Benarkah kalau Risma ke Jakarta, Jakarta untung dan Surabaya 'buntung'? Ada-ada saja. Apa yang 'buntung' buat Surabaya dan apanya yang untung buat Jakarta? Biasa saja, memangnya Jakarta dan Surabaya hanya punya pemimpin satu orang saja yang bagus? Banyak tokoh di Jakarta dan Surabaya yang bagus-bagus, hanya mungkin tak diekspos media. Mengapa? Karena media pun punya kepentingan dan misi masing-masing, yang beda satu dengan yang lainnya.
Kata seorang pengamat (cari aja namanya di salah satu berita KOMPAS.com), Jakarta akan untung, karena mempunya kandidat yang dua-duanya baik, sementara Surabaya akan 'buntung' karena Bu Risma ke Jakarta untuk bertarung di Pilkada DKI 2017 mendatang. Pembaca atau rakyat banyak disalahkan oleh pengamat tersebut, karena pembaca atau rakyat menganggap Jakarta itu seperti Indonesia atau miniaturnya Indonesia.
Apanya yang salah? Kalau memang kenyataan demikian. Jakarta merupakan barometernya Indonesia. Bagusnya Jakarta mencerminkan bagusnya Indonesia, begitu juga sebaliknya, buruknya Jakarta mencerminkan buruknya Indonesia, walaupun Jakarta itu bukan Indonesia, tapi jangan lupa di Jakartalah seluruh kedutaan besar asing ada, dengan demikian para diplomat asing itu akan melihat Indonesia melalui “kacamata” Jakarta.
Nah makanya banyak sekali cagub pada Pilkada 2017 nanti, minimal 10 orang, bayangkan itu, mungkin hanya di Pilkada Jakartalah begitu banyak tokoh yang mencalonkan dirinya maju menjadi cagub. Anda bisa bayangkan, para mantan menteri pada “turun gunung” untuk maju di Pilkada Jakarta, seperti Yusril, Adiayaksa dan Roy Suryo. Dan baru-baru ini, mantan menteri di Era Jokowi-JK, juga digadang-gadang untuk maju di Pilkada, seperti Anis Baswedan atau Rizal Ramli.
Jakarta memang sedang diperebutkan. Sampai-sampai acara “Mata Najwa” pun memberikan judul tersebut: “ Merebut Jakarta” pada tanggal 3 Agustus 2016 lalu. Saya melihatnya via Youtube, bukan siaran langsung, karena kalau siaran langsung selain banyak gangguan alias putus-putus, juga termakan iklan, jadi rasanya tak nyaman nontonnya.
Jakarta memang harus direbut, kalau tidak mana dapat? Direbut saja belum tentu dapat, apalagi lenggang kangkung, ya tentu saja Jakarta akan jauh dan tak terjangkau. Direbut dalam artian dikuasai atau ditaklukan. Makanya banyak sekali yang bangga dapat menaklukan Jakarta. Bagi para migran, menaklukan Jakarta itu berarti sukses hidup di Jakarta atau dapat berkarya di Jakarta. Nah bagi para tokoh politik, dapat menaklukan Jakarta adalah menjadi Gubernurnya, anggota DPRDnya atau lembaga-lembaga lain yang ada di Jakarta.
Jadi normal lah kalau Jakarta diperebutkan oleh para tokoh politik dan oleh partai politik, karena dengan menaklukan Jakarta, Indonesia ibaratnya sudah bisa “digenggam” atau dalam kepalan tangan. Maka jangan heran pula Jakarta ibarat gadis perawan yang diincar atau mau dilamar para jejaka dari berbagai daerah, apanya yang salah? Dan banyak juga yang mengatakan, Jakarta bisa dijadikan “bantu loncatan” untuk mencapai jenjang jabatan yang lebih tinggi lagi. Dan itu bukan omong kosong, Jokowi telah membuktikannya, dari Wali Kota Solo, hijrah ke Jakarta menjadi gubernur dan akhirnya terpilih menjadi Presiden ke-7 Republik Indonesia.
Jadi jangan salahkan para tokoh politik yang punya ambisi untuk menjadi gubernur di Jakarta. Kalau Ahok saja bisa, dan itu jauh menyeberang pulau, dari Belitung Timur menjadi anggota DPR kemudian menjadi gubernur Jakarta, lalu mengapa Bu Risma datang ke Jakarta, banyak yang usil? Di mana salahnya? Apa yang salah kalau Bu Risma maju pada pilkada DKI Jakarta 2017?
Kalau alasannya Bu Risma sedang menjadi Wali Kota Surabaya, maka jangan ke Jakarta, mestinya dulupun Ahok tak boleh ke Jakarta, karena masih menjadi Bupati di Belitung Timur. Lalu mengapa memakai standar ganda? Bu Risma tak boleh ke Jakarta, Ahok boleh ke Jakarta, ada apa ini? Kalau Bu Risma dibutuhkan di Surabaya, lalu apakah Ahok tak dibutuhkan di Belitung Timur? Kok Ahok bisa langsung ke Jakarta, tanpa ada yang ribut-ribut, sementara giliran Bu Risma, seperti banyak yang “kebakaran jenggot”, ada apa ini?
Biarkan Jakarta mendapat gubernur yang terbaik, biarkan Jakarta menjadi barometer atau miniaturnya Indonesia, dan biarkan Bu Risma ke Jakarta, dan Surabaya mencari penggantinya, apa yang salah? Ahok sebenarnya bisa lebih dipercaya oleh rakyat Jakarta, kalau tidak arogan, tidak sombong dan tidak mudah mencak-mencak atau mampu menahan emosinya, serta tak mudah mencari musuh dan merasa paling benar sendiri. Ahok sedang menuai badai dari arogansinya. Dan Jakarta terlihat tak membutuhkan pemimpin yang arogan, yang sombong, yang mudah memecat bawahan dan mencaci maki bawahan di depan umum.
Kalau Ahok bisa mengubah dirinya, bisa jadi rakyat Jakarta tak segan-segan memilihnya kembali. Namun bila tidak bisa merubah sifatnya yang buruk tersebut, ya Bu Risma menjadi pilihan alternatif yang utama dan pertama. Mari kita lihat siapa yang akan dipilih oleh rakyat Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang, Ahok atau Bu Risma? Atau justru ada nama-nama baru yang tak terdengar? Tapi rasanya sulit bila ada tokoh yang tak dikenal tiba-tiba muncul dalam Pilkada DKI Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H