Ciara mengerutkan dahi “Papa hanya diberikan waktu 5,9 jam?”
“Kau benar gadis pintar. Sekarang papa mau melihat mama dan adikmu dulu. Juga masih ada beberapa pekerjan yang harus papa lakukan. Papa tidak ingin ketinggalan untuk hari penghakiman besok. Papa sayang Cira” Dipeluknya sekali lagi anak gadisnya itu dengan erat. Lalu dicium keningnya.
“Cira juga sayang papa.” Balas Cira. Lalu sedikit demi sedikit bayangan papa Cira menghilang. Cira sadar dia lupa untuk mengucapkan terimaksih atas kasih sayang yang diberikan papanya selama hidupnya. Ciara ingin meminta maaf kalau ia belum bisa membuat papanya bangga. “Paa.. papa.. jangan pergi dulu. PAPAAAA…!” Cira terbangun. Nafasnya terngah-engah. Dilihatnya kesekeliling kamarnya. Papanya tidak ada. Dilihatnya tab yang masih tergenggam di tangannya. Ada foto selfie Ciara dan papanya. Hhh.. Ternyata hanya mimpi…
Hujan orang mati sudah reda. Matahari masih bersinar terik. Sesekali angin berhembus pelan. Setelah kejadian itu, si gadis tidak pernah bermimpi tentang papanya lagi. Cira menjalankan hidupnya dengan penuh semangat, sesuai pesan papanya. Mungkin pertemuan itu hanyalah mimpi, mimpi yang sangat nyata. Tapi Cira tahu itu cara Tuhan untuk mempertemukan Cira dan papanya.
Hujan orang mati sudah reda. Cira yakin papanya sudah tenang, berada di surga dan tersenyum melihat anak gadisnya yang berpengharapan.
2015
cerpen ini juga dapat dilihat di www.violetasaragih.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H