Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kompasianer dari Mata-Mata sampai Orang"Gila"

15 Mei 2015   09:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_365936" align="aligncenter" width="512" caption="Muslimah Rusia yang berjilbab. Pembawa acara pada saat peragaan busana Muslim di Moskow.. Foto: Syaripudin Zuhri"][/caption]

Ada yang menarik untuk diamati mengenai tulisan di ruang ini, khususnya identitas diri atau akun. Setelah sekian lama bergabung, jarang saya melihat ada wartawan “beneren” yang ada dikompasiana. Maksudnya wartawan beneren dalam tulisan ini adalah seseorang yang memang benar-benar wartawan atau yang sering disebut “kulitinta” yang memang bekerja sebagai wartawan di salah satu media, baik media nasional atau daerah.

Dengan batasan tersebut coba diperhatikan, dalam akun resmi atau akun “bodong” atau akun yang tak jelas siapa penulisnya. Akun bodong inibisa berganti kapan saja, semaunya, ya semaunya yang membuat, karena memang tak ada batasan untuk menjadi kompasioner, semua akun, apapun namanya, apapun bentuknya diterima.

Namun sebagaimana hukum alam, pandai beradaptasi dia yang akan tetap hidup, atau siapa yang mampu bertahan, dia akan tetap eksis. Nah rupanya di kompasiana ini juga berlaku hukum tersebut, siapa yang tak kuat dengan ‘gempuran” dari pihak lain, maka akan pamit mundur, dan siapa yang tak sejalan dengan hukum rata-rata, hukum keseimbanga atauyang di tengah, tidak terlalu ke kiri atau tidak terlalu ke kanan, maka akan tetap berada di kompasiana.

Jadi isme “kiri” dan isme “kanan”, tidak di terima di kompasiana, yang isme “kiri” akan diserang habis oleh yang “kanan”, begitu yang terlalu ke “kanan” akan diserang habis oleh yang “kiri”. Unik memang para kompasioner ini, jumlah secara statitis mungkin terus bertambah, tapi yang memposting sesuai dengan jumlah akun yang ada, rasanya perlu dipertanyakan, karena orang-orang yang dulunya aktif, sekarang hilang dari “peredaran” di kompasiana, maka muncul wajah-wajah baru, yang juga tak bertahan lama.

Lalu siapa kompasioner yang tetap bertahan, inilah ciri-cirinya.

Pertama,  mata-mata, orang ini ada di kompasiana hanya untuk memata-matai kompasioner, kalau ada kompasioner yang tak sejalan dengan pemikirannya atau tak sepaham dengan isme yang dianut, maka kompasioner ini akan datang mengahadang, menerjang dan membantai, dengan kata-kata yang mungkin tak pantas didengar aatu dibaca.

Nah yang tak paham orang ini, bisa jadi akan “kapok” menulis di kompasiana, karena merasa dipermalukan atau tak kuat menahan gempuran sang “mata-mata”, karena bisa aja sang mata-mata, dengan akun yang jelas atau akun yang bodong, sama-sama akan “menebas” dengan kata-katanya, sekali lagi bagi yang dianggap tak sepaham dengan isme yang dianutnya.

Kedua, bukan wartawan beneren atau penulis sungguhan, karena wartawan beneren tak akan mau menulis sekian banyak dengan sekian ratus, sekian ribu artikel tanpa dibayar. Ini jelas dalam hukum ekonomi, Begitu juga penulis beneran yang sudah menulis buku atau novel, apa lagi buku dan novelnya bestseller, jelas tak akan mau menulis gratisan di kompasiana ini, lebih baik membuat buku atau novel yang jelas hasilnya dapat royaliti yang terus, tentu sesuai dengan kontrak awal yang dibuatnya.

Jadi kalau waratawan beneran atau penulis sungguhan, menulis tiap hari di kompasiana, tentu akan rugi, ya rugi segalanya, rugi waktu, tenaga, pikiran dan dana. Karena kalau menulis di media yang suadh mapan, diberikan honor yang tidak kecil, apa lagi di media naasional. Bandingkan dengan menulis di kompasiana, sudah mengeluarkan tenaga, peikiran dan dana, lalu bila tulisannya dianggap tak bermutu, akan dibantai habis oleh pihak lain. Kata orang "sakitnya di sini"

Ketiga,  orang iseng, ini ciri yang rada unik, orang iseng ini tetap bertahan di kompasiana dengan tulisan-tulisannya yang tak rutin setiap hari, tapi tetap menulis di kompasian, tidak hilang dan tidak tenggelam alias kabur dari kompasiana. Orang iseng ini tetap menjadi kompasioner , yang ibarat jalanan naik turun, kalau lagi mood tulisannya banyak, kalau lagi males, dia tak akan menulis satu artikelpun.

Keempat, semacam “tukang kritik”, ini juga kompasioner, tapi uniknya bukan menulis yang dikerjakannya, tapi hanya memberi komentar demi komentar, bahkan ada para komentator ini yang dilihat di akunnya tak ada satupun tulisannnya, tapi komennya banyak. Boleh dibilang baru berani komentar, belum berani menulis artikel.

Yang membuat repot barisan komentator ini adalah yang punya akun bodong dan bisa berkali-kali ganti akun, dan tetap bodong, tak berani membuat akun yang jelas, alasannya bisa macam-macam, karena dengan akun bodong yang dimilikinya, dia bebas menyerang siapapun, tapi takut diketahui identitasnya, boleh dibilang semacam “pengecut”, yang setelah melemparkan batu , dan kepala orang lain seudah benjol atau sampai berdarah-darah, lalu disembunyikan tangannya atau memaki-maki pihak lain dengan bersembunyi di balik “topengnya”. Uniknya lagi akun bodong ini tetap bertahan di kompasiana.

Kelima, orang “gila”, ini yang paling bertahan di kompasiana ini, ciri kedua ini adalah orang-orang yang tak lagi peduli dengan tulisan yang ditayangkannya, mau dibaca atau tidak, mau mendapatkoment atau tidak, yang membaca hanya dalam hitungan jari atau lebih dari ribuan jari, tak ada urusan. Bagi yang punya hobby “gila” menulis di kompasiana ini akan terus saja menulis dan menulis, ini benar-benar “gila”.

Ciri kedua ini kalau boleh dibilang semacam “manik kompasiana” tulisannya dalam satu hari bisa dua tiga tulisan sekaligus, tanpa kwatir itu tulisan dibaca orang atau tidak, yang penting menulis dan menulis, padahal tahu benar bahwa begitu banyak tulisan yang ditayangkan, dia tak dibayar dan tak mendapat apa-apa, kecuali kebahagiaan yang dirasakannya sendiri.

Begitulah lima ciri para kompasiana yang tetap bertahan di tengah gelombang arus informasi yang tak bisa dibendung oleh siapapun. Dan anda bisa menambahkan sendiri ciri kompasioner yang tetap bertahan, padahal mereka tak digaji alias tak dibayar. Padahal mereka akan menanggung resiko sendirian, kalau tulisannya dipidanakan oleh orang atau lembaga yang namanya mungkin merasa dicemari. Atau istilah kerennya “pembunuhan carakter!” Bagi kompasioner yang punya ciri kelima akan berkata" Siapa takut?"

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun