Mohon tunggu...
Vio Alfian Zein
Vio Alfian Zein Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Hanya seorang mahasiswa yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sulitnya Peran Serta Pemuda dalam Politik

8 Desember 2021   18:09 Diperbarui: 8 Desember 2021   18:21 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menyuarakan Pendapat yang Dilakukan Pemuda. Gambar: Josh Barwick di Unsplash.com

Oleh: Vio Alfian Zein

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

Pemuda adalah generasi penerus bangsa yang akan turut menggantikan orang-orang saat ini sedang mengisi peran di berbagai bidang-bidang tertentu, termasuk salah satunya adalah bidang politik. Kualitas demokrasi pada suatu negara, tentu dinilai dari seberapa besar partisipasi dari masyarakatnya.

Salah satunya tentu partisipasi dari generasi muda memang sangat diharapkan serta dinantikan, terlebih mereka pada dasarnya merupakan calon pemimpin bangsa di masa mendatang. Saat generasi muda mau ikut turut serta atau peka terhadap kondisi politik yang ada, maka mereka dapat menjadi arah kompas perubahan politik di Indonesia.

Generasi muda sendiri digadang-gadang memiliki tingkat idealisme, kreatifitas, semangat yang tinggi, serta sifat pemuda yang selalu update terhadap permasalahan, dan gagasan-gagasan yang kritis yang ditimbulkan menjadi salah satu alasan mengapa peranan pemuda dibutuhkan di perpolitikan Indonesia.

Saat ini para pemuda masih dianggap sebelah mata dan terpinggirkan di dunia politik. Salah satu buktinya adalah tidak efektifnya Staf Khusus (Stafsus) Milenial yang telah dibentuk. Stafsus Milenial yang diisi oleh anak-anak muda diharapkan mampu menjembatani antara pemerintah dengan generasi muda.

Namun dari 7 Stafsus Milenial hanya satu kursi yang diisi oleh pemuda yang berlatar belakang politik yaitu Aminuddin Maruf (Mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam/PMII). Sementara sisanya memiliki latar belakang sebagai pengusaha sebanyak lima kursi dan pemerhati sosial sebanyak satu kursi.

Pemilihan anggota Stafsus Milenial yang mayoritasnya tidak memiliki pengalaman politik merupakan salah satu bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menggandeng generasi muda untuk turut serta dalam politik. Kehadiran Stafsus Milenial ibarat representasi simbolik tanpa ada kekuatan politik yang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah (Fauzi, 2020).

Kejadian serupa juga terjadi di beberapa belahan dunia lainnya, Wallace dalam tulisannya tentang pemuda dan politik (2003: 243) berpendapat bahwa para pemuda sering terpinggirkan dari politik konvensional seperti turut serta dalam partai politik dan aktivis pemerintahan dan para pemuda cenderung lebih memilih untuk apatis dalam hal politik.

Generasi muda sering kali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling tidak peduli dan tidak berminat dengan persoalan politik, serta memiliki tingkat kepercayaan rendah pada politisi serta sinis terhadap berbagai lembaga politik dan pemerintahan (Pirie & Worcester, 1998; Haste & Hogan, 2006; Morissan, 2014: 54).

Salah satu alasan utama mengapa pemuda sulit untuk mau bergabung dalam partai politik adalah masih adanya senioritas yang kental di dalam tubuh partai politik. Meskipun dalam partai seharunya memiliki kesetaraan yang sama, namun nyatanya masih terdapat distingsi antara kader senior dan junior (Meiji, 2016: 113).

Meskipun telah bergabung dan menjadi anggota resmi partai, dalam beberapa pertemuan anak muda seringkali tidak mendapat kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya. Gary W. Cox dalam (Marijan, 2012: 63) berpendapat bahwa dominasi kekuasaan hanya berputar di elit partai saja. Sementara anak muda hanya mampu menjadi pendengar karena dianggap minim pengalaman. Faktor tersebutlah yang membuat pemuda enggan untuk aktif secara formal di politik.

Partai politik yang seharusnya menjadi agen dalam melaksanakan pendidikan politik malah melakukan sosialisasi politik secara tidak sehat, para pemuda terhegemoni oleh para elit partai yang lebih senior. Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah konsensus dimana ketertundukan diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni (Roger, 2004).

Para pemuda yang berpartisipasi dalam partai politik menganggap bahwa mengesampingkan pendapat bagi yang muda adalah suatu hal yang wajar. Padahal menyampaikan gagasan dan pendapat di muka umum merupakan hak yang harus dipenuhi dan hal tersebut telah diatur dalam undang-undang. Namun karena pengaruh senior dari partai yang amat kuat membuat mereka mudah untuk tetap menerima hal tersebut.

Generasi muda sendiri saat ini lebih senang untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya melalui gerakan-gerakan sosial daripada berpartisipasi dalam forum politik formal. Sonia & Cheng dalam penelitiannya (2020: 1) mengungkapkan gerakan-gerakan sosial dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan serta isu politik, seperti menolak pemerintahan militer di Myanmar, Gerakan Bunga Matahari di Taiwan, dan demonstrasi menolak RUU Ekstradisi di Hong-Kong, mayoritas diisi dan diikuti oleh generasi muda.

Di Indonesia sendiri gerakan pemuda juga tidak kalah aktif dibandingkan negara lain. Para pemuda seperti pelajar dan mahasiswa juga aktif dalam mengikuti gerakan-gerakan seperti menolak adanya RUU KPK dan RUU Omnibuslaw. Hal tersebut tentu mengindikasikan bahwa masih banyak anak muda yang peduli terhadap masa depan bangsa.

Untuk itu generasi muda tentunya harus dirangkul dan dibimbing dengan baik, karena dalam politik tentu perlu adanya regenerasi. Bagaimanapun juga elit yang berkuasa saat ini baik dalam partai maupun pemerintahan tentu tidak akan menjabat selamanya. Untuk itu generasi muda harus dipersiapkan dengan baik dan tidak meminggirkan generasi muda dalam ruang politik.

Daftar Pustaka

Claire, Wallace. Introduction: Youth and Politics. Journal of Youth Studies. 6(3), 243-245.
Lam-Knott, S., & Cheng, Y. E. (2020). Youth politics in urban Asia: an introduction. Space and Polity. 24(1), 1-11
Morissan, M. (2014). Media Sosial dan Partisipasi Sosial di Kalangan Generasi Muda. Jurnal Visi Komunikasi, 13(1), 50-68.
Meiji, N. H. P. (2016). Pendidikan Politik dalam Kuasa Simbolik: Kajian mengenai Dinamika Politik Anak Muda yang Tergabung dalam Partai Politik di Kota Malang. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis, 1(2), 103-116.
Siswati, Endah. (2017). Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Jurnal Translitera. 5(1), 11-33
Fauzi, Dadan Rizwan. (2020). Stafsus Milenial dalam Pusaran Kekuasaan. di https://www.pinterpolitik.com/ruang-publik/stafsus-milenial-dalam-pusaran-kekuasaan-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun