Media massa telah menjadi salah satu pilar penting dalam kehidupan masyarakat modern. Kehadirannya tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga memengaruhi pola pikir, perilaku, dan bahkan menentukan arus kebijakan dalam politik, ekonomi, dan budaya. Namun, di balik peranannya yang masif, media massa sering kali mendapat kritik tajam. Salah satu kritik terbesar adalah bahwa media telah digunakan sebagai alat kekuasaan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik-ekonomi mereka, sering kali dengan mengorbankan kepentingan publik. Di era kapitalisme global, media massa dianggap turut memperkuat sistem yang berorientasi pada keuntungan, menjadikan masyarakat tidak lebih dari sekadar konsumen.
Media Massa sebagai Industri Kapitalis
Pada awal kemunculannya, media massa bertujuan untuk memberikan akses informasi yang luas kepada masyarakat. Namun, perkembangan teknologi dan dinamika ekonomi global telah mengubah wajah media. Kini, media massa tidak hanya bertugas menyebarkan informasi, tetapi juga menjadi industri raksasa yang mendatangkan keuntungan finansial besar. Televisi, surat kabar, radio, hingga portal berita daring semuanya adalah bagian dari ekosistem ini. Pendapatan utama mereka datang dari iklan, yang membuat media cenderung mendukung kepentingan para kapitalis, terutama korporasi besar.
Sebagai contoh, perusahaan media besar sering kali terikat dengan kepentingan pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam banyak kasus, kepentingan ekonomi ini menyebabkan pemberitaan dan agenda media diatur sesuai dengan kehendak pemilik modal atau investor besar. Ini menciptakan fenomena media bias di mana berita dan informasi yang disajikan cenderung menguntungkan pihak tertentu, sementara informasi yang bertentangan dengan kepentingan kapitalis sering kali diminimalkan atau diabaikan.
Sosiolog Karl Marx dan Max Weber pernah menyampaikan bahwa media dapat menjadi alat ideologis yang digunakan oleh kelas penguasa, atau borjuasi, untuk mempertahankan kekuasaannya. Konsep ini relevan dalam melihat bagaimana media massa saat ini sering kali menciptakan narasi yang mendukung kapitalisme dan mengarahkan masyarakat untuk menerima nilai-nilai pasar bebas. Masyarakat didorong untuk berperan sebagai konsumen dalam ekosistem ekonomi, yang menguntungkan kelas atas. Munculnya budaya konsumtif yang masif dan homogen di kalangan masyarakat modern adalah salah satu konsekuensi langsung dari peran media sebagai instrumen kapitalisme.
Masyarakat Massa dan Budaya Konsumen
Kritik ini juga menyentuh aspek budaya. Media massa tidak hanya berperan dalam sektor ekonomi, tetapi juga dalam membentuk budaya masyarakat. Media massa, dalam banyak hal, memproduksi dan mereproduksi budaya populer yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat secara besar-besaran. Pengaruh media begitu kuat sehingga ia mampu mengarahkan preferensi dan gaya hidup masyarakat. Konsumsi produk-produk budaya seperti musik, film, dan fesyen sering kali didorong oleh iklan dan konten media yang mempromosikan gaya hidup tertentu.
Dalam bukunya The Consumer Society: Myths and Structures, Jean Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat modern telah berubah menjadi masyarakat massa yang berfokus pada konsumsi. Media berperan penting dalam menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru yang tidak selalu esensial. Contohnya, iklan-iklan barang mewah atau tren mode terbaru sering kali menciptakan kesan bahwa status sosial seseorang dapat ditingkatkan melalui konsumsi barang-barang tersebut. Akibatnya, nilai-nilai konsumerisme merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan dalam identitas dan nilai diri individu.
Kemunculan Media Sosial dan Tantangan Baru
Perkembangan teknologi digital dan internet membawa babak baru dalam peran media. Munculnya media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah mengubah lanskap komunikasi global. Media sosial memungkinkan individu menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Di satu sisi, ini memberikan ruang bagi lebih banyak suara dan narasi alternatif yang sebelumnya mungkin terabaikan oleh media massa arus utama. Di sisi lain, media sosial juga tidak lepas dari kritik.
Algoritma platform media sosial sering kali dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, yang berujung pada pembentukan filter bubble---ruang informasi yang terbatas pada perspektif atau preferensi tertentu. Ini memperburuk polarisasi di masyarakat dan memperkuat pandangan kapitalis bahwa interaksi sosial dapat dimonetisasi. Selain itu, perusahaan media sosial besar seperti Meta dan Google juga dikecam karena model bisnis mereka yang bergantung pada iklan dan data pengguna, menjadikan mereka bagian integral dari sistem kapitalis global.
Post-Modernisme: Membongkar Narasi Dominan
Gerakan post-modernisme memberikan kritik yang lebih dalam terhadap media massa dan struktur kapitalisme yang menopangnya. Pemikir post-modern seperti Michel Foucault dan Jean-Franois Lyotard menantang narasi besar (grand narratives) yang didukung oleh media massa. Dalam pandangan mereka, media adalah alat yang digunakan oleh kekuatan dominan untuk menyebarkan narasi yang melanggengkan kekuasaan mereka. Foucault, misalnya, berbicara tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, di mana media menjadi aktor kunci dalam memproduksi pengetahuan yang menguntungkan kekuatan politik dan ekonomi tertentu.
Dalam hal ini, post-modernisme melihat media sosial sebagai ruang yang lebih cair dan terbuka untuk narasi alternatif. Namun, media sosial juga tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh kapitalisme. Dominasi perusahaan teknologi besar dalam mengontrol arus informasi dan data pengguna menunjukkan bahwa meskipun platform ini menawarkan kebebasan berpendapat, mereka tetap beroperasi dalam kerangka kapitalisme global.
Menyeimbangkan Peran Media
Tidak bisa dipungkiri, media massa memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi, ia menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kesadaran, menyebarkan informasi, dan membuka ruang bagi diskusi publik. Namun, di sisi lain, dominasi kekuatan kapitalis dalam struktur media massa global menimbulkan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyeimbangkan kekuatan ini, termasuk dengan memperkuat peran media independen dan komunitas, serta mendorong literasi media yang lebih baik di kalangan masyarakat.
Dalam era post-modern ini, peran masyarakat sangat sangat diperlukan. Dengan memahami bagaimana media bekerja dan siapa yang mengendalikan arus informasi, masyarakat dapat menjadi konsumen media yang lebih cerdas dan kritis. Pada akhirnya, media yang ideal adalah media yang tidak hanya mengabdi pada kepentingan ekonomi segelintir orang, tetapi juga mampu menjadi ruang demokratis bagi semua lapisan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H