Mohon tunggu...
Viola FaricaAzzahra
Viola FaricaAzzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Penulis merupakan mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta serta memiliki hobi membaca.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Hadhanah (Hak Asuh Anak) sebagai Akibat Hukum dari Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam, Siapa yang Paling Berhak atas Hadhanah Tersebut?

7 Mei 2024   12:13 Diperbarui: 7 Mei 2024   12:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pernikahan yang bahagia, rukun, dan harmonis adalah impian bagi setiap manusia yang melakukan pernikahan. Tidak jarang impian tersebut tidak dapat dicapai oleh pasangan suami-istri yang mengakibatkan adanya perceraian dalam pernikahan tersebut. Dalam hukum islam, putusnya perkawinan (perceraian) ini menimbulkan implikasi seperti: hubungan yang menjadi asing, muncul kewajiban memberikan mut'ah, melunasi segala hutang yang harus dilunasi dan belum dibayarkan dalam masa perkawinan, berlakunya iddah atas istri yang diceraikan, serta pengasuhan anak atau hadhanah. Salah satu persoalan akibat perceraian yang sering menimbulkan polemik dalam masyarakat adalah hak asuh anak atau yang dalam hukum islam dikenal dengan hadhanah. Biasanya kasus yang sering kita jumpai adalah perebutan hak asuh anak antara orang tua yang bercerai. Padahal memelihara anak pada dasarnya adalah tanggung jawab bersama orang tua. 

Lantas bagaimanakah hukum islam mengatur hak asuh anak (hadhanah) tersebut bila terjadi perceraian? 

Menurut istilah Fiqih, hadhanah didefinisikan: "Memberikan penjagaan atas orang-orang yang tidak mampu mengurus dirinya, serta memberikan didikan yang baik baginya." Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita artikan bahwa hadhanah merupakan suatu kewajiban untuk memberikan penjagaan dan didikan terhadap orang-orang yang belum mampu mengurus dirinya dalam hal ini anak akibat terjadinya perceraian pada orang tuanya. Pihak yang merawat anak karena hadhanah ini dalam bahasa arab disebut dengan istilah hadhin atau hadhinah, sedangkan pihak yang dirawat (anak) disebut dengan mahdhun. 

Pemeliharaan anak meliputi pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder anak, seperti pendidikan, kesehatan, ketentraman dan aspek lainnya yang terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Dalam ajaran islam telah dijelaskan bahwa tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepada dalam rumah tangga, meski tidak menutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih ke istri saat suami tidak mampu untuk menunaikan kewajibannya. Oleh karena itu, sangat penting adanya kerjasama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memelihara anak sampai dewasa sebagai prinsip rasa tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.

Apa saja syarat ketentuan hadhin bagi pihak yang ingin mendapatkan hadhanah? 

Bagi pihak yang ingin mendapatkan hak asuh anak tentunya harus memenuhi syarat ketentuan hadhin sebagai berikut. 

  1. Muslim. Pemeliharaan atas agama bagi anak adalah kebutuhan yang paling mendasar. Sehingga sebagai seorang anak yang berasal dari keluarga Muslim wajib dirawat oleh hadhin yang juga seorang muslim. 

  2. Aqil Baligh. Seseorang yang menjadi hadhin harus aqil baligh. Tidak sempurnanya akal atau belum baligh bermakna orang tersebut tidak dapat mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus kebutuhan orang lain. 

  3. Tidak Fasiq. Maksudnya bukan pelaku maksiat seperti pezina, peminum, pencuri, yang perkataan dan perbuatannya tidak dapat dipercaya. Pemeliharaan mahdhun di tangan orang fasiq, dapat membahayakan agama dan masa depan. 

  4. Mampu. Ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan mahdhun karena faktor tertentu, maka ia tidak boleh menjadi hadhin. Seperti jika seorang hadhin dalam kondisi cacat (buta, lumpuh) yang pada umumnya membuat seseorang tidak mampu memenuhi semua kebutuhan dari mahdhun.

  5. Rosyid. Maksudnya seseorang yang mampu mengelola hartanya dengan cara yang baik, bukan safih, yaitu seseorang yang senantiasa lalai dalam menggunakan hartanya, dan suka memubadzir-kan harta untuk keperluan tidak penting.

  6. Mahram. Jika mahdhun tersebut seorang wanita, maka disyaratkan atas hadhin adalah termasuk mahramnya. Sebab didasarkan atas kekhawatiran akan timbulnya pelanggaran syariat jika antara hadhin dan mahdhun tidak memiliki hubungan kemahraman. Seperti jika mereka berdua melakukan khalwat atau perbuatan yang mengarah pada zina. 

Lalu, siapa saja yang berhak atas hadhanah anak dan bagaimana urutan hadhin-nya? 

Berdasarkan pertimbangan maslahah para ulama, pihak perempuan didahulukan hak hadhanah-nya karena dianggap lebih tekun, telaten, sabar dalam mengasuh dan intens bergaul dengan anak. Berikut ini urutan hak asuh anak dari pihak wanita:

  1. Ibu. Jika syarat hadhin terpenuhi dan tidak ada yang menyelisihinya maka ibu paling berhak atas hadhanah anak tersebut, 

  2. Nenek dari garis ibu. Hal ini terjadi bila hak asuh ibu gugur karena tidak terpenuhinya syarat tersebut. Jika tidak didapati maka beralih ke nenek sang anak dari garis ayah. 

  3. Kakak kandung yang sudah mampu. Jika tidak ada maka digantikan saudara perempuan seibu. Jika tidak ada lagi maka saudara perempuan seayah. 

  4. Bibi kandung pihak ibu atau bibi seibu atau bibi seayah. Hal ini terjadi jika saudara perempuan tidak didapati. 

  5. Anak perempuan dari saudara perempuan anak tersebut, jika tidak didapati bibi dari pihak ibu. Namun sebagian Ulama Fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini. 

  6. Bibi (saudara perempuan dari pihak ayah). Jika pihak perempuan dari pihak ibu tidak didapati, dengan lebih mendahulukan dari mahram terdekat. Yaitu ayah si anak, kakek, baru kemudian saudara laki-laki dari anak tersebut, atau anak laki-laki dari saudara laki-laki, jika tidak ditemukan maka beralih ke paman atau anak sang paman. 

Demikian pembahasan mengenai hadhanah bagi anak akibat putusnya perkawinan antara kedua orang tuanya serta siapa saja yang berhak atas hak tersebut. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan memperkaya wawasan pemahaman para pembaca mengenai hadhanah dalam hukum islam sehingga tidak ada lagi kasus yang mengundang polemik terutama mengenai perebutan hak hadhanah anak antara suami-istri yang bercerai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun