Setting : disebuah hotel di kawasan Jakarta bernama hotel X (nama hotel tba)
Grey. (setelah melalui perundingan yang sulit dan melilit akhirnya saya putuskan ini nama tokoh wanitanya)
Grey, abu-abu, kelabu, kelam, warna yang tak jelas. Seperti diriku,. sejak dulu, aku bukan orang yang optimis. Aku hanya mengikuti arus, aku hanya seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Aku tak pernah mempunyai visi ke depan, mimpi, cita-cita, bahkan resolusi. Karena semua itu menurutku adalah hal yang sangat berlebihan untukku, ya, berlebihan.
Aku tak boleh berharap lebih, meminta lebih, karena harapan, impian, dan resolusi tersebut toh akan dipatahkan juga, makanya, aku tak pernah mau berharap akan apapun yang ada diluar jangkauanku.
Bukannya menyerah, tapi aku hanya capek. Capek dengan semua angan-angan itu. Capek tinggal disebuah ruang putih dengan bau obat diseluruh jangkauan indra penciumanmu. Capek dengan ketidakjelasan masa depanku. Aku abu-abu.
Biru.
Aku lelaki yang kata orang kuno. YA, sebenernya yang bilang itu adalah mantanku. Mantan calon istriku. WHAT? istri? ya. Diumurku yang 20 tahun ini cita-citaku adalah menikah. Ya, aku merasa hal itu hal yang paling benar yang bisa aku lakukan. Walaupun usiaku, usia kami masih muda. Aku yakin kami bisa menjalaninya, itu pikirku.
Sampai ia, orang yang kucintai seumur hidupku. Orang yang sudah mengisi sebagian besar hariku. Orang yang padanya akan kusematkan cincin di jari manis kecilnya. Orang yang sudah kukenal seumur hidupku menyatakan ia belum cukup mengenalku seumur hidupnya.
Katanya aku kuno, kebanyakan nonton drama remaja. Katanya aku terlalu menganggap remeh pernikahan. Katanya aku ini keka ak-kanakkan dan berpikiran sempit.
Apa? tidak tahu saja apa yang telah kulakukan. Apa yang telah kupersiapkan untuknya, untuk kami. Rencana apa saja yang sudah kubuat. Aku bukannya melamarnya dengan otak kosong. Semua sudah tersusun rapi diotak dan di note yang sudah kubawa-bawa sejak jaman SMA. Sudah kucatat dalam hati dan di note tersebut hal apa-apa saja yang harus kulakukan yang mau kulakukan secara terperinci dan terencana dengan baik. Bahkan beberapa ada yang sudah terwujud.
Aku bukan pria otak kosong tanpa persiapan. Aku justru merasa lebih siap daripada siapapun. Aku sudah menyiapkan berbagai perintilan pernikahan. Tanpa sepengetahuannya. Memang salahku.
Apa yang selama ini kulakukan tak pernah kuberitahukan padanya. Tak pernah ku konsultasikan padanya. Karena aku berpikir ingin memberikanya kejutan. Dan aku yakin ia akan menyukainya dan kata ‘ya’ akan dengan mudahnya meluncur dari mulutnya.
Ternyata, semua benar-benar out of plan. Tidak semuanya berjalan sesuai dengan rencanaku. Malah hal utamanya yang tidak pernah terpikirkan olehku yaitu akan ditolak Lona. Ya, namanya Lona. Kami sudah pacaran dari SD. Bukan pure dari SD sih, ada putus nyambung dan bikin Lona bilang ‘ya’ tuh susah kayak sekarang, dan saya lupa akan hal itu.
the beginning
Memasuki ballroom hotel yang megah. Dengan konsep modern wedding. Hiasan khas pernikahan menghiasi setiap sudut di hotel paling megah di kawasan Jakarta itu. Aku, Grey ber’wah’ sepanjang mata memandang semua keindahan itu. Keindahan yang mungkin akan kita rasakan hanya sekali seumur hidup. Yaitu saat kita menikah.
Selanjutnya aku terbangun dari khalayan sesaat tentang pernikahan yang terlintas di benakku. Berani-beraninya aku memikirkan pernikahan. Aku kan sudah janji datang kesini hanya untuk mengobati rasa muak dirumah sakit dan bukannya malah berharap dan berkhayal akan pernikahanku sendiri.