Mohon tunggu...
Vioreyna Firly Risnita
Vioreyna Firly Risnita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahsiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Positivisme dan Contohnya pada Kehidupan Sehari-hari

29 Oktober 2023   20:44 Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:52 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857)

August Comte (1798-1857) adalah seorang filsuf dari Perancis yang sering kali disebut sebagai peletak dasar bagi ilmu Sosiologi dan dia pula-lah yang memperkenalkan nama 'Sociology'. Sosiologi yang merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman dan logos dari kata Yunani yang berarti pengetahuan itu diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan sosial, intelektual dan politik pada masanya. Melalui buku itu pula, Comte mengenalkan tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya. Tiga tahapan itu meliputi:

 a) Tahap Teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia;

b) Tahap Metafisis, yang pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan; serta 

c) Tahap Positif, yaitu tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah. Tiga tahap perkembangan intelektual yang terakhir, atau Tahap Positif, pada akhirnya membawa manusia mengenal pemikirannya yang mahsyur: Positivisme.

Sebutan 'Positivisme'filsafat muncul kembali diabad ke-20 sekarang ini, yaitu dengan hadirnya aliran filsafat positivisme abad ke-19 dan filsafat positivisme abad ke-20. Melihat filsafat Positivisme August Comte, beberapa orang berpendapat bahwa filsafat tersebut tidak lebih dari sekedar teori atau pendirian saja. 

Namun di satu sisi, beberapa orang melihat filsafat tersebut sebagai pandahan hidup tentang manusia dan dunia. Aguste Comte telah menunjukkan bahwa didalam perkembangan jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, terdapat suatu kemajuan. Dan kemajuan itu akan dicapai, pada saat perkembangan datang pada saat yang disebut positif. Aguste Comte selanjutnya membagi ilmu pengetahuan yang bersifat spekulatif atau teoritis tadi ke dalam ilmu pengetahuan yang abstrak atau umum dan ilmu pengetahuan yang konkret atau kusus. Untuk membuktikan adanya kemajuan yang telah dicapai manusia dalam ilmu pengetahuannya, Aguste Comte menempuh cara dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) ilmu pengetahuan.

August Comte mengatakan bahwa pada dasarnya "knowledge is power" atau ilmu pengetahuan mengarah pada kekuasaan, akan tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa disamping itu masih terdapat tujuan lain yang lebih tinggi, yaitu bahwa ilmu pengetahuan memberi kita kepuasan melalui pengenalan hukum-hukum gejala (fenomena) alam semesta, dan dengan mengenal hukum-hukum gejala tersebut, manusia akan mampu meramalkan, dan bahkan mampu pula merubah alam itu untuk kepentingannya.

Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa.

Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun