Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Salah pada Ahok dan Bu Risma?

12 Agustus 2016   09:12 Diperbarui: 12 Agustus 2016   09:27 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok dan Bu Risma keduanya menjadi dilema sekarang ini, tarik ulur Ahok, dan maju mundurnya Bu Risma di Surabaya menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Dengan beberapa alasan dan pertimbangan keduanya bisa berhadapan, kalau PDIP mencalonkan Bu Risma di Pilkada DKI  2017, bila benar pencalonan Bu Risma  terjadi, maka Ahok akan mendapat perlawanan yang kuat. Dan menjadi sama kuat ketika Ahok didukung oleh tiga partai, yakni Nasdem, Hanura dan Golkar plus teman Ahok, melawan tujuh partai, PDIP, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PKB dan PPP,  namun kalau hitung-hitungan angka, Ahok baru mendapat sekitar juta suara dari tujuh juta suara yang perebutkan dan Pilkada DKI tersebut.

Bandulnya sekarang ada di PDIP, dan PDIP tergantung pada Megawati, nah singkat kata, pertarungan dua kandidat cagub dalam Pilkada ada “dikantong” Megawati sekarang. Lalu dimana dilemanya?  Bila Ahok tidak dilawan dengan kekuatan seimbang, maka Ahok akan kembali menjadi gubernur DKI lagi untuk kedua kali, dengan demikian rakyat Jakarta akan tetap punya gubernur yang temperamental, emosional dan arogan, namun akan cepat maju sarana dan prasana yang ada di Jakarta, karena dikelolal oleh tangan yang sama, jadi tinggal melanjutkan program yang sudah ada. Biasanya kalau gubernurnya sama, program tersebut akan dilanjutkan, namun kalau gubernurnya beda, program yang sudah ada menjadi mandeg, itu kebiasaan yang kurang baik, gubernur atau pemimpin yang baru “males” melanjutkan program gubernur sebelumnya, sehingga seringkali pembangunan menjadi mangkrak bertahun-tahun, ingat tiang-tiang monorel yang akhirnya berjamuran, tidak dipakai di Jakarta. Itulah sisi buruknya pergantian pimpinan, sisi baiknya ada juga, penyegaran dan suasana baru dan program baru.

Namun bila Ahok terus yang menjadi gubernur, dan watak Ahok tidak berubah, Jakarta akan terus “berisik” atau gaduh oleh suara-suara sumbangnya Ahok, namun sekali lagi pembangunan di Jakarta akan berkelanjutan sesuai dengan programnya Ahok. Jadi Ahok tetap punya plus dan minusnya, itu manusiawi, Jadi Ahok tidak selamanya baik, ada buruknya juga. Sebaliknya Ahok tak selamanya buruk, banyak kebaikannya juga. Buktinya, dengan mulutnya yang tak bisa diam, bahkan ada yang bilang “ mulut ember” atau “ bacotnya” ga bisa disumpel, Ahok jalan terus, kerja terus, sampai-sampai ga mau cuti saat menjadi petahana pada Pilkada mendatang, sampai-sampai Ahok menggugat ke Mahakamah Konstitusi, coba itu disuruh cuti empat bulan ga mau, Ahok mau terus kerja, kerja dan kerja saat kampanye tersebut. Walau menurut UU pejabat petahana harus cuti, agar tidak memanfaatkan fasiltas negara saat kempanye, Ahok ga mau cuti.

Terlepas ada apa di balik ketidakmauannya cuti saat kampanye, Ahok termasuk pekerja keras dan berusaha membela rakyat yang dipimpinnya, tapi dilemanya itu tadi, kekurangannya di mulutnya, inilah yang dijadikan alasan oleh 7 partai untuk melawan Ahok, karena Ahok sebagai pemimpin kurang punya etika, kurang bisa menjaga diri dari kata-kata yang diucapkannya, seringkali musuhnya bertambah, bukan berkurang, karena gayanya itu. Itulah penyakit Ahok, makanya dilawan. Namun siapa lawan terkuatnya? Ini yang masih menjadi dilemma juga. Kalau soal banyaknya partai, Ahok cincailah, karena tahu kualitas partai dan tahu persis isi partai itu bagaimana, karena Ahok juga bekas orang partai, makanya Ahok bilang “ tidak takut dikeroyok tujuh partai, karena Ahok punya program.

Lalu siapa lawan Ahok? Bu Risma santer dibicarakan, walau lagi-lagi menunggu PDIP dengan  ibu ketuanya, Megawati. Risma maju juga dilema. Ikut pilkada DKI akan dituduh khianat pada rakyat Surabaya, karena sudah janji pada saat menang untuk kedua kali menjadi Wali Kota di Surabaya. Kalau alasan disebut khianat, sebenarnya bisa dibantah atau dipatahkan, contoh, bukankah Jokowi juga tidak menuntaskan saat menjadi gubernur DKI, toh tak ada yang teriak, “Jokowi khianat”, padahal janjinya saat  itu adalah 5 tahun menjadi gubernur DKI Jakarta, tapi baru 2 tahun ditinggalkan, karena terpilih menjadi Presiden RI. Jokowi dibiarkan meninggalkan Jakarta, karena menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Nah bukankah Bu Risma pun demikian adanya, kalau ikut Pilkada DKI Jakarta, dan misalnya menang, bukankah Bu Risma naik pangkat dan jabatannya, dari seorang Wali Kota menjadi seorang Gubernur, apanya yang salah?

Namun Bu Risma berkali-kali menolak bicara, apakah maju ke Pilkada DKI atau tetap di Surabaya. Bukankah diamnya Bu Risma sama dengan diamnya Jokowi saat Pilpres 2014 yang lalu, ketika ditanya waratawan, Jokowi selalu bilang “ ga mikir”, “ga mikir”, namun pada akhirnya, ketika waktunya tiba, Jokowi mendeklarasikan dirinya menjadi capres 2014 di rumah tokoh legenda Betawi, Si Pitung, di Marunda, Jakarta Utara. Mungkin juga Bu Risma didoktrin untuk diam, diam dan diam sebelum waktunya, sebelum benar-benar dicalonkan. Dan jangan lupa, Bu Risma bukan type tokoh yang mengejar jabatan atau kekuasaan, tapi jabatan dan kekuasaanlah yang mengejar Bu Risma. Bukankah ini sama dengan Jokowi? Bukankah Jokowi juga pejabat yang demikian, pejabat yang dikejar jabatan dan kekuasaan, bukan Jokowinya yang mengejar kekuasaan dan jabatan.

Lalu salahkan bila Bu Risma dicalonkan menjadi cagub dalam pilkada DKI mendatang? Walau ada yang mengatakan, bu Risma di dorong-dorong agar ke Jakarta, sehingga kursinya bisa dikuasai pihak-pihak yang sedang “ngiler” mengincar.  Sebenarnya Ahok dan bu Risma satu tipe, berani, tegas dan benar-benar membela rakyat yang dipimpinnya, lalu mengapa mengapa mereka harus dipertarungkan atau mengapa mereka harus “diadu-diadu”? Ini politik Bung, dan politik adalah seni merebut atau menguasai pemerintahan atau kekuasaan. Dan bila sebuah jabatan dikuasai, bagaimana cara mempertahankannya dan membuatnya selama mungkin, paling tidak bisa dua kali masa jabatan. SBY dua kali masa jabatan( 10 tahun), lihat juga Obama dua kali masa jabatan( 8 tahun), itu sebagai contoh, kalau kekuasaan tersebut tidak dibatasi UU, SBY saat itu akan maju lagi, begitu juga Obama. Nah bagaimana dengan Ahok, tentu saja Ahok akan berusaha sekuat tenaga, pikiran dan dana yang dimilikinya untuk bertahan pada kekuasaannya sekarang atau menjadi guebrnur untuk kedua kalinya, bahkan dengan terang-terangan pada acara Kick Andy, ngarep menjadi presiden RI. Salahkah Ahok mimpi demikian, tentu saja tidak. Karena tokoh lainpun ngarep menjadi presiden RI.

Maka wajarlah kalau Ahok tetap berusaha mempertahankan kekuasaannya sekarang ini, karena bila tidak, kesempatan Ahok menjadi Presiden RI atau minimal Wapres akan semakin jauh dari mimpinya, tapi bila tetap menjadi gubernur untuk kedua kalinya dan dinilai berhasil, maka Ahok akan maju pada jenjang atau jabatan yang lebih tinggi, salahkan Ahok? Tentu saja tidak, mengapa? Bukankah semua warganegara RI punya hak yang sama untuk menjadi Presiden? Atau punya hak yang sama untuk menjadi gubernur kedua kali. Begitu juga dengan Bu Risma bila menjadi cagub DKI Jakarta, apa yang salah? Bu Risma pun punya hak yang sama untuk maju di pilkada DKI Jakarta, sama haknya dengan Ahok yang mau tetap menjadi gubernur Jakarta, keduanya punya hak yang sama. Lalu mengapa pada ribut?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun