Mohon tunggu...
Intania Pharamita
Intania Pharamita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Time traveler

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

AL[L]ONE (unspoken love) – Pesawat Kertas

22 Desember 2014   22:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesawat Kertas

Sore itu, ketika aku sedang menatap keluar dari balkon apartemenku, tiba-tiba pesawat kertas terbang dan mendarat di dan jatuh ke lantai tepat disebelahku, penasaran akupun mengambilnya dan aku melihat ada tulisan disalah satu sayapnya. Sambil bertanya-tanya darimanakah gerangan pesawat ini terbang? Dan siapakah yang menerbangkannya dan menuliskan pesan itu disayap kiri persawat tersebut. Tulisan di pesawat kertas itu berbunyi “Moshi-moshi, sora ga kirei desuka?” Sontak akupun langsung mencari seseorang yang mungkin mengirimkan pesawat kertas itu dan melihat tak ada siapapun, kecuali pintu balkon yang terbuka milik kamar apartemen tepat diseberang apartemenku. Namun, tak ada siapapun disitu. “Apakah ia bersembunyi?” Pikirku. Tetapi tak ada gerak-gerik atau tanda kehidupan dari apartemen seberang. Hanya terlihat gorden berwarna krem yang melambai-lambai tertiup angin. Akupun bergegas memberikan balasan untuk pesan di pesawat kertas itu. Begini, “Hai!”. Hanya kata itu yang aku tulis, aku bingung mau menjawab apa, lalu aku menambahkan “Nande? Dareka?” ‘Eeh, iie. Chotto’ kataku kepada diri sendiri. Akupun menghapus kembali kata ‘dareka?’ Karena aku ragu. Lalu aku terbangkan lagi pesawat itu. Dan, Ah! Kenapa tidak bisa jatuh ke tempat yang benar? Keluhku. Pesawat kertas itu malah terbang entah kemana. Walaupun aku tidak yakin bahwa apartemen seberanglah yang mengirimkan pesawat kertas itu namun aku tetap menerbangkannya (em, bermaksud menerbangkannya) kesitu. Walaupun tidak berhasil sampai kesitu, membuatku penasaran. Tapi pikirku lagi, mungkin saja dia, orang dari apartemen seberang yang mengirimkannya. Meski begitu hatiku tetap saja kecewa. ‘Yah, sudahlah’ kataku terhadap diriku sendiri. — *Tingtong-tingtong Bel apartemenku pun berbunyi, pertanda Nachan (Nagisa Miura, Okaa-san) pulang. Akupun berlari tergesa-gesa dan melupakan insiden kecil itu, yang nantinya menjadi awal dari takdirku. Pintu terbuka dan aku langsung menghambur kepelukan Nachan, “Nachan, Nachan! Okaeiri!” Seruku “Tadaima, Risa-chan!” Jawab Nachan lembut. Ryuu Akihisa Ia melakukannya lagi. Ya, hampir setiap hari ia melakukan hal yang sama dikala senja. Dengan posisi yang sama dan mata itu, mata yang menatap kosong seolah mengabaikan dunia sekitarnya. Apa yang sedang ia lihat? Apa yang sedang ia pikirkan? Aku selalu melihatnya dari sini, aku tahu ini kedengarannya seperti penguntit, tapi tidak, bukan, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya tak sengaja melihat, oke, OH, tidak, maksudku siapa suruh ia melakukan hal itu di depan balkon apartemenku, tepatnya di seberang apartemenku. Benar-benar mencuri perhatianku. Sejak pertama melihatnya mengapa ia tampak seperti, rapuh? Namun indah. Ya, dia tampak berbeda, ada sentuhan berbeda ketika cahaya matahari sore menyinarinya ia tampak berkilauan, sungguh cantik. Astaga! Aku bukan lelaki hidung belang! sungguh! Itu hanya pendapatku saja tentangnya. Jujur sebenarnya aku sangat tertarik padanya semenjak pertama, tepatnya enam bulan lalu aku pindah ke apartemen ini. Aku penasaran dengan apa yang ia pikirkan. Namun aku tidak punya keberanian untuk menanyakan langsung padanya. Siapa aku? Apa hakku? Tapi entah mengapa sore ini berbeda. Setelah enam bulan ku kumpulkan keberanian akhirnya aku sampai pada batasku. Aku tak tahu bagaimana harus memulainya, apakah harus menyapanya? Oh tidak, tidak. Itu bukan gayaku, Sungguh. Mataku langsung tertuju pada tumpukan kertas di meja belajarku yang memang dekat dengan balkon. Akupun berpikir keras dan akhirnya membuat sesuatu dari kertas yang dapat menyampaikan apa yang ingin kukatakan padanya, tapi tunggu dulu, memang apa yang mau kukatakan padanya? Oh, biarkan aku berpikir. Dan tak lama kemudian akupun telah membuat kertas tadi menjadi sebuah pesawat kertas (tadinya aku ingin membuat origami burung bangau tapi kalian pikir saja sendiri) dan pada sayap sebelah kirinya aku menuliskan kata-kata yang berusaha aku pikirkan tadi. “Jadi, em, begini. Hai!” Gumamku. Dengan perasaan ragu namun pasti aku menerbangkan pesawat kertas tersebut ke balkon seberang. Taruhan, sampai atau tidak sampai. Akupun langsung menunduk bersembunyi dibelakang kursi di balkon ketika pesawat kertas itu dengan indah dan sukses mendarat ke balkon seberang. Tepat disebelahnya. Sambil memerhatikan reaksinya diam-diam, ada rasa senang campur takut dihatiku. Senang karena ternyata ia hidup, ya, bisa saja kan selama ini ia cuma khayalanku saja? Dengan reaksinya itu aku tahu ia hidup dan pesawat kertasku dapat sampai kepadanya. Aku takut akan reaksi apa yang akan ia keluarkan setelah membaca pesan di sayap kiri pesawat kertas itu. Awalnya ketika ia mengambilnya, ekspressi bingung menghiasi wajahnya. Dan ekspressi bingung itu lebih cantik ketimbang diamnya dan tatapan kosongnya.

Theme song : Poltergeist by Sheena Ringo

Original posted by hainetane

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun