Rina selalu memperhatikan mata orang-orang yang ia temui. Baginya, mata adalah jendela jiwa, menceritakan kisah tanpa kata-kata. Hari ini, di sebuah kafe kecil di sudut kota, ia melihat dua pasang mata yang sangat berbeda.
Yang pertama adalah milik seorang pelayan muda. Matanya bersinar cerah, berwarna cokelat madu yang hangat. Setiap kali ia tersenyum pada pelanggan, matanya ikut tersenyum, menciptakan kerutan kecil di sudutnya. Mata itu penuh harapan dan semangat, seolah melihat keindahan dalam setiap hal kecil di dunia. Rina berpikir, betapa indahnya memiliki pandangan seperti itu terhadap hidup.
Kemudian, pintu kafe terbuka. Seorang pria paruh baya melangkah masuk. Matanya... berbeda. Rina hampir bisa merasakan beban yang ditanggung pria itu hanya dari tatapannya. Mata itu berwarna abu-abu gelap, redup seperti hari mendung. Tidak ada kilau di sana, hanya kekosongan yang dalam. Ketika pelayan menyapanya dengan ceria, pria itu hanya mengangguk pelan, matanya tetap terpaku pada lantai.
Rina mengamati interaksi singkat antara si pelayan dan pria itu. Dua pasang mata, dua dunia yang berbeda. Mata si pelayan adalah bukti bahwa keindahan masih ada di dunia ini, bahwa ada hal-hal kecil yang patut disyukuri setiap hari. Sementara mata pria itu... Rina merasa seolah melihat ke dalam jurang tanpa dasar. Mata yang telah menyaksikan terlalu banyak kesedihan, terlalu banyak kekecewaan.
Perlahan, Rina menyadari bahwa mata yang indah dan mata yang sedih bukanlah sekadar perbedaan warna atau bentuk. Ini adalah perbedaan cara memandang dunia. Mata yang indah melihat harapan di setiap sudut, menemukan keajaiban dalam hal-hal sederhana. Sementara mata yang sedih telah kehilangan cahayanya, seolah dunia telah mengambil segala warna darinya.
Rina bertanya-tanya, apakah mata yang sedih itu pernah bersinar cerah seperti mata si pelayan? Apakah suatu peristiwa telah memadamkan cahayanya? Atau mungkin itu adalah hasil dari ribuan kekecewaan kecil yang menumpuk selama bertahun-tahun?
Ketika pria itu akhirnya mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu sejenak. Rina merasakan getaran kecil di dadanya. Dalam sekejap itu, ia melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesedihan. Ada kerinduan di sana, kerinduan akan cahaya yang pernah ada.
Terdorong oleh rasa penasaran dan empati, Rina memberanikan diri untuk mendekati pria tersebut. "Permisi, boleh saya duduk di sini?" tanyanya lembut. Pria itu mengangguk pelan, matanya masih menyiratkan keraguan.
Selama beberapa menit, mereka duduk dalam keheningan yang canggung. Rina mencoba mencari kata-kata yang tepat, sementara pria itu hanya menatap cangkir kopinya yang mulai mendingin.
"Saya Rina," akhirnya ia memperkenalkan diri. "Maaf jika saya mengganggu, tapi... saya tidak bisa tidak memperhatikan bahwa Anda terlihat sedih. Apakah ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata Rina. Untuk pertama kalinya, Rina melihat setitik emosi di mata abu-abu itu - terkejut, mungkin karena ada orang asing yang peduli.
"Saya Pak Hardi," jawabnya dengan suara serak. "Dan tidak, tidak ada yang bisa membantu. Beberapa luka terlalu dalam untuk disembuhkan."
Rina mengangguk penuh pengertian. "Saya mengerti. Tapi terkadang, berbagi beban bisa membuatnya sedikit lebih ringan. Jika Anda mau bercerita, saya akan mendengarkan."