Mohon tunggu...
Vira Julia Asriani
Vira Julia Asriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya adalah mahasiswi hubungan internasional semester 3, saya memiliki hobi membaca buku yang bergenre fiksi selain itu saya juga mempunyai hobi bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Berdasarkan Realisme Klasik, Ofensif, dan Defensif

17 Oktober 2023   23:27 Diperbarui: 18 Oktober 2023   00:05 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Analisis Realisme Ofensif Amerika Serikat Keluar dari Intermediate Range Nuclear Force Treaty (INF Treaty) pada 2019

Nuklir adalah senjata yang memiliki potensi sebagai pemusnah masal yang sangat berbahaya dan berdampak besar. Menurut United Nations Office for Disarmament Affairs, nuklir dapat melenyapkan semua kota dan akan berpotensi membunuh ribuan bahkan jutaan jiwa. Sebagai contoh yaitu penggunaan "the Little Boy" dan "the Fat Man" yang berdampak pada kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki, menurut perkirakan 60.000-80.000 jiwa tewas karena bom nuklir di Hiroshima, sekitar 40.000 jiwa tewas di Nagasaki dan juga sekitar 135.000 orang juga terkena paparan radiasi yang disebabkan oleh penggunaan nuklir tersebut. Dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan senjata nuklir kemudian membuat nuklir menjadi salah satu senjata yang ingin dimiliki oleh negara-negara besar sebagai aset negara nya. Terdapat beberapa negara di dunia yang kemudian untuk tertarik mengembangkan kemampuan tersebut, yaitu AS dan Uni Soviet. Dalam perjalanannya terjadi beberapa perkembangan teknologi senjata nuklir, dimana salah satunya dikenal sebagai misil atau rudal. Persaingan pengembangan misil antar kedua negara terus terjadi hingga akhir tahun 1970 an, ketika Uni Soviet mengembangkan misil SS-20 Saber. SS-20 Saber disiapkan sebagaipengganti misil SS-4 dan SS-5 yang telah usang. SS-20 dianggap sebagai peningkatan kemampuan Uni Soviet yang dapat mengancam kawasan Euro-Atlantik.

Perjanjian antara kedua negara terus berlangsung hingga pada akhirnya Amerika Serikat mulai menunjukkan perilaku offensive nya dengan memutuskan untuk keluar dari perjanjian tersebut pada 2 Agustus 2019. Keluarnya Amerika Serikat dinilai sebagai hal yang berbahaya bagi perdamaian kawasan Euro-Atlantik. Perselisihan yang terjadi antara Rusia dan Amerika Serikat dapat menyebabkan implikasi bukan hanya di kawasan Eropa saja melainkan juga di dunia. Setelah penggunaan bom nuklir oleh Amerika Serikat pada Perang Dunia II, banyak negara yang kemudian mengembangkan senjata nuklir. Pada akhir tahun 1970-an, Uni Soviet berhasil melakukan penggembangan misil yang kemudian dianggap menjadi sebuah ancaman untuk wilayah Eropa. Misil SS-20 merupakan ground launch ballistic missile yang diperkirakan memiliki jangkauan hingga 5.000 km.

Tetapi Misil SS-20 ini diangap sebagai sebuah ancaman bagi wilayah Euro-Atlantik.  Amerika Serikat dan Uni Soviet kemudian resmi menandatangani perjanjian Intermediate Range Nuclear Force Treaty (INF Treaty) pada 8 Desember 1987. INF Treaty adalah sebuah perjanjian yang melarang penggunaan dan pengembangan ground launch ballistic missile dan ground launch cruise missile (GLCM). Selain itu perjanjian ini juga menghasilkan sebuah komite yaitu Special Verification Commission (SVC). SVC bertugas sebagai badan pelaksana dari perjanjian tersebut, menyelesaikan pertanyaan mengenai kepatuhan dan menyepakati langkah-langkah sebagai cara untuk meningkatkan kelayakan dan efektivitas dari perjanjian tersebut.  INF Treaty menjadi salah satu alat untuk menjamin perdamaian di kawasan Euro-Atlantik. 

Perjanjian ini menimbulkan kontrol terhadap pengembangan Ground Launch Ballistic Missile dan Ground Launch Cruise Missile antara AS dan Uni Soviet. Keputusan tersebut diakhiri dengan keluarnya AS secara resmi pada 2 Agustus 2019. Alasan Amerika Serikat keluar dari INF Treaty yaitu disebabkan karena keinginan Amerika Serikat untuk menjadi satu-satu nya negara hegemon. Keputusan AS untuk keluar dari INF Treaty dapat di analisis menggunakan teori realisme ofensif. Teori realisme ofensif dari John J. Mearsheimer mempunyai beberapa asumsi yang bisa digunakan untuk mengetahui alasan mengapa AS memutuskan untuk bersikap ofensif dengan keluar dari perjanjian INF.

Asumsi pertama, dalam teori realisme ofensif mengatakan bahwa perilaku ofensif dari suatu negara disebabkan oleh sistem dunia yang anarki. Hal ini dapat diartikan jika tidak ada kekuasaan yang mampu membatasi perilaku suatu negara. Asumsi kedua, dapat djelaskan melalui sikap ofensif yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat dengan keluar dari INF Treaty karena pengembangan misil yang dilakukan oleh negara lain di anggap menjadi ancaman bagi AS. Salah satu yang menjadi ancaman besar bagi AS adalah hypersonic delivery system. Asumsi ketiga adalah kecurigaan dan ketakutan terhadap penggunaan kekuatan militer negara lain yang Amerika Serikat memiliki kecurigaan terhadap penggunaan kekuatan militer. Asumsi keempat adalah rasionalitas, dimana Amerika Serikat melihat jika keputusan untuk keluar dari INF Treaty merupakan keputusan yang rasional yang dimilikinya. 

Terlepas dari beban apapun itu seperti biaya serta dampak kekacauan wilayah yang akan ditimbulkan, Amerika Serikat lebih memilih untuk melakukan pengembangan misil sebagai upaya untuk mempertahankan wilayahnya serta untuk menjaga nya dari ancaman pre emptive strike dari negara lain. Asusmsi terakhir, sebagai cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pelanggaran untuk INF Treaty serta pengembangan misil yang dilakukan sekarang merupakan ancaman secara langsung untuk Amerika Serikat dan sekutunya. 

Hal tersebut kemudian membuat Amerika Serikat mempunyai prioritas untuk dapat menghilangkan ancaman yang ada jika tetap berada dalam perjanjian tersebut dan Rusia akan tetap melakukan pelanggaran terhadapnya. Selain itu Teori realisme ofensif juga menjelaskan jika tujuan akhir dari suatu negara ialah mengejar hegemoni. Amerika Serikat merasa jika INF Treaty akan menyebabkan hambatan bagi dirinya untuk melakukan pengembangan misil. Hal ini juga akan berdampak sebagai hambatan dalam mencapai hegemon dalam bidang pengembangan misil.

Analisis Pengembangan Anti-Satelit Tiongkok 

Menurut Neo-Realisme Defensif

Negara memandang jika sistem internasional selalu anarki. Sistem internasional yang anarki membuka peluang terjadinya ancaman, sehingga negara merasa tidak aman dan selalu khawatir terhadap kemungkinan serangan dari negara lain. Kemudian, untuk bertahan di dalam sistem yang konfliktual, negara harus melakukan pertahanan untuk mencapai keamanan nasional nya. Julukan New Rising Power diberikan kepada Tiongkok karena kemampuan ekonominya yang berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan produk domestik atau GDP Tiongkok yaitu rata-rata hampir 10% setiap tahunnya (World Bank, 2019).

Dunia mengenal Tiongkok sebagai negara yang fokus pada pembangunan ekonomi, namun nyatanya Tiongkok juga menaruh perhatian pada militernya. Keberhasilan militer Tiongkok telah mencapai luar angkasa. Anti satelit merupakan senjata untuk mengganggu atau menghancurkan satelit. Pengembangan ASAT besar-besaran yang dilakukan Tiongkok mulai melemahkan dominasi AS di bidang luar angkasa. Persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat sudah berlangsung lama di berbagai bidang. Uji coba antisatelit ini membuat negara lain merasa terancam dan menimbulkan ketegangan antar negara di luar angkasa, yang dapat berujung pada proliferasi senjata di masing-masing negara. Kemudian apa yang melatarbelakangi Tiongkok mengembangkan teknologi anti satelit?

Tiongkok melihat bahwa ruang angkasa setara dengan wilayah laut udara dan darat, yang harus diperjuangkan agar Tiongkok tetap berada dalam konstelasi politik internasional. Beberapa perkembangan yang telah dicapai Tiongkok seperti penerbangan manusia ke luar angkasa, dibentuknya anti satelit, peluncuran satelit dan lain-lain. pada tanggal 11 januari 2007 Tiongkok berhasilkan meeluncurkan anti satelit pertama setalah gagal beberapa kali. Kekuatan Amerika Serikat yang semakin besar di ruang angkasa membuat Tiongkok merasa terhimpit yang kemudian menyebabkan Tiongkok melakukan peluncuran ASAT. Kekuatan Amerika Serikat tersebut telah sampai pada pengembangan sektor militer, komersial hingga penelitian.

Sistem internasional berdasarkan Neo-Realisme bersifat anarki dimana negara di tuntut untuk menjadi entitas tertinggi guna menyediakan keamanan bagi negara mereka sendiri dan cenderung security seeker serta sumber ancaman yang berasal daru negara lain., Tiongkok dan Amerika Serikat termasuk di dalamnya. Hal tersebut dapat dilihat dari tindakan Tiongkok yang memperjuangkan keamanan negaranya dengan melakukan peluncuran ASAT. Peluncuran ASAT yang dilakukan oleh Tiongkok juga merupakan wujud dari space control dimana tindakan tersebut meningkatkan kekuatan. Jika dilihat dari teori Neo-Realisme diffensive Tiongkok berfokus meningkatkan pengembangan ASAT bertujuan untuk meningkatkan keamanan negaranya yang disebabkan oleh dominasi Amerika Serikat di ruang angkasa dan pada kasus ini Tiongkok tidak meluncurkan serangan terlebih dahulu.

ANALISIS PERANG DUNIA I MENURUT PERSPEKTIF REALISME KLASIK

Perang Dunia I merupakan sebuah konflik yang melibatkan banyak aktor terutama negara, yang kemudian berdampak pada dunia dan menghasilkan aktor baru berupa Liga Bangsa Bangsa atau LBB yang memiliki fokus utama yaitu perdamaian dunia. Dampak lain dari Perang Dunia I adalah munculnya aliansi maupun gerakan Non-Blok yang melibatkan beberapa negara yang sebenarnya tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut.

Perang Dunia I terjadi pada 28 Juli 1914 hingga dengan 11 November 1918 berpusat di Eropa. Perang ini melibatkan Blok-Blok negara yang memiliki kekuatan besar di dunia pada masa itu. Perang Dunia I tidak hanya berfokus pada perang daratan saja melainkan melibatkan wilayah laut yang berada di daerah Eropa.

Dalam Perang Dunia I terjadi negosiasi, gencatan senjata dan negosiasi perdamaian. Jerman pertama kali melakukan negosiasi damai kepada Amerika Serikat yang merupakan anggota dari aliansi sekutu pada masa itu. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu upaya jerman untuk memecah aliansi sekutu. Peperangan terus berlanjut negosiasi damai yang dilakukan jerman mengalami kegagalan dan tawaran perdamaian terpisah oleh Austria, Blok Sentral pun runtuh. 

Akibat dari runtuhnya Blok Sentral terjadi gencatan senjata dan pasukan Usmani yang yang memilih untuk menyerah di Mudros dan kemudian diikuti dengan gencatan senjata di Jerman dan Austria. Perang Dunia I diakhiri dengan penandatanganganan perjanjian Versailles setelah tujuh bulan lama nya gencatan senjata oleh Jerman pada 28 Juni 1919. LBB sebagai organisasi internasional yang memiliki tujuan untuk berdamai pun gagal dalam melaksanakan tugasnya dengan meletusnya Perang Dunia Kedua.

Dari penjelasan diatas dapat kita tinjau dan analisa menggunakan perspektif Realisme Klasik. Asumsi pertama, mengatakan bahwa Negara adalah Aktor utama dan menjadi yang paling penting. Hal tersebut dapat kita lihat pada keterlibatan beberapa negara yang terletak di Eropa. Pemikiran dan Asumsi dasar Realisme yang memandang sifat dasar manusia secara pesimistik, dan hubungan internasional bersifat konfliktual yang kemudian berpotensi menimbulkan konflik. Asumsi kedua, negara dianggap sebagai Unitary Aktor yang memiliki arti bahwa suatu negara dapat membuat kebijakan dalam atau luar negaranya. Contohnya seperti penandatanganan genjatan senjata dan negosiasi damai yang dilakukan oleh Jerman. Asumsi ketiga, Negara merupakan aktor yang rasional karena apapun yang dilakukan maupun keputusan negara telah mewakili warga negara dalam mengambil posisi nya di suatu konflik. 

Namun hal ini tidak dapat dibuktikan karena penyebab utama kekalahan jerman ialah melemahnya kekuatan mililer disebabkan oleh rakyatnya yang tidak menjunjung nasionalisme dan kemudian menyebabkan rakyat tidak ikut serta untuk berperang dalam konflik ini. Asumsi keempat, keamanan nasional merupakan suatu hal yang penting bagi setiap negara. Hal tersebut dapat kita lihat mengenai awal mula Perang Dunia I bisa terjadi. Dibunuhnya Franz Ferdinand dan pengimplementasian ideologi Imperialisme dengan memperluas kekuasaan dan menduduki wilayah negara lain. Perspektif Realisme tidak memiliki asumsi jika actor dalam hubungan internasional dapat melakukan Kerjasama ataupun koordinasi disebabkan karena asumsi pertama realisme dan konsep power di dalam hubungan internasional menjadi sesuatu yang sangat penting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun