0pini : Oleh Al Hayon Vinsens
PESAN Pak Menteri Agama R.I., Prof. Dr. KH. Nasarudin Umar, MA, saat pertama kali berkunjung, dan melakukan pembinaan kepada ASN Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang di bulan Desember 2024 lalu, di antaranya, "Kerja Kementerian Agama dikatakan berhasil jika sebagian besar umat kita menghayati agama yang dianutnya secara jelas. Bekerja dengan cinta maka dengan sendirinya kedamaian terwujud." (hhtps://kemenag.go.id, daerah, 7/12/24).
Sorotan pesan itu berkaitan sangat erat dengan realita kehidupan masyarakat beragama dan berbangsa. Pesan demikian mengandung unsur moral dan spiritual untuk kehidupan bersama. Jika dikaitan dengan program unggulan kemenag, pesan itu selain memotivasi juga suatu ajakan untuk melakukan penguatan moderasi agama bagi seluruh warga bangsa. Sementara dalam konteks strukktural kepemerintahan merupakan pemicu sinergisitas kinerja antara pemerintah (dalam hal ini Kemenag) dengan umat atau masyarakat beragama dan sebaliknya.
Jika bersinggungan dengan kearifan lokal, pesan itu menggetarkan nurani warga masyarakat bangsa untuk memanifestasi satu di antara aneka filosofi, yakni "Si tou timou tumou tou," (Manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia).
Kearifan lokal yang sudah jadi filsosi ini populer di era Sam Ratulangi (Saul Samuel Jacob Ratulangi, 1890-1949), tatkala beliau menjadi gubernur pertama Sulawesi dan yang kemudian popular sebagai tokoh multidimensional.
Tentang makna kearifan lokal, sudah pasti sejurus penjelasan Nasarudin dalam artikelnya, "Kearifan Lokal, Titik Temu antara Sakral dan Profan", (Kompas, 11/10/2024), bahwa kearifan lokal demikian kuat mewarnai hidup dan interaksi sosial warga setempat -lokal-. Kemudian sebagai filosofi ia merambah ke level nasional, mencahayai sikap hidup warga bangsa, yang siap menerima keragaman dalam kebersamaan, mendukung sikap hidup toleran, membangun semangat kerjasama, perjuangan bersama, menciptakan harmoni hidup, dan punya rasa hormat yang tinggi akan keberadaan yang lain serta kesatuan.
Orthopraksis Penguat Moderasi Beragama.
Kearifan lokal "Si tou timou tumou tou" pada tataran hidup bersama antar-umat beragama merupakan konklusi untuk orthopraksis (suatu praktek hidup keagamaan yang benar dan tepat). Orthopraksis dari bahasa Yunani, dari kata orthos (betul, benar) dan praxis (praktek, aksi nyata). Dalam keseharian, ia terlukis pada sikap laku solider antar-warga bangsa dan kasih sayang satu terhadap yang lain -sesama-. Dalam konteks luas kearifan lokal ini mengandung nilai luhur untuk saling menumbuhkan dan memberi ruang serta peluang mewujudkan diri tanpa adanya dominasi sepihak dan diskriminasi antar-sesama.
Keraifan lokal ini menuntut konkretisasi "menjadi manusia baru" di hidup hari-hari ini, berupa "kehadiran yang moderat." Suatu kehadiran fisik ril dengan segala unsur emosional manusiawi dalam interaksi sosial. Ini lah wajah dari orthopraksis atas orthodoksi agama yang menjujung tinggi paham moderasi beragama sebagai suatu pendekatan humanitas dimana pluralitas agama sungguh ada dan nyata. Seturut Nasarudin, inilah salah satu indikator pengahyatan ajaran agama yang benar, yakni "bagaimana memaknai perbedaan yang ada dengan baik. Perbedaan yang diibaratkan sebuah lukisan indah karena dibentuk dari berbagai warna dan elemen" (hhtps://kemenag.go.id, daerah, 7/12/24).
"Kehadiran yang moderat" juga hendaknya searah pesan Menag R.I. di atas, yakni "dengan cinta," dimana terselubung sikap realistis full ketulusan, jujur untuk menghargai dan menghormati kebersamaan dalam keberagaman, menumbuhkan sikap saling menghormati, saling menghargai, dan rukun harmonis. Actus riilnya dalam realitas kebersamaan adalah "Kehadiran yang bermakna dan dirasakan" oleh yang lain, sejauh tidak ada sikap ekstrem, radikal dan nonhumanistik-intoleran dalam hidup bersama antar-warga beragama. Inilah pijaran orthodoksi agama yang mendarah daging pada orthopraksis. Atau "agama yang telah dihayati penganutnya secara jelas", demikian pesan Pak Menteri.