Konflik di kawasan hutan konservasi adalah perpaduan dari berbagai faktor-faktor internal dan eksternal. Menurut diskusi kami disebuah warung kopi dengan Bapak C.L. Awang, S.H., M.Sc, pada dasarnya konflik hadir karena adanya perbedaan kepentingan, dan jika perbedaan tersebut menimbulkan masalahan, maka akan dianggap sebagai konflik kepentingan. Dan masih menurut beliau, salah satu solusi adalah dengan melepaskan legitamasi hukum pada Kawasan Konservasi melalui jalur EKF (Evaluasi Kesesuaian Fungsi) sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.49 Tahun 2014.
Masalah yang dominan adalah bahwa perambahan atau kegiatan masyarakat di kawasan konservasi sudah ada sebelum kawasan konservasi ini ditetapkan. Selain itu, perluasan kawasan konservasi juga kerap dilakukan pada areal-areal yang sudah terbuka dan dirambah oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah seolah ingin mengatasi perambahan kawasan hutan dengan cara menjadikan kawasan yang dirambah menjadi kawasan konservasi. Disatu sisi, tingkat ketergantungan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar cukup tinggi. Dengan kata lain, meskipun suatu kawasan dijadikan sebagai kawasan konservasi, belum tentu dapat mengeluarkan masyarakat yang telah beraktivitas di kawasan tersebut, sepanjang masyarakat mempunyai power untuk terus memperoleh manfaat dari kawasan tersebut.
Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya khususnya di Kawasan Konservasi. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan. Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan secara berkelanjutan, dimana generasi masa yang akan datang berkesempatan mewarisi sumber daya alam yang masih baik, maka pengelolaan sumber daya alam ditujukan pada dua (2) hal yaitu pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya alam dan kedua, perlindungan atau konservasi.
Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi, tentu saja ada perbedaan yang mendasar, antara konsep kepemilikan lahan yang dianut oleh masyarakat dengan pemerintah. Membuka Kawasan Konservasidari sudut pandang pemerintah dianggap sebagai perambahan dan illegal, sedangkan menurut persepsi masyarakat hal tersebut, merupakan bentuk pengorbanan untuk memiliki lahan yang pada awalnya dianggap sebagai sumberdaya milik bersama. Dengan demikian, ketika pemerintah berusaha melakukan penertiban kegiatan illegal di kawasan konservasi, masyarakat bisa berpikir sebaliknya, yaitu pemerintah yang melakukan perampasan lahan. Dalam kontek ini administrasi lahan yang dapat membedakan lahan masyarakat dan negara menjadi penting.
Pokok permasalahannya adalah ketika dilakukan penataan kawasan dalam suatu wilayah dimana Kawasan Konservasi yang sudah tidak memiliki fungsi sebagaimana yang ditetapkan pemerintah tidak dapat dirubah oleh karena kriteria kawasan yang dibangun tidak sesuai dengan ekosistem hutan. Dengan demikian maka masalah kriteria kawasan konservasi. Sesuai dengan peraturan yang ada, Warna Ungu (Kawasan Konservasi) bisa diputihkan (APL) salah satunya adalah adanya EKF atau Evaluasi Kesesuaian Fungsi yang mana diatur dalam Permenhut Nomor : P.49/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kesesuaian Fungsi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dalam Permenhut ini, dijelaskan bahawa Jika kondisi sebuah kawasan konservasi terutama meliputi kondisi keragaman jenis, kondisi alam, formasi biota atau kekhasan dan keunikan serta luasan kawasan yang berhubungan dengan efektivitas pengelolaan sudah tidak dapat dilakukan lagi, maka Unit Pengelola dapat mengajukan pemutihan sesuai dengan hasil inventaisasi yang telah dilakukan, kemudian. Atas petunjuk Direktur Jenderal KSDAE melakukan uji evaluasi dimaksud apakah benar kawasan konservasi tersebut telah rusak atau masih bisa dilakukan Pemulihan Ekosistem. Kalau Kawasan tersebut dianggap telah rusak oleh tim teknis maka Menteri LHK membentuk Tim Terpadu yang terdiri dari UPT Pengelola, Pakar keilmuan dari Perguruan Tinggi, lembaga Terkait, pemda dan Masyarakat setempat. Hasil dari Tim Terpadu dijadikan patokan oleh Menteri LHK apakah kawasan tersebut dihapuskan atau tidaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H