Istilah fakta social akan berbeda perspektifnya antar para Sosiolog atau ilmu-ilmu social lainnya. Karena perkembangan ilmu tidak kumulatif. Jika terdapat persepsi para ilmuan yang berbeda terhadap suatu realitas, maka pemahaman para ilmuan tentang realitas itu juga akan sangat beragam. Jadi, kita pasti menemukan penafsiran fenomena social dari para ilmuan yang berbeda-beda dari satu entitas ilmu pengetahuan.
Terdapat tiga faktor penyebab adanya perbedaan paradigma, antara lain;Â
(1) adanya perbedaan  pandangan filsafat (empirisme, materialism, biopiorisme, idealisme) yang mendasari pemikiran,
(2)Â munculnya konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda tersebut menyebabkan para ilmuan membangun dan mengembangkan teori yang bebeda-beda pula,
(3)Â dipengaruhi oleh metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan subtansi dari ilmu yang berbeda antar komunitas ilmuan yang lain.
Dengan adanya relasi perbedaan paradigma, keragaman konseptual dan teori yang dihasilkan ini menandakan adanya dinamika atau biasa disebut dialektika ilmu pengetahuan. Sama seperti menurut Albert Einstein bahwa ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang paling berguna yang dimiliki manusia, maka dari itu, ilmu pengetahuan harus selalu berkembang seiring dengan berjalannya peradaban manusia, tidak bisa ilmu pengetahuan bersifat stagnan atau statis (tidak berkembang sementara kebutuhan kehidupan manusia terus berkembang), oleh karena itulah, ilmu pengetahuan wajib berkembang.
Dalam keilmuan Sosiologi, terjadi dialektika ilmu pengetahuan berarti perbedaan paradigma tersebut terjadi pada objek kajian atau subjekmeter of Sosiology. Dengan ini, Ritzer meniai Sosiologi sebagai ilmu yang mempunyai beberapa paradigma, disetiap paradigma memiliki objek kajian,teori, metode analisa yang berbeda, walaupun masih terdapat banyak perdebatan penggolongan paradigma pada Sosiologi. Secara garis besar, George Ritzer menyatakan bahwa terdapat tiga paradigma yang mendominasi keilmuan Sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.
Pertama, Paradigma fakta social sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang dirintis sebagai anti tesis dari tesis Auguste Comte dan Herbert Spencer, mereka berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam Sosiologi. Kemudian pendapat tersebut disanggah dengan tegas oleh Durkheim, karena menurutnya dunia ide bukanlah objek research dalam Sosiologi, sebab dunia ide itu hanya sebuah konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Jadi, menurut Durkheim, pendapat Comte dan Harbert tersebut justru menjerumuskan Sosiologi pada bidang Filsafat dan bagi Durkheim, Sosiologi adalah suatu ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang Filsafat. Dengan demikian, berdasarkan dari kritik Durkheim tersebut terbangunlah konsep fakta social sebagai dinding pemisah antara objek kajian Sosiologi dengan Filsafat.
Durkheim meng-klaim bahwa fakta social adalah sesuatu yang nyata dan bukanlah ide, karena fakta social tidak dapat dipahami melalui kegiatan yang spekulatif atau melalui pemikiran manusia, justru fakta social dipahami dengan kegiatan penyusunan data yang nyata yang dilakukan diluar pemikiran manusia. Paradigma fakta social terdiri dari struktur social dan institusi social, seperti norma, adat istiadat dan semua peraturan yang bersifat memaksa di luar kehendak manusia. Durkheim kemudian membagi ranah fakta social menjadi dua bentuk, yaitu :
- fakta social material ialah sesuatu yang ada di dunia nyata dan bukanlah imajinatif, seperti hukum perundang-undangan, peraturan, dsb.
- fakta social non-material yang dapat diartikan sebagai suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung pada diri manusia itu sendiri atas fakta social material nya dan hanya muncul pada kesadaran manusia, seperti moralitas, kesadaran, egoism, atruisme dan opini
Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial tergabung dalam paradigma teori fungsional structural structural, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Namun teori yang dominan digunakan oleh para penganut fakta social adalah teori fungsional structural.
- Berdasarkan teori fungsional structural, masyarakat ialah kesatuan yang di dalamnya memiliki fungsinya masing-masing dan menyatu dalam keseimbangan, jadi bukan pikirannya melainkan fungsinya, maka teori ini lebih mengedepankan social order/ keteraturan sosial dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak dalam kondisi yang statis dan seimbang. George Ritzer menelaah konsep-konsep utama menurut teori fungsional structural ini berkaitan dengan fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Dan tokoh-tokoh ilmuan yang mendukung teori fungsional structural, antara lain Durkheim, Harbert Parson, R. Merton, dll. Adapun kelemahan dari teori ini yaitu bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan social, karena lebih menekankan pada kemapanan struktur social yang sudah formal. Kelemahan lainnya yaitu fungsional structural lebih menekankan pada status quo dan tidak terbuka terhadap hal lain.
- Selain teori fungsional structural, yang juga digunakan pada paradigma fakta social ialah teori konflik. Teori konflik lahir sebagai kritik atas adanya teori fungsional structural, yang salah satunya dikembangkan oleh Karl Marx. Menurut teori ini, masyarakat berada di ketidakseimbangan yang ditandai dengan pertentangan/ konflik. Konsep utama dalam teori konflik yaitu adanya dominasi, paksaan dan kekuasaan. Kelemahan dalam teori ini yaitu menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan perubahan melalui konflik.
Kedua, Paradigma Definisi Sosial dilandasi oleh pemikiran dari Max Weber mengenai tindakan social. Jika pada paradigma sebelumnya, Durkheim memisahkan antara struktur social dengan institusi social sebagai fenomena yang terjadi di masyarakat, sebaliknya, Weber menganggap antara struktur social dan institusi social sebagai satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti dan makna. Tindakan social ini merupakan tindakan individu yang mempunyai makna bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain, namun jika tindakan individu diarahkan kepada benda mati, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai tindakan sosial.
Menurut weber, perkembangan dari tindakan manusia harus mencakup kontribusi dari struktur sosial yang ada pada diri individu, karena tindakan manusia merupakan bagian utama dalam kehidupan sosial. Dan bagi Weber, Sosiologi ialah suatu ilmu yang menafsirkan tindakan sosial, maka dari itu, Sosiologi juga disebut interpretative. Teori-teori pendukung dari paradigm definisi sosial, antara lain: teori aksi, teori interaksi simbolik, fenomenologi dan etnometodologi.
1. Â Teori aksi
teori ini dikembangkan atas pemikiran Weber, Durkheim dan Vilfredo Pareto. Weber berpendapat bahwa individu melakukan tindakan berdasarkan pada pengalaman, persepsi dan pemahaman. Weber menelaah bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial, artinya tindakan sosial tidak dapat lepas dari interaksi sosial antar individu. Dengan konsep rasionalitas, Weber membagi tindakan sosial menjadi beberapa tindakan, seperti:
- Tindakan rasionalitas instrumental, tindakan yang memiliki tujuan untuk dicapai yang ditentukan oleh harapan (bersifat rasional dan mudah dipahami)
- Tindakan rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan yang di dasari oleh kesadaran yang meyakini adanya nilai penting, seperti etika, estetika, agama dan nilai yang tidak dapat mempengaruhi tingkah laku manusia (tindakannya masih rasional meski tidak serasional tindakan pertama)
- Tindakan afektif, tindakan yang melibatkan kondisi kejiwaan dan perasaan dari individu yang melakukannya (tindakan ini bersifat spontan)
- Tindakan tradisional ialah tindakan yang muncul karena kebiasaan, tradisi dan adat istiadat (tindakan ini bersifat sukar dipahami/ tidak rasional)
Setelah teori aksi mulai berkembang, Charles Horton Cooley yang merupakan seorang Sosiolog Amerika membuktikan bahwa suatu hal akan memiliki arti yang penting dalam kehidupan bermasyarakat yang memiliki kesadaran subjektif. Dan membuktikan bahwa yang mendorong manusia untuk berinisiatif ialah ide dan perasaan dari individu tersebut.
Pada teori aksi, ditunjukan satu aktivitas dan proses penghayatan diri individu, kemudian Talkot Person berpendapat bahwa teori perilaku mengabaikan sifat kemanusiaan dan subjektivitas tindakan manusia. Jika setiap tindakan manusia yang muncul dari kesadaran individu diartikan sebagai bentuk subjek, maka setiap tindakan yang dilakukan individu tersebut karena adanya kesadaran untuk bertindak dalam posisinya, diartikan sebagai objek. Jadi, untuk mencapai tujuannya, manusia harus bertindak menggunakan cara, teknik, juga metode yang cocok.
2. Â Teori Interasionalisme simbolik
Teori ini hadir karena adanya perspektif baru dari teori aksi. Landasan teori ini yaitu analisi Weber yang memusatkan pada individu terkait dengan hubungan simbolik dan interaksi yang terjadi. Para pengikut interaksi simbolik disebut aliran Chicago. Terdapat enam prinsip dasar dalam teori interaksi simbolik, antara lain:
- Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk berpikir
- Kemampuan berpikir terbentuk dari interasi sosial, semakin banyak orang melakukan interaksi sosial maka kemampuan berpikirnya akan terus berkembang.
- Individu ketika berinteraksi dengan orang lain mempelajari makna dan symbol yang memungkinkan mereka untuk menggunakan kemampuan berpikir dan analisa kita berkembang.
- Setiap individu dapat memodifikasi makna dan symbol yang mereka gunakan berdasarkan situasi yang sedang dihadapi, artinya kita dapat mengontrol makna dan symbol secara situasional.
- Setiap individu dapat menentukan setiap tindakan yang diinginkan dari individu dapat menafsirkan situasi. Artinya setiap individu dapat melakukan suatu tindakan yang di dasarkan dari tafsir situasi dan kondisi.
- Dari interaksi simbolik, individu dapat menciptakan kelompok dan masyarakat.
Kelemahan teori interaksi simbolik ialah mengabaikan pembahasan struktur sosial yang sangat makro, seperti nilai, norma sosial, hukum,institusi sosial dan hanya befokus pada pembahasan interaksi sosial mikro atau hubungan antar individu saja.
3. Â Teori fenomenologi
Salah satu tokohnya dari teori ini yaitu Alfred Schutz, fenomenologi mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan dunianya sendiri dengan memberikan arti kepada perbuatan tertentu dan manusia lain memahami tindakan itu dengan penuh arti. Metode penelitian yang dapat dilakukan adalah tinggal di lingkungan masyarakatnya atau tabayyun.
4. Â Teori etnometodologi
Teori ini dikemukakan oleh Grafinkel, dikatakan bahwa pokok masalah dari etnometodologi adalah pertukaran komunikasi dan disebut sebagai proses komunikasi yang menuju saling memahami diantara para pelaku komunikasi.
Ketiga, paradigma perilaku sosial, paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakan bahwa objek studi sosiologi yang konkret dan realistis adalah perilaku individu yang nampak. Jadi, menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu memiliki hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhinya dalam berperilaku.
Pada paradigma perilaku sosial, teori yang tergabung di dalamnya antara lain teori behaviour Sosiologi dan teori pertukaran. Teori behaviour, menurut Homans diartikan bahwa tingkah laku yang terjadi di masa lalu mempengaruhi tingkah laku di masa sekarang. Sedangkan teori pertukaran yang tercipta dari asumsi dasar bahwa semua kontak di antara manusia itu bertolak dari skema memberi dan mendapatkan kembali sesuatu dalam jumlah yang sama.
Dengan demikian, menurut Ritzer, ketiga paradigma tersebut pada hakekat nya memiliki nilai positif dan negatif. Namun ritzer supaya tidak terjadi perdebatan, ia tawarkan paradigma integratif, jadi para ilmuan tidak hanya pada satu paradigma saja tetapi bisa menggunakan tidak hanya salah satunya saja.
Source : Paradigma Sosiologi versi George Ritzer (on Spotify Podcast @Syaifudinsosio)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H