukan dari Jakarta atau Betawi, sebutan masa itu, tapi dari Makassar. Tere Liye pinter banget membuat novel Rindu itu menjadi panjang lebar, karena dengan demikian perjalanan tokohnya menjadi berliku-liku, dari pelabuhan Makassar, Surabaya, Semarang, Betawi, Palembang, Padang, Aceh, Kolombo dan seterusnya. Silahkan Anda baca sendiri novel tersebut, dan Saya juga sudah membuat resensinya di Kompasiana ini.

Tere Liye bukan hanya harus belajar pada Kompasioner tapi juga belajar dari novelnya yang satu ini. Sumber: seribupenasunata.bloger.com
Tere Liye bukan hanya harus belajar pada Kompasioner tapi juga belajar dari novelnya yang satu ini. Sumber: seribupenasunata.bloger.com
Kita kembali niat awal tulisan ini yaitu mundurnya orang-orang yang sudah terkenal, hebatnya mereka berniat mundur dan benar-benar mundur, bukan "gertak sambel" saja, mereka mundur pada saat mereka sedang berada dipuncak atau sedang terkenal- terkenalnya atau sedang populer-populernya, seperti mundurnya Najwa Shihab di acara Mata Najwa, bukan seperti Mario Teguh yang mundur atau dimundurkan, karena ada kasus yang menjeratnya, tragisnya kasus Mario Teguh itu terjadi di dalam keluarganya sendiri yang mencuat ke ruang publik. Gimana pemirsa respek padanya? Kata- kata bijaknya seperti mental dengan sendirinya, karena tidak sesuai dengan kehidupan nyata yang terjadi padanya.

Lalu gimana dengan Tere Liye? Nah ini agak berbeda proses mundurnya. Kalau Najwa Shihab mundur pada Mata Najwa, karena ingin ada jeda atau istirahat sejenak, entah sampai kapan? Kalau Tere Liye ingin mundur atau berhenti menulis novel karena alasan pajak. Pajak yang dikenakan pada penulis itu lebih tinggi dibandingkan pajak yang dikenakan pada profesi lainnya, seperti pajak pada Dokter, Advokat, Pemborong, Pengusaha dan lain sebagainya.

Dengan hitung- hitungan yang sudah disebarkan dan katanya juga sudah disampaikan ke berbagai pihak yang berkepentingan, seperti ke derektorat perpajakan atau ke lembaga-lembaga lainya berhubungan dengan pajak, konon tak digubris, karena perundang-undangan tentang pajak sudah turun, dan jika undang-undang pajak tersebut direvisi, membutuhkan waktu yang tak sebentar, maka singkat kata Tere Liye kecewa, dan "patah arang", tak mau menulis novel lagi, novel yang dicetak oleh para penerbit, seperti penerbit Republika, yang menjadi penerbit bagi novel-novelnya Tere Liye selama ini.

Jadi Anda tidak akan mendapatkan novel- novel Tere Liye di tahun depan, semua novelnya yang sudah dicetak sekarang ini dibiarkan habis sampai akhir tahun, setelah itu tak akan dicetak ulang lagi. Tragis... Sekali lagi tragis ....novelis yang karyanya sedang ditunggu-tunggu sidang pembaca, berniat berhenti untuk menulis novel yang dicetak, tapi tetap nulis di blog, seperti di FB. Sayang memang, penulis produktif mundur, hanya gara-gara pajak. Ada yang bilang Teri Liye cengen, tak segagah, setabah, sesabar dan seikhlas para tokoh yang telah ditulis di dalam novel-novelnya.

Ambil aja tokoh Laisa dalam novel Tere Liye yang berjudul " Bidadari- Bidadari Surga" yang begitu luar biasa bertahan pada kesabaran dan keikhlasannya, demi membesarkan dan membuat adik-adiknya sukses, padahal adik-adiknya itu bukan adik kandungnya sendiri, dan dengan wajah seadanya, boleh dibilang buruk rupa, hingga lelaki tak ada yang mau menikah dengannya, jika pun ada, berkali-kali gagal pada akhirnya, tapi Laisa tak memperdulikan itu semuanya, dan Laisa tetap berjuang, yang penting adik- adiknya pada sukses. Dan benar, adik- adiknya menjadi orang-orang sukses, ada yang menjadi Doktor, Master dan Ir, sementara Laisa tak menjadi apa-apa, hanya tetap menjadi petani dengan berkebun. Coba apa ora hebat tuh sang tokoh yang dicipta Tere Liye?

Lalu bagaimana dengan Tere Liye? Kalau Tere Liye benar-benar berhenti menulis hanya gara-gara pajak yang tinggi dikenakan pada penulis seperti dirinya, itupun setelah Tere Liye membuat perbandingan pada pajak yang dikenakan pada profesi lain, yang menurut hitungannya lebih kecil bayar pajaknya. Aduh... Kasihan amat kalau gitu, lagian ngapain sih ngitung- ngitung rezeki orang lain? Bukankah setiap orang memang sudah punya takeran rezeki masing-masing?

Kalau begitu cara menghitung Tere Liye, baik, mari kita bandingkan Tere Liye dengan para kompasianer yang sangat produktif, sehingg setiap hari bisa menulis dua, tiga atau lebih artikel yang ditulisnya, sampai - sampai pihak pengelola Kompasiana memberikan " hadiah" pujian, yang produktif, yang terpopuler, yang entahlah apa namanya, yang jelas bukan bayaran atau dibayar, jika pun dibayar karena ikut lomba menulis, itupun kalau menang.

Coba hitung berapa artikelnya sebulan? Taruhlah misalnya rata- rata tiga artikel dengan tiga halaman A4 dengan pont 12, terkumpul kurang lebih sebulan 90halaman, kalau setahun, 90 X 12= 1080 halaman, bukankah itu sudah tiga buku novel yang rata- rata halamannya kurang lebih 300 halaman, dan dapat dua novel yang cukup tebal, kurang lebih 500 halaman. Dan itu semuanya dilakukan dengan tanpa dibayar sepeser pun! Padahal sudah mengeluarkan tenaga, pikiran dan juga dana untuk membayar langganan intertenet, belum cukup sampai di situ, sudah tak dibayar, eh masih tetap dihina, dicacimaki, bahkan ada yang sampai disebut binatang, bodoh bahkan gila, kalau tulisannya dianggap buruk atau tak bermutu, menurut kacamata si pembaca, coba itu apa ga sakit hati? Sudah ga dibayar, eh masih mendapatkan hinaan, bukan pujian, apa lagi bayaran.

Loh gimana dengan Anda, Tere Liye? Sudah mendapat sanjungan, pujian dan popularitas dengan honor yang tidak kecil, walau sudah dipotong pajak yang tinggi, Tere Liye masih mendapatkan honor, royaliti dan sebagainya? Apanya yang kurang? Bukankah pada tokoh-tokoh yang Tere Liye ciptakan selalu mengajari tentang pentingnya kesabaran, keikhlasan dan menerima apa yang ada dan jangan membandingkannya dengan rezeki yang diterima orang lain. Kalaupun tidak mendapatkan semuanya, ya jangan dibuang semuanya.

Jadi pada hemat Saya, sebagai penggemar tulisan Anda, Tere Liye, janganlah berhenti menulis, maksud saya tulisan berupa novel yang dicetak, Saya tetap akan membeli bila novel tersebut memang perlu dan enak dibaca. Toh pembaca Anda tidak protes ketika membeli novel- novel Anda yang laris manis. Kompasianer aja sedang pada berusaha agar tulisannya dapat dibukukan, bagi kompasianer tulisannya dapat dibukukan saja sudah bersukur, apa lagi sampai terjual dan Best Seller, waduh... Bisa sujud sukurnya berkali- kali tuh.

Nah sedangkan Anda, Tere Liye.... Sudah lebih dari itu, Anda merem pun, ibaratnya, tulisan Anda dicari orang, lalu mengapa Anda berhenti menulis, hanya gara- gara pajak tinggi? Bukankah Anda harusnya bangga dapat menyumbangkan pajak yang lebih tinggi ketimbang profesi lainnya? Bukankah itu berarti Anda lebih banyak membantu Negara, karena Anda lebih tinggi bayar pajaknya? Itu menurut Saya, entah menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun