Manusia merupakan mahkluk hidup yang berakal budi di muka bumi ini. Dengan akal budinya kita dapat berpikir dan berkehendak untuk melakukan segala sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Hal ini merupakan kodrat manusia yang ada pada dirinya sejak manusia tersebut lahir. Pada dasarnya kehendak manusia itu terarah pada kebaikan, dimana kebaikan merupakan obyek dari kehendak. Sehingga diperlukan pengetahuan atau intelektual untuk dapat mengenal, memilih dan kemudian meletakan kebaikan pada ragam realitas, dan hal inilah yang kemudian memunculkan kesadaran kalau manusia itu memiliki kebebasan.
Pada dasarnya kebebasan muncul karena manusia itu memiliki kehendak. Dengan kata lain, kebebasan tidak dapat dilepaskan dari kehendak, sehingga kebebasan yang dimiliki oleh manusia didasari oleh adanya kehendak bebas dari manusia yang memiliki kesadaran dan tingkat afektifitas (ketertarikan) terhadap suatu obyek tertentu. Hal ini merupakan ciri khas atau hakekat utama dari kebebasan, sehingga manusia itu bebas untuk memilih apa yang akan dilakukannya, seperti melakukan aktivitas psikis.
Aktivitas psikis yang dilakukan manusia, didasari oleh kebebasan psikologis, yaitu kebebasan yang berasal dari dalam diri manusia sebagai subjek dimana tidak ada paksaan secara psikologis, sehingga kita tidak terpaksa untuk melakukan sesuatu. Kebebasan psikologis menyangkut aspek afektifitas dari manusia tersebut, yaitu: mengenai "suka atau tidaknya" maupun "bisa dan tidaknya" seseorang melakukan sesuatu. Dalam kebebasan ini tidak diberi batasan atau arahan tentang aspek normatif (kebebasan moral), yang menyangkut mengenai "boleh dan tidaknya" seseorang melakukan kehendaknya tersebut.
Ketika berbicara soal kebebasan, terkadang di dalam benak kita, kebebasan adalah kita bebas untuk melakukan apapun juga, padahal inti dari kebebasan yang dimaksud dalam hal ini adalah tidak adanya paksaan untuk melakukan sesuatu, karena sesuatu yang dipaksakan tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kebebasan. Kebebasan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lainnya, namun sebagai makhluk sosial, kehendak dan kebebasan manusia juga tidak semata-mata bertolak dari dalam dirinya saja, tetapi juga harus dibatasi oleh norma atau aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat. Karena pada kenyataannya realitas yang terjadi tidak selalu baik, sehingga kehendak berperan mengarahkan subjek pada pilihan yang baik, dimana akal budi berperan untuk memutuskan.
Kehendak dan KecenderunganÂ
Kehendak selalu mengarah kepada kebaikan. Ini adalah kodrat yang ada pada diri manusia, seperti halnya kehendak itu sendiri sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kehendak ada pada diri subyek, dan kebaikan adalah obyek yang menjadi tujuan kehendak, yang bersifat non-material. Tetapi, meskipun kebaikan ada pada diri obyek, pengetahuan akan kebaikan ada pada diri subyek. Relasi antara kehendak dan kebaikan muncul karena kesadaran. Subyek dengan sadar menghendaki kebaikan, atau mengarah kepada kebaikan.
Selain kehendak, pada saat yang sama pada diri manusia juga terdapat kecenderungan. Sebagaimana intelegensi tidak berada di atas pancaindera, tetapi berada dan berbuat di dalamnya, demikianlah kehendak tidak berada di atas kecenderungan-kecenderungan, tetapi berada dan berbuat di dalamnya. Sulit bagi kita untuk memisahkan antara kehendak dengan kecenderungan, karena kemampuan tersebut tidak terletak secara terpisah, namun terdapat dan bersatu di dalam diri manusia. Hubungan antara kehendak dan kecenderungan ini dapat dianalogikan seperti dua sisi pada satu keping mata uang.
Kemampuan MemilihÂ
Kecenderungan merupakan kemampuan memilih dan meletakkan kebaikan pada realitas. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa kehendak manusia selalu mengarah kepada kebaikan, namun kecenderungan meletakkan kebaikan itu pada realitas. Kebaikan di dalam realitas merupakan kebaikan yang diletakkan pada benda-benda yang dapat ditangkap oleh indera, misalnya: kursi, rumah, buku, makanan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, realitas itu tidak selalu baik, sehingga sangat mungkin bahwa kecenderungan tidak selalu mengarah kepada kebaikan, namun juga mengarah kepada kejahatan.
Kecenderungan dalam diri manusia itu bermacam-macam dan masing-masing mencari kepuasan. Kepuasan di sini tidak hanya bersifat fisik/ badaniah saja, misalnya kenyang, namun juga menyangkut hal-hal yang bersifat spiritual, seperti: kehormatan, kebanggaan, dan lain sebagainya. Apabila manusia hanya mengejar kepuasan di dalam realitas, maka ia tidak akan dapat mengarah kepada kebaikan.
Â
Peran KehendakÂ
Kendati kecenderungan dan kehendak ini secara bersama ada di dalam diri manusia, namun kita tidak dapat menyamakannya begitu saja. Kecenderungan berbeda dengan kehendak. Hal yang menjadi ciri khas dari kecenderungan adalah kemampuannya untuk mencari kepuasan, sedangkan kehendak hanya terarah kepada kebaikan. Melalui kecenderungannya manusia dapat melakukan apa saja yang dapat membuatnya puas, tanpa memperdulikan apakah perbuatan tersebut baik atau tidak. Amat berbahaya jika manusia hanya menggunakan kecenderungannya saja dalam bertindak, karena ia akan merusak atau mencelakakan sesamanya, demi kepuasannya sendiri.
Keberadaan kecenderungan dalam diri manusia tidak semata-mata buruk atau jahat, namun ada yang baik juga. Kecenderungan itu ada yang jahat dan ada yang baik. Kecenderungan yang baik, misalnya: keingintahuan, sosiabilitas, ambisi, atau naluri memiliki merupakan kecenderungan yang positif dan dapat mengarah kepada kebaikan. Akan tetapi, kehendak memegang peranan penting dalam berhadapan dengan kecenderungan-kecenderungan ini. Kehendak bertugas untuk mengarahkan dan mengontrol, serta menguasai semua kecenderungan, sehingga tetap terarah kepada kebaikan dari manusia secara keseluruhan.
Jenis KebaikanÂ
Kehendak manusia selalu mengarah kepada kebaikan. Namun kebaikan yang bagaimana? Ada tiga macam kebaikan, yaitu: kebaikan fisik, kebaikan moral, dan kebaikan semu:
Kebaikan fisik adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai suatu organisme di dalam kosmos; kebaikan moral adalah kebaikan yang baik untuk manusia sebagai "ada" yang bebas; kebaikan semu sesungguhnya adalah sesuatu yang jahat, tetapi yang tampak sebagai kebaikan.
a) Kebaikan fisik. Dapat kita lihat pada kebutuhan manusia akan sesuatu yang baik, contohnya: baju yang baik, rumah yang baik, dan lain sebagainya.
b) Kebaikan moral. Dapat dinilai pada perbuatannya, yang berkaitan erat dengan kebebasan dan tanggung jawab.
c) Kebaikan semu, terdapat dalam contoh berikut: seorang pemuda yang tercandu narkoba. Bagi dia narkoba itu baik, tetapi bagi khalayak umum (orang yang sehat) barang tersebut dapat merusak kesehatan, bahkan dapat mengancam nyawa seseorang.
Dari ketiga kebaikan di atas, kehendak dapat memilihnya. Akan tetapi peran intelektual di sini sangat penting sekali, yakni untuk mengenal dan menentukan jenis kebaikan tersebut. Jadi, melalui intelektual, manusia mengenal berbagai jenis kebaikan di atas. Antara kehendak dan intelektual ini saling mengandaikan dan terjadi suatu interaksi yang terus-menerus. Maka, dapat dikatakan, semakin tinggi intelektual seseorang dalam mengenal kebaikan, maka semakin ia dapat memilih dan mengarah kepada kebaikan tersebut.
Dalam usaha bagi kehendak untuk mengarah kepada kebaikan sebagai tujuannya, ada sesuatu yang menggerakkannya, yaitu nilai. Tujuan adalah yang memikat saya, nilai lebih merupakan sebabnya, mengapa yang memikat saya itu menimbulkan daya tarik terhadap saya. Dari itulah maka nilai memperkaya tujuan, memberi kepadanya daya tarik.
Peranan nilai itu tampak dalam contoh berikut: seorang anak yang meminjamkan uang kepada temannya yang mengalami kesulitan finansial. Tujuan dari perbuatan anak itu adalah ingin membantu temannya, namun ada nilai-nilai yang menggerakkannya, yaitu: kemurahan hati dan kesetiaan. Dalam konteks ini, nilai juga menjadi motivasi bagi manusia dalam berkehendak, sehingga kehendak itu selalu terarah kepada kebaikan.
Bebas dari PaksaanÂ
Kebebasan berarti tidak adanya paksaan dari luar, sehingga orang yang memilih suatu tindakan atau kegiatan yang ingin diperbuatnya benar-benar tidak tertekan dan tidak terpaksa untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan itu. Kebebasan untuk memilih kegiatan sesuai dengan kehendak yang selalu mengarah kepada kebaikan inilah yang oleh Louis Leahy disebut dengan kebebasan psikologis. Secara khusus, kebebasan psikologis berarti orang bebas dari tekanan atau paksaan-paksaan psikologis, misalnya bebas dari rasa takut.
Memiliki KesadaranÂ
Orang tahu bahwa ia benar-benar bebas atau dalam artian tertentu orang sadar akan kebebasannya adalah saat ia benar-benar sadar pula bahwa ia sedang memilih suatu tindakan atau kegiatan secara bebas dan tanpa paksaan dari apapun. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa di dalam diri manusia, kebebasan itu ada. Bisa dikatakan pula di sini bahwa kebebasan juga akan sangat berhubungan dengan kesadaran. Saat orang benar-benar sadar bahwa ia bebas saat memilih tindakan A dan bukan tindakan B, maka saat itu pula dia mendapatkan kebebasannya.
Peran KehendakÂ
Dalam hidupnya, seorang manusia tidak akan pernah terlepas untuk melakukan suatu kegiatan. Akan tetapi, tidak hanya sekedar melakukan tindakan. Sering kali, manusia dihadapkan pada banyak pilihan sebelum melakukan suatu tindakan. Dalam hidup seorang manusia, memilih dan (kemudian) memutuskan menjadi bagian yang cukup penting karena pada saat orang itulah kebebasan seseorang terwujud. Adanya banyak pilihan itu merupakan bukti bahwa seseorang memiliki kehendak (yang akan selalu berinteraksi dengan intelegensi saat memutuskan, terutama saat orang melihat sisi baik buruk -- moral -- suatu pilihan). Maka, dapat dikatakan pula di sini bahwa dasar adanya kebebasan adalah karena orang memiliki kehendak yang selalu berinteraksi dengan intelegensi. Tanpa adanya kehendak (yang selalu mengarah kepada kebaikan) dan intelegensi, serta interaksi antara keduanya, dapat dikatakanlah bahwa tidak ada kebebasan.
Â
Menggunakan KebebasanÂ
Dalam setiap pilihan itu, Louis Leahy membedakan empat tahap manusia menggunakan kebebasannya dalam memilih dan memutuskan suatu kegiatan yang akan dilakukannya. Keempat tahap itu adalah daya tarik, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutuskan. Berikut penjelasannya:
1. Daya tarik. Pada tahap pertama ini, orang mulai bertemu dengan banyak pilihan-pilihan. Orang mulai berkenalan dengan masing-masing pilihan itu. Akan tetapi, di tahap awal ini, orang masih belum menggunakan kebebasannya (belum memilih) dan belum menilai pilihan itu (baik buruknya).
2. Memeriksa. Di tahap ini, orang mulai melihat pilihan-pilihan itu satu per satu. Orang mulai memberi nilai positif dan negatif dari masing-masing kegiatan. Tahap ini adalah tahap yang penting dalam tahap kebebasan manusia ini karena jika orang terpengaruh oleh hipnotis, gangguan jiwa, atau emosi tertentu, orang akan melihat sisi yang satu lebih dari sisi yang lainnya. Di saat ini, ketika orang terpengaruh oleh hipnotis, gangguan jiwa, atau emosi tertentu, maka kebebasannya akan berkurang -- orang menjadi tidak benar-benar bebas.
3. Mempertimbangkan. Di tahap ini, orang mulai memberikan pro dan kontra dari masing-masing pilihan yang dihadapinya. Untuk itu, intelegensi mulai memegang peran penting untuk melihat pro dan kontra dari masing-masing pilhan. Pada tahap ini juga, orang melihat segi menguntungkan dan tidaknya jika dia melakukannya atau tidak (kebaikannya bagi diri orang itu).
4. Memutuskan tindakan apa yang akan diambilnya. Tahap ini adalah tahap yang paling penting. Dalam tahapan ini, interaksi antara kehendak dan intelegensi menjadi peran yang sangat vital. Karena seperti yang telah dipaparkan di atas juga, interaksi antara keduanya inilah yang membuat manusia menjadi pribadi yang bebas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H