Mohon tunggu...
Viola Eva Reditiya
Viola Eva Reditiya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswi Magister

Banyak orang gagal dalam hidup karena tidak menyadari seberapa dekat mereka dengan kesuksesan ketika mereka menyerah (Thomas Edison).

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

AI Jadi Sahabat Curhat: Apakah Gen Z Mulai Kehilangan Koneksi Manusiawi?

24 Januari 2025   06:54 Diperbarui: 24 Januari 2025   06:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital ini, teknologi bukan hanya mempermudah hidup, tetapi juga menjadi teman bicara. Gen Z, yang tumbuh bersama smartphone dan internet, kini punya pilihan unik untuk curhat: AI. Mulai dari chatbot seperti ChatGPT hingga aplikasi kesehatan mental berbasis kecerdasan buatan, banyak yang menawarkan telinga virtual untuk mendengar keluh kesah. Namun, apakah ini tanda kemajuan, atau justru sinyal bahwa koneksi manusiawi mulai memudar? Yuk, kita bahas fenomena menarik ini!

Berbicara dengan AI memiliki daya tarik tersendiri. Pertama, AI tidak pernah menghakimi. Tidak peduli seberapa aneh atau berat masalahmu, AI selalu siap mendengar dan memberikan jawaban logis tanpa drama. Selain itu, AI tersedia 24/7, kapan pun kamu butuh teman bicara. Dengan gaya hidup Gen Z yang serba cepat, sering merasa cemas, dan kadang kesepian meski dikelilingi media sosial, AI hadir sebagai solusi instan. Tapi di sisi lain, apakah ini mencerminkan kesenjangan dalam hubungan manusia?

Faktanya, curhat ke AI mungkin terasa nyaman, tetapi tidak bisa menggantikan sentuhan emosional yang diberikan manusia. Dalam interaksi manusiawi, ada pelukan, tatapan mata penuh pengertian, atau sekadar gumaman "Aku ngerti kok," yang memberi rasa hangat. AI, meskipun pintar, masih terbatas pada pola komunikasi berdasarkan data. Hubungan dengan AI cenderung transaksional: kamu bertanya, AI menjawab. Tapi bagaimana dengan emosi yang lebih kompleks seperti empati mendalam?

Menariknya, fenomena ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga tentang perubahan budaya. Gen Z dikenal lebih terbuka terhadap inovasi dan tidak takut bereksperimen dengan hal baru. Namun, mereka juga menghadapi tantangan unik, seperti tekanan sosial yang membuat hubungan manusia kadang terasa sulit. Curhat ke AI menjadi semacam pelarian, tempat mereka bisa jujur tanpa takut dinilai. Solusi ini mungkin efektif jangka pendek, tetapi ada risiko isolasi sosial jika terlalu bergantung pada mesin.

AI adalah alat, tetapi keajaiban sejati terjadi saat teknologi dan empati berjalan berdampingan

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari tren ini? Mungkin, ini saatnya mencari keseimbangan. AI bisa menjadi alat yang hebat untuk mendukung kesehatan mental atau membantu merenungkan masalah, tetapi jangan lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita tetap butuh percakapan yang nyata, penuh tawa, atau bahkan air mata dengan orang lain. Jadi, kapan terakhir kali kamu menghubungi temanmu hanya untuk bertanya, "Apa kabar?" Siapa tahu, percakapan itu lebih berharga daripada yang kamu kira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun