Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebutuhannya, baik itu kebutuhan primer maupun sekunder. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya pun manusia tidak dapat mencapainya sendiri, mengingat bahwa kebutuhan manusia itu sangat kompleks, maka ia membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, muncullah konsep bahwa manusia itu makhluk sosial. Berkaitan dengan kebutuhan ini, kehidupan manusia berhubungan erat dengan permasalahan ekonomi.
Ekonomi adalah kegiatan manusia yang melibatkan banyak orang. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi menyentuh persoalan kesejahteraan umum dan keadilan. Maka, berbicara tentang ekonomi, juga berarti berbicara tentang kesejahteraan masyrakat. Ekonomi tidak hanya berkisar pada kebutuhan pribadi, atau keluarga saja, tetapi juga kebutuhan orang lain, yakni masyarakat pada umumnya.Â
Dalam tulisan ini saya akan menguraikan pemikiran David Hume yang mengungkapkan hal fundamental dalam perekonomian masyakarat. Teori ini juga akan dibandingkan dengan pemikiran Aristoteles, yang juga membicarakan tentang hal tersebut, dalam konteks hidup di polis (kota/ negara). Tentu saja dalam perbendingan ini ada persamaan dan ada perbedaan juga. Saya juga memberikan relevansi dari kedua pemikiran ini yang dapat diterapkan dalam konteks hidup bermasyarakat di Indonesia. Â
Filsafat Ekonomi Hume
David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tahun 1711. Ia adalah seorang filsuf empiris, yang menganggap bahwa sumber dari segala pengetahuan adalah pengalaman inderawi. Maka, pemikiran empiris ini akan sangat berpengaruh pada tulisan-tulisannya.Â
 Salah satu tulisannya yang berkaitan dengan ekonomi ialah Of Commerce. Dalam buku ini sangat kental bahasa empiris dari Hume. Ia mengungkapkan teorinya dengan mengungkapkan sejarah yang telah terjadi pada masa lalu. Meskipun, ia sendiri meragukan kebenaran dari sejarah itu (mengingat, bahwa Hume adalah juga seorang skeptis radikal, yang menolak hukum sebab-akibat). Tetapi ia tetap memberikan kemungkinan-kemungkinan yang sekiranya dapat dipegang untuk menjalani hidup ini, terkhususnya dalam perekonomian masyarakat. Berikut ini penjabaran mengenai pemikiran Hume tentang ekonomi:
 Sebagaimana yang diungkapkan dalam pendahuluan di atas, bahwa permasalahan ekonomi itu bukan hanya berkisar pada kebutuhan pribadi atau keluarga tertentu, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Maka, di sini setiap pekerja dituntut untuk mampu menghasilkan sesuatu atau produksi yang terbaik. Hume mengungkapkan demikian:
 "If these superfluous hands apply themselves to the finer arts, which are commonly denominated the arts of luxury, they add to the happiness of the state; ..."(David Hume, Of Commerce).
 Hasil produksi yang baik akan menambah kebahagiaan dalam suatu negara. Maka, dalam kegiatan produksi perlu memperhatikan kualitas barang yang dihasilkan, kelayakannya, dan efeknya bagi banyak orang yang akan mengonsumsinya.
Suatu hasil produksi yang baik dapat dihasilkan jika ada keahlian dari para pekerjanya. Keahlian dari para pekerja akan mempengaruhi keefektifan dari proses produksi dan hasil produksi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Hume dalam kalimat di bawah ini, bahwa perkembangan kemampuan dan industri akan meningkatkan hasil  produksi, bahkan akan menghasilkan produksi yang melebihi kebutuhan yang mereka perlukan.
"..and if their skill and industry encrease, there must arise a great superfluity from their beyond what suffices to maintain them."
 Hasil yang baik dan berkualitas tinggi tidak datang begitu saja dari mesin produksi, bagaimana pun canggihnya industri tersebut. Tetap diperlukan tenaga yang profesional untuk mengerjakan bahan-bahan produksi ini. Profesionalitas ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang mengarah pada keahlian pada masing-masing bidang. Hume mengatakan,
 "When a nation abounds in manufactures and mechanic arts, the proprietors of land, as well as the farmers, study agriculture as a science, and redouble their industry and attention."
 Contoh di atas mengungkapkan perlunya suatu pembelajaran sebelum bekerja. Sebagaimana petani yang belajar pertanian, dan para pekerja pabrik belajar industri, maka para pekerja lainnya pun perlu memperhatikan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
 Meskipun teori ini tampak ideal dan mantap, namun tetap ada hambatan dalam mewujudkannya, yaitu kemalasan yang muncul dari kebiasaan. Kemalasan dalam bertani menyebabkan menurunnya hasil produksi padi atau gandum.Â
Kendati pun digarap hasilnya tidak akan masksimal. Kemalasan ini menyurutkan semangat bekerja dan tidak akan menjadikan seseorang ahli di bidangnya. Kemalasan ini  mungkin dapat dikaitkan dengan kebiasaan instan, di mana para pekerja hanya ingin mencari jalan termudah untuk menghasilkan suatu komoditas, tanpa memperhatikan kualitas, dan kelayakannya. Hanya keuntungan diri sendiri yang menjadi perhatiannya, dan tentu saja ini tidak akan mewujudkan cita-cita bersama.
(Bersambung ...........)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H