Enam tahun, bukan waktu sebentar untuk tetap bertahan, namun 6 tahun sudah berlalu tapi masih tetap ada untuk berbagi. Sumber: memamker.net
Â
Tak terasa sudah enam tahun saya menjadi kompasioner, tepatnya tanggal 7 Febuari 2010 saya gabung di kompasiana, dan tanggal 7 Februari 2016 yang lalu tepatnya. Banyak suka dan dukanya menjadi kompasioner, sama dengan kehidupan nyata, ada senang ada susahnya, ada tawa dan sedihnya, ada sukur dan sabarnya, ada ceria dan dukanya, ada senyum, tapi tak sampai tangisnya.
Mungkin sama dengan teman-teman sesama kompasioner lainnya, ada sesuatu yang menarik untuk tetap bertahan di kompasiana, padahal jelas- jelas tak dibayar, bahkan kalau hitungannya materi menulis di kompasiana itu tekor, karena selain tak dibayar, juga harus membayar langganan internet, langganan telpon dan mengeluarkan dana lainnya, seperti pulsa, listrik dan lain sebagainya.
Belum lagi tenaga, pikiran dan waktu, ini juga perlu dikorbankan, bila tidak ya tak menghasilkan tulisan, sudah begitu ketika akan ditayangkan perlu diedit lagi, dan ketika mengedit tentu makan waktu, tenaga dan pikiran pula, karena harus dibuat kata atau kalimat yang menarik, agar enak untuk dibaca, sudah itu mencari judul yang juga tak kalah repotnya, karena tanpa judul yang menarik, tulisan yang sudah ditayangkanpun akan menjadi angin lalu, terasa kejam menulis di kompasiana.
Mengapa? Ya itu tadi, sudah capek- capek menulis eh bukan honor yang diterima, tapi bisa sumpah serapah, hinaan, caci maki dan lain sebagainya. Coba itu, sudah tak dapat honor, tapi masih dapat hinaan pula, sudah berusaha terbaik, masih juga dapat hinaan, tapi herannya tetap saja para kompasioner itu menulis, aneh bukan? Lalu bagimana jawabannya.
Ah rupanya para kompasioner bukan orang-orang yang butuh honor, dan honor bukan satu-satunya orang menjadi bahagia, karena tanpa honorpun kompasioner tetap saja menulis, menulis dan menulis. Apakah para kompasioner orang yang tak butuh honor atau tak butuh materi lagi? Ya tidak juga. Lagipula berapa mau dibayar oleh pihak kompasiana untuk setiap tulisan yang ditayangkan? Tarulah misalnya setiap tulisan yang ditayangkan, tanpa membedakan berkualitas atau tidak, berbobot atau tidak, seperti tulisan ini misalnya, yang tak ada bobotnya, diberikan Rp.100.000, misalnya, ini misialnya loh, dikalikan 1000 artikel setiap harinya, maka akan keluar dana Rp.100.000 X 1000 = Rp. 100.000.000, seratus juta rupiah bung! Ini kompasiana Bung, dari mana duit sebanyak itu Bung? Dari iklan? Akh.... iklan yang mana yang mau membayar segitu setiap harinya, bisa bangkrut itu perusahaan, iyakan?
Tarulah dikurangi yang nulis atau jumlah artikelnya 500 artikel, tapi itupun masih tetap besar, Rp 50.000.000 lima puluh juta rupiah, dikalikan sebulan,  menjadi Rp. 50.000.000 X 30 =Rp 1.500.000.000 tak kurang dari satu milyar lima ratus juta, sebuah pengeluaran yang tidak kecil Bung, dari mana itu uang di dapat? Dari iklan. ini juga tak cukup.  Loh buat bayar keryawannya berapa?  Wah benar-benar merepotkan ngurusin honor kompasioner, maka buat apa repot mikirin honor kompasioner, loh tak dibayar saja, tulisan kompasioner datang seperti air bah, tak henti-hentinya, bahkan ada yang seperti  lupa diri, bila tak nulis di kompasiana seperti orang mabuk, pusing tujuh keliling. Begitu bernafsunya menulis, semua kolom dibabat habis.Â
Di HL ada di dia, di pilihan ada di dia, di terpoler dia juga, dan lain sebagainya. Mungkin balas dendam, tulisannya tak masuk di koran, padahal ingin sekali tulisannya masuk di koran nasional, tapi gagal total. Nah yang begini ini, kelihatannya sekali balas dendamnya, he he he. Kalau yang sekedar menulis di kompasiana, ya biasa saja, tak ada yang dkejar, menulis ya menulis saja, tak ada balas dendam, tak ada merasa ingin lebih dari yang lain, tak merasa paling hebat sendiri, bahkan tak merasa kalau sedang menulis di kompasiana, ya biasa saja, seperti menulis di buku harian.
Namun begitulah kompasiana, ada yang saling "gontok-gontokan" gara-gara tulisannya katanya dibajak sesama kompasiana, masing-masing mengklaim bahwa tulisan dibajak oleh kompasiana A, dan kompasiana A balik nuding bahwa kompasiana B lah yang membajak tulisannnya, dan si A pun membalas bahwa si B lah yang membajak tulisannya, dengan mengeluarkan argumentasi masing-masing dan membawa bukti masing-masing linknya, he he he, saya senyam senyum membacanya, seperti anak-anak rebutan permen, karena permennya diambil oleh teman sepermainannya, ya teman juga, tapi tak terima permennya diambil, tanpa izin, padahal mudah cara membuktikannya, lihat saja jam dan tanggal serta tahun tayangan postingan tersebut, siapa yang lebih dahulu, itulah yang aslinya, bukan begitu kawan? Lagipula buat apa ribut-ribut, sesama kompasiana bukankah lebih baik damai. Sudah honor tak dapat, eh malah tambah musuh, bahkan ada membawa-bawa sampai ke akherat, ya ampun... "pepesan kosong" kok diributkan?
Tapi itulah kompasiana, ini kompasiana Bung! Harga diri perlu dipertahankan, walau hanya sealinea artikel, kalau bukan haknya, ya harus diakui dong, ini belajar menghargai karya orang lain, walau tak dibayar! Kalau mengutip, ya katakan mengutip, kalau menyadur ya katakan menyadur, kalau memang pendapat orang, ya katakan itu memang pendapat orang lain, segitu aja repot, belajar jujur aja kok sulit amat? Katanya belajar terbuka, transparant. Kalau hanya kata-kata saja tak jujur, bagaimana kalau soal dana, dipercaya menjadi bendahara, politikus atau pejabat negara, bisa-bisa korupsi. Ayolah berdamai, sesama kompasiana jangan saling menghakimi, apa sih yang mau diributkan?Â
Kompasiana ini memang seperti di pasar, pedagang, pembeli, copet, penjabret dan lain sebagainya ada di sana. Pedagang dan pembeli yang jujur juga ada di sana, namun pedagang dan pembeli yang nipu juga tak kurang-kurangnya, apa lagi copet dan penjambret, ya ada juga, siapa? Ya itu tadi karya orang diambil, dan diakui menjadi karya sendiri, tanpa merasa malu, bukankah itu copet namanya? Tapi itu kasar, kalau bahasa halusnya plagiat. Masalah bukan halus atau kasarnya, yang penting usahakan nulis karya sendiri betapapun buruknya, biar buruk tapi karya sendiri, ketimbang berkualitas tapi mengambil karya orang dan diakui sendiri, mukanya mau ditaruh di mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H