Kisah tentang "tuan" dan "hamba" saban hari menjadi wartanya. Dua status atau kedudukan atau posisi ini sungguh mewarnai suatu identifikasi jabatan dan kedudukan kaumnya, bahkan melingkari seluruh percaturan politik, adat budaya dan keseharain hidup orang-orang pada zamannya.
Kisah yang dikritisi hebat oleh Mesias itu, masih mewarnai  perilaku kelompok manusia  di hari-hari ini. Sepertinya membudaya, bisa jadi dan bisa tidak, tergantung pada paradigma penurunan atau pewarisan.
Coba kita angkat fakta; di rumah tangga-rumah tangga, di lingkungan kerja, di tempat pelayanan dan pengabdian kita. Ada yang harus jadi tuan dan yang lain harus jadi hamba atau pelayanan. Di toko, di warung, super market, di restoran, si "empunya" menjadi hamba yang siap melayani  dan para tamu yang datang membeli  atau berbelanja adalah tuan.
Di tempat kerja kantoran, perusahaan, pelayanan jasa, real estate, ada bos yang siap dilayani para staf atau bisa sebaliknya (namun ini kemungkinan kecil). Kalau mau jujur sesungguhnya "bos yang melayani. Melakukan pekerjaan sebagai pelayan", dan bukan sebaliknya "ada perlilaku wajib melayani bos."
Lain lagi di Lembaga Sosial, yang jadi tuan adalah klien, sedangkan orang-orang lembaga sosial adalah para hamba. Dalam realita, memang mereka datang melayani, tetapi pada waktu bersamaan, mereka tetap disapa sebagai tuan atau seperti penyelamat. Dan keadaan itu menjadi lumrah.
Resikonya kalau tidak menyapa dan menganggap mereka sebagai tuan atau manakala mereka tidak diberi hormat selayaknya, maka bantuan sosial tidak akan sampai kepada tuan-tuan (dalam hal ini  para klien) yang seharusnya ia layani. Suatu keadaan yang sangat kontradiktif, miris dan sangat ironis.
Selama masa Adventus dan persiapan ejawantah yang pantas dan seharusnya maka sesuai konteks kita sekarang, teristimewa di tahun politik dan ketika harus dipilih, Â kita diharapkan dapat memposisikan diri dengan tepat bahwa sesungguhnya tidak ada persoalan tuan dan hamba. Atau siapa yang harus jadi tuan dan siapa yang siap jadi hamba.
Secara realita sosial dan dalam koridor pelayanan, "Setiap orang yang kita layani adalah "tuan" dan kita yang melakukan pelayanan adalah "hamba." Ayo, mulai merubah mindset, setelah hari Natal, Perayaan besar keagamaan ini, berlalu. Kita semua, siapapun dia sesungguhnya adalah hamba yang siap melayani dalam keadaan apapun.Â
Mindset baru yang siap diejawantah adalah "Ikatlah pinggangmu, dan layanilah "aku" sampai selesai" (bdk. Injil Lukas 17:8b). Kita juga adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kita hanya melakukan apa yang harus kita lakukan, (bdk. Lukas 17:10). Kata "Aku" adalah mereka yang kita layani. Siapa mereka itu? Anda dan saya yang tahu pasti. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H