Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Menulis, Musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata yang Padam

31 Agustus 2024   21:25 Diperbarui: 31 Agustus 2024   21:27 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah jeda yang panjang, Pak Hardi mulai bercerita. Tentang istrinya yang meninggal lima tahun lalu karena kanker. Tentang putranya yang memutuskan untuk tinggal di luar negeri, meninggalkannya sendiri. Tentang pekerjaannya yang hilang karena pandemi. Setiap kata yang keluar seolah membuka luka lama, tetapi juga membawa sedikit kelegaan.

Rina mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk atau menyentuh tangan Pak Hardi untuk memberikan dukungan. Ia melihat bagaimana mata itu perlahan berubah saat bercerita. Ada kilatan emosi di sana - kesedihan, kemarahan, dan kadang-kadang, secercah harapan.

Ketika Pak Hardi selesai bercerita, Rina melihat perubahan kecil di matanya. Masih ada kesedihan di sana, tentu saja. Tapi ada juga sesuatu yang lain - mungkin kelegaan karena telah berbagi beban, atau mungkin apresiasi karena ada seseorang yang mau mendengarkan.

"Terima kasih," kata Pak Hardi pelan. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya berbicara seperti ini dengan seseorang."

Rina tersenyum hangat. "Terima kasih sudah mau berbagi, Pak Hardi. Saya tahu hidup tidak selalu mudah, tapi selalu ada harapan. Mungkin tidak hari ini atau besok, tapi suatu hari nanti, saya yakin Bapak akan menemukan cahaya itu lagi."

Sebelum mereka berpisah, Rina memberikan nomor teleponnya kepada Pak Hardi. "Jika Anda butuh teman bicara lagi, jangan ragu untuk menghubungi saya," ujarnya.

Ketika Pak Hardi berdiri untuk pergi, Rina melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Mungkin hanya imajinasinya, tapi ia merasa melihat secercah cahaya di sana - kecil dan rapuh, tapi ada.

Rina memutuskan, mulai hari ini ia akan lebih sering tersenyum pada orang asing dan menawarkan telinga yang mau mendengar. Mungkin, pikirnya, dengan begitu ia bisa menyalakan kembali secercah cahaya di mata yang telah padam. Karena ia tahu, perbedaan antara mata yang indah dan mata yang sedih hanyalah sebuah percikan harapan dan sentuhan kebaikan dari sesama.

Saat ia meninggalkan kafe, Rina merasa lebih ringan. Ia telah belajar bahwa kadang-kadang, untuk melihat keindahan dunia, kita perlu membantu orang lain menemukan cahaya mereka kembali. Dan dalam prosesnya, kita juga menemukan cahaya dalam diri kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun