Ketika berbicara tentang filsafat, dua nama yang selalu muncul adalah Sokrates dan Plato. Mereka adalah dua sosok yang tidak hanya berperan dalam membangun fondasi filsafat Barat, tetapi juga dalam membentuk cara kita berpikir, bertanya, dan mencari kebenaran hingga hari ini. Pemikiran mereka telah melintasi waktu, menjangkau setiap sudut peradaban manusia, dan menawarkan wawasan yang relevan dengan berbagai tantangan kehidupan modern.
Meski hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu di Yunani kuno, ajaran Sokrates dan Plato tetap hidup di dalam pemikiran manusia kontemporer. Tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengajarkan kepada kita nilai penting dari berpikir kritis, mempertanyakan keyakinan, dan mencari keadilan. Sebagai guru dan murid yang saling melengkapi, mereka telah menciptakan warisan yang abadi.
Sokrates: Guru Tanpa Tulisan yang Abadi
Sokrates lahir sekitar tahun 470 SM di Athena, sebuah kota yang menjadi pusat intelektual di Yunani pada masa itu. Kehidupannya tidak seperti filsuf lain yang menulis buku atau mengajarkan teori di dalam kelas. Sebaliknya, Sokrates lebih sering berinteraksi langsung dengan orang-orang di jalan-jalan, pasar, atau ruang publik lainnya. Ia tidak pernah menulis apa pun. Kita mengenalnya melalui catatan murid-muridnya, terutama Plato, yang mengabadikan ajaran Sokrates dalam dialog-dialognya.
Sokrates adalah filsuf yang menolak disebut sebagai orang bijak. Salah satu kalimat yang terkenal darinya adalah, "Yang aku tahu adalah bahwa aku tidak tahu." Bagi Sokrates, kesadaran akan ketidaktahuan adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan sejati. Ia percaya bahwa banyak orang merasa tahu sesuatu, tetapi sebenarnya tidak memahami apa yang mereka bicarakan. Dalam rangka menemukan kebenaran, Sokrates memperkenalkan metode dialektika, yang dikenal sebagai metode Sokrates, yakni mengajukan serangkaian pertanyaan untuk memicu refleksi dan analisis kritis.
Contoh penerapan metode ini sering terlihat dalam diskusinya tentang konsep-konsep seperti keadilan, kebajikan, dan pengetahuan. Sokrates akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, memaksa lawan bicaranya untuk mengevaluasi pemahaman mereka dan mempertanyakan pandangan yang diterima begitu saja. Melalui tanya jawab yang intens ini, Sokrates meyakini bahwa kebajikan adalah pengetahuan, dan seseorang yang benar-benar memahami apa yang baik tidak akan melakukan kejahatan.
Namun, keberaniannya dalam mempertanyakan segala hal membawa konsekuensi yang berat. Pada tahun 399 SM, ia diadili dan dihukum mati dengan tuduhan merusak moral kaum muda dan tidak percaya kepada dewa-dewa Athena. Dalam pembelaannya, yang diabadikan dalam karya Plato Apologia, Sokrates dengan tegas menolak melarikan diri atau mengubah keyakinannya. Ia memilih kematian dengan minum racun daripada hidup dalam kompromi. Sokrates meninggalkan pesan kuat kepada dunia: Hidup yang tidak dipertanyakan tidak layak dijalani.
Plato: Sang Murid yang Membangun Sistem Pemikiran
Plato, lahir sekitar tahun 427 SM, adalah salah satu murid terdekat Sokrates. Jika Sokrates adalah filsuf yang mengandalkan tanya jawab untuk menggali kebijaksanaan, Plato adalah orang yang mengembangkan pemikiran itu menjadi sebuah sistem filsafat yang komprehensif. Melalui dialog-dialognya, Plato tidak hanya mengabadikan ajaran gurunya, tetapi juga memperkenalkan gagasan-gagasan brilian yang membentuk dasar pemikiran Barat.
Salah satu kontribusi terbesar Plato adalah Teori Bentuk (Ide). Menurut Plato, dunia yang kita lihat sehari-hari hanyalah bayangan atau tiruan dari dunia ide-ide murni yang ada di baliknya. Benda-benda fisik hanyalah manifestasi dari bentuk ideal yang lebih sempurna dan abadi. Misalnya, meja yang ada di depan kita hanyalah representasi dari "meja ideal" yang ada di alam ide. Dengan kata lain, segala sesuatu di dunia fisik ini hanyalah cerminan dari realitas yang lebih tinggi.