Polisi yang mempertaruhkan nyawanya buat kita, rakyat Indonesia, sedang baku tembak dengan teroris pada tanggal 14 Januari 2016 lalu. Sumber: youtube.com
Masih tentang ISIS yang sepak terjangnya telah membuat para pengamat “menyangksikan” apa iya? Karena pola yang digunakannya tidak seperti biasa para teroris lainnya. Sasaran teroris biasanya mentargetkan jumlah yang banyak, gaungnya tentu diharapkan ke seluruh penjuru dunia, karena memang tujuannya agar orang ketakutan dengan terror tersebut. Namun ketika pada tanggal 14 Januari 2016 yang lalu terlihat agak beda, dan secara gamblang sudah dibahas panjang lebar di acara ILC yang memakan waktu tak kurang dari 3 jam diskusi, itupun masih terasa kurang, dan memang terasa tak cukup waktu membahas ISIS ini, berapapun waktu yang digunakan.
Tapi mari kita tinggalkan ISIS dengan segala pernak perniknya, saya mau membahas yang lawannya ISIS, yaitu Polisi, yang dalam hal ini diwakili oleh Polda DKI Jakarta, yang telah bertindah cepat, tepat, tegas dan sukses, hanya dalam hitungan menit dapat menghancurkan teroris, luar biasa. Padahal resikonya adalah maut, kematian atau lebih tepat ditembak teroris atau dilemparkan granat ke arah polisi, yang akibatnya bisa hancur, tubuh berserakan. Walaupun bukan bom yang berskala tinggi, tapi yang digunakan teroris tanggal 14 Januari 2016 lalu, jelas-jelas mematikan, dan faktanya memang banyak yang mati, walau dalam hiitungan di bawah sepuluh jari tangan, tapi target atau sasaran teroris itu jelas, polisi. Dengan demikian baku tembak itu terlihat sekali antara polisi dan teroris.
Ini perlu dicungkan jempol buat polisi dan seluruh jajarannya, mengapa? Karena selama ini kan polisi selalu dicibirkan, bahkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa polisi yang lurus, jujur atau berani hanya tiga, yaitu polisi Hugeng, mantan Kapolri, polisi tidur dan patung polisi. Begitu teganya yang membuat semacam anekdot itu, tapi itulah yang menjadi semacam pelecehan buat polisi, karena kebanyakan polisi, apa lagi polisi yang langsung bersinggungan dengan rakyat di lapangan seringkali, ini seharusnya pakai data, tapi hampir semua orang tahu, misalnya, polisinya “pak ogah” ini biasanya terdapat di perempatan jalan, dimana seringkali pengandara menerobos lampu merah, yang seharusnya berhenti, tapi karena sepi, tak terlihat polisi lalu dengan cuek, bablas, tapi tiba-tiba ada polisi di depan sana, dan prit! Maka terjadilah transaksi, mau damai dengan lima puluh, seratus ribu rupiah atau di denda, tilang dan diadili. Itu hanya salah satu contoh, dan banyak contoh lainnya.
Namun yang tetap harus diingat adalah, tidak semua polisi demikian, banyak yang punya niat baik, berintegritas tinggi dan benar-benar mengabdi untuk bangsa dan Negara dengan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat walau taruhannya nyawa, dan istri menjafi janda, anak menjadi yatim, karena ditinggal mati.
Polisi memang sering kali dianggap angin lalu, jika situasi aman, tentram dan terkendali, yang sebenarnya itu hasil kerjanya seluruh jajaran polisi dari tingkat tertinggi, Kapolri sampai para petugas di lapangan, yang menjadi sasaran tembak para teroris, seperti yang terjadi baru lalu. Sekali lagi taruhannya bukan main-main, nyawa! Makanya dalam prosedur atau semacam protap, prosedur tetap, polisi bila sedang operasi demikian, harus menggunakan pelindung badan, jaket anti peluru atau pelindung kepala, karena dua sasaran tersebut akan mematikan, di tembak langsung ke kepala atau langsung ke dada, bisa langsung “out”. Nah terlihat dalam gambar atau video, dimana banyak polisi ketika operasi melawan teroris yang lalu, tidak menggunakan pelindung tersebut, makanya dalam berita ada polisi yang dimarahi istrinya, gara-gara tak memamakai pelindung tersebut, lihat kompas.com.
Ya wajar, istri yang manasih yang tak sayang suaminya, yang membiarkan dirinya mau ditinggal oleh suami karena tertembak mati. Partarungan hidup dan mati itu benar-benar terlihat dalam baku tembak tersebut, sehingga teroris tersebut tak ada yang terisa hidup, 5 orang teroris mati tanpa sisa, walau polisi diharapkan bisa membiarkan hidup satu diantara mereka, agar bisa dikorek, siapa dalang dari semua itu. Tapi hal idial yang diharapkan itu tak terjadi, mengapa? Karena taruhannya hanya dua, polisi yang ditembak mati, atau terorisnya yang ditembak mati, hanya itu. Benar-benar duel maut yang tak dapat dielakan.
Hal inipun masih disanksikan oleh sebagian orang, mengapa? Ya karena pengalaman masa lalu, di jaman Orba, dimana sering terjadi rekayasa yang dilakukan , agar ada pembenaran untuk menangkap orang atau menyerang dan membubarkan sebuah kelompok atau ormas yang dianggap bertentangan dengan pemerintah, itu masa lalu, namun masih meninggalkan bekas rupanya. Nah sekarang hal itu tak bisa terjadi lagi, rakyat sudah cerdas, mana rekayasa dan mana yang riil terjadi akan dapat dibedakan dan dianalisa secara cermat, karena media yang tersedia begitu transfaran dan terbuka lebar-lebar oleh siapapun dan dimanapun, terutama di media social. Tidak seperti pada masa lalu, dimana setiap operasi begitu tertutup, sehingga rakyat tak tahu apa yang terjadi, dan hasilnya rakyat mudah dibohongi dengan berbagai macam rekayasa, sehingga walaupun menimbulkan kematian, rakyat hanya dapat manggut-manggut, padahal itu hasil rekayasa, sekali lagi itu masa lalu. Yang terjadi “kemarin” itu beda, dan sekali lagi jempol buat polisi.
Polisi yang bertindak cepat, sehingga korban tidak terlalu banyak, telah membuat masyarakat Indonesia ikut bangga dengan polisi, ini baru polisiku, ini polisi kita, ini baru polisi Indonesia. Ayo terus bergerak mengamankan bangsa dan Negara ini dari rongrongan para teroris, karena teroris tak beragama, tak mengenal agama, apapun akan dihancurkan dan dibuat ketakutan. Dan dengan jawaban ” kami tak takut” sudah benar adanya. Polisi harus didukung, jika perlu dinaikan gajinya dua atau tiga kali lipat dari sekarang, ini agar membantu kesejehtraan polisi, karena anggota polisi manusia juga, yang perlu kesejahteraan hidup untuk anak istri dirumah. Jangan lupa kerjaan polisi, apa lagi polisi menjadi sasaran utama bagi teroris, yang akibatnya atau resikonya adalah kematian.
Untuk itu para polisi yang “kemarin” telah berjibaku atau baku tembak dengan teroris diberikan penghargaan oleh pemerintah, atau dinaikan pangkatnya. Jangan dilihat korbannya yang sedikit atau teroris yang tertembak hanya 5 orang, tapi efek gaungnya membuat rasa aman bagi seluruh masyarakat, inilah hasil kerja polisi yang sesungguhnya, rasa man, tentram dan tak menimbulkan rasa takut bagi rakyat.
Sekarang memang bukan jamannya lagi rakyat ditakut-takuti oleh aparat keamanan, polisi itu sahabat rakyat, bukan hantu bagi rakyat. Polisi yang ramah, senyum dan tak menakutkan adalah sosok yang diidamkan rakyat banyak. Semoga setelah kejadian kemarin itu, polisi semakin baik sepak terjangnya dan semakin membanggakan bagi seluruh masyarakat di Indonesia, bravo polisi, jempol buat polisi.